Rabu, Januari 8, 2025
No menu items!

Pangkogabwilhan I Baru, TNI AD vs TNI AL di Laut?

Apakah penetapan Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I merupakan manifestasi rivalitas antara TNI AL dan TNI AD?

Must Read

Oleh: Siswanto Rusdi |Direktur The National Maritime Institute (Namarin)

JABATAN Panglima Komando Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) I kini diisi oleh seorang jenderal bintang tiga matra darat. Sejak ditubuhkan pada 2019, posisi ini lazimnya diduduki oleh perwira matra laut berpangkat setara alias laksamana madya.

Agak lain dari biasanya sehingga hal ini jelas memantik komentar di kalangan publik pertahanan di dalam negeri di mana sebagian besar di antaranya menyayangkan langkah tersebut dengan sejumlah alasan.

Memang patut disayangkan mengingat dari sisi geografis, Kogabwilhan I dipersepsi memiliki luasan perairan yang jauh lebih masif dibanding daratannya karenanya matra laut dinilai lebih cocok untuk beroperasi di kawasan yang menjadi area of responsibility atau AOR-nya yang meliputi 15 provinsi, dengan enam Komando Daerah Militer, satu Komando Armada dan satu Komando Operasi Udara.

Dengan penunjukan seorang letnan jenderal TNI Angkatan Darat sebagai panglima Kogabwilhan I dapatkah ia disebut sebagai perwujudan “rivalitas” antara TNI AD dan TNI AL yang selama ini ada? Atau, fenomena itu layaknya dalam permainan catur, hanyalah sebuah langkah rokade alias ganti posisi saja?

Artinya, bakal ada nanti posisi Pangkogabwilhan yang lain, dalam hal ini Kogabwilhan II dan III, (yang menurut kebiasaan sejak didirikan dipimpin oleh seorang letjen TNI AD dan TNI AU) akan diserahkan kepada seorang laksamana madya?

“Terlepas dari dinamika politik yang ada, penunjukan perwira matra darat di AOR yang memiliki dimensi kemaritiman sangat luas”

Bisa jadi. Pada posisi sesatregis Pangkogabwilhan, semuanya bisa jadi karena pertimbangannya bukan lagi aspek teknis kemiliteran semata namun nuansa politisnya lebih kental. Seperti yang sudah menjadi pengetahuan umum menyusul viralnya surat keputusan atau SK Panglima TNI No. Kep/1545/XII/2024, Letjen TNI Kunto Arief Wibowo ditunjuk oleh Presiden Prabowo Subianto sebagai Pangkogabwilhan I menggantikan Laksdya TNI Rachmad Jayadi dengan pertimbangan yang sepenuhnya bersifat politis.

Terlepas dari dinamika politik yang ada, penunjukan perwira matra darat di AOR yang memiliki dimensi kemaritiman sangat luas (kawasan Natuna dan Anambas, misalnya, memiliki jajaran wilayah dengan lebih dari 2.000 pulau) jelas mengindikasikan kepada publik bahwa sistem pertahanan nasional sangat berorientasi daratan atau land minded.

Akan tetapi, bukan berarti selama jabatan Pangkogabwilhan diemban oleh perwira TNI AL orientasi pertahanannya bercorak maritim. Tetap saja sistemnya land minded karena secara de facto dan de jure begitulah kebijakan pertahanan negara kita saat ini.

Menurut Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2021 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara, atau disingkat dengan akronim Jakkumhanneg, strategi pertahanan negara menganut konsep pertahanan pulau-pulau besar. Dalam strategi ini TNI AD menjadi tulang punggung pertahanan sementara TNI AL dan TNI AU berperan sebagai pendukung.

Strategi ini berakar dari strategi perang gerilya yang diterapkan saat perjuangan kemerdekaan pada tahun 1940-an. Selain keterlibatan angkatan perang nasional, strategi ini juga melibatkan peran serta masyarakat dalam upaya pertahanan. Hal ini dikenal dengan sistem pertahanan rakyat semesta alias sishanta.

Dalam strategi pertahanan pulau-pulau besar, semua ancaman/serangan yang ditujukan kepada Indonesia akan dilawan atau dihadapi manakala sudah sampai di daratan. Dalam kalimat lain, serangan itu sepertinya sengaja “dibiarkan” masuk. Saat musuh sudah masuk, mereka lalu akan diperangi oleh TNI AD dibantu oleh masyarakat melalui serangan-serangan sporadis (taktik gerilya).

TNI AL dan TNI AU mendukung perang gerilya ini dengan bantuan tembakan kapal dan pendaratan marinir dan serangan udara. Karenanya, kekuatan matra darat Indonesia menjadi jauh lebih besar dibanding dua matra yang lain dengan model pertahanan ini. Konon, “dominasi” matra darat dalam sistem pertahanan negara akan makin diperkuat dengan adanya gagasan menambah jumlah Kodam pada setiap provinsi serta Kodim dan batalyon di setiap kabupaten/kota.

Sebetulnya sudah ada wacana untuk mengubah strategi pertahanan pulau-pulau besar dengan konsep baru dan sesuai dengan karakter Indonesia sebagai negara kepulauan.

Gagasan ini berkembang di lingkungan TNI AL sejak beberapa tahun yang lalu. Hanya saja tidak berkembang dengan sempurna dan menjadi ide yang dapat dibahas dalam forum yang lebih luas di luar TNI AL. Sehingga, pada gilirannya ia dapat diangkat ke permukaan sebagai ganti strategi pertahanan pulau-pulau besar. Sayangnya, tidak ada penjelasan yang tersusun rapi terkait seperti apa sesungguhnya strategi pertahanan negara kepulauan itu. Yang jelas, dengan konsep ini peran TNI AL, dan tentu saja TNI AU, akan lebih maksimal dibanding dalam strategi pertahanan pulau-pulau besar.

Musuh akan dihadapi/dihancurkan jauh sebelum mereka mencapai bibir pantai pulau-pulau di Indonesia. Itu artinya, TNI AL Bersama TNI AU diposisikan di ujung depan pertahanan (forward defense) di lokasi- lokasi rawan atau center of gravity pertahanan.

Dalam kaitan ini, Natuna merupakan salah satu di antaranya. Untuk bisa menjalankan peran ini, tentu saja kekuatan tempur TNI AL dan TNI AU akan disesuaikan dengan lebih banyak kapal frigat, destroyer, kapal selam. Tidak tertutup kemungkinan membangun kapal induk.

Sementara itu, TNI AU akan dilengkapi dengan pesawat-pesawat tempur jarak jauh. Tentu saja TNI AD tidak lantas ditinggalkan dengan strategi ini karena ia mensyaratkan adanya jointness antar-matra. Bila skenario bisa diwujudkan, barulah Indonesia ditakuti oleh musuh-musuhnya.

Kepala Staf TNI AL atau KSAL silih berganti tetapi tidak bisa membawa perubahan terhadap tatanan pertahanan yang ada. Padahal mereka digadang-gadang oleh komunitas kemaritiman dalam negeri dapat meniupkan angin segar dalam sistem pertahanan yang sudah sepuh di atas. Mereka hanya menjalankan kepemimpinan seperti biasanya (business as usual).

Apakah penetapan Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I merupakan manifestasi rivalitas antara TNI AL dan TNI AD?

Dapat dinilai demikian. Hanya saja, rivalitas ini sebatas di permukaan saja; di dasarnya tetap matra darat merupakan “saudara tua” bagi matra lainnya. Yang namanya bersaudara, tetap semuanya akan kebagian jatah.

Diperkirakan, perwira tinggi TNI AL akan diberikan kursi sebagai Pangkogabwilhan II atau III untuk pengganti kursi yang kini ditempati bintang tiga AD tersebut. Menariknya, dikaitkan dengan pergantian jabatan KASAL pada tahun ini (mengingat pejabat petahana, Laksamana TNI Muhammad Ali akan pensiun), perwira tinggi TNI AL yang ditunjuk sebagai Pangkogabwilhan berpotensi menjadi penggantinya di samping kandidat terkuat, Wakasal yang sekarang. Dari rivalitas menuju blessing bagi TNI AL? Entahlah.

Hidayat Nur Wahid Serap Aspirasi di Panti Asuhan Aisyiyah Jakarta Selatan

JAKARTAMU.COM | Anggota DPR RI sekaligus Penasehat Pimpinan Daerah Muhammadiyah Jakarta Selatan, Hidayat Nur Wahid, melakukan kunjungan kerja masa...

More Articles Like This