Tak ada sampah berceceran, tak kata sumpah serapah seraya mengepalkan tinju yang memamerkan kebencian. Hanya senyum dan lambaian bersahabat yang menyerukan ke langit kelabu Jakarta. Mendung tapi tak hujan, kelabu tapi tak bersendu. Seakan langit Jakarta memayungi agar tak kepanasan. Matahari semakin penuh pengertian mengikuti pagi ke siang hari.
Beraneka warna beriring bersama: Biru putihnya SMA Muhammadiyah 3 Kebayoran Jakarta Selatan, diikuti Kuning cerahnya Muhammadiyah Duren Sawit dan Hijau Kuningnya SMA Muhammadiyah 12 Rawamangun, terus bersambung dengan merah menyalanya pasukan pencak silat Tapak Suci – Putera, dan brigade kepanduan HW (Hizbul Wathan/Pecinta Tanah air).
Tak ketinggalan beberapa perwakilan karyawan RS Islam Cempaka Putih, RSI Pondok. Tampak juga beberapa Panti Asuhan Yatim, Lansia dan mengharukan pula ikut rombongan anak-anak dan remaja difabilitas di bawah asuhan Muhammadiyah-Aisyiah Jakarta.
Penjagaan di setiap perempatan Jalan MH Thamrin hingga Bundaran Hotel Indonesia (HI) dilakukan oleh Kokam berbaret merah berbaju loreng berkoordinasi dengan petugas Kepolisian, Dishub dan Satpol DKI.
Dari iringan yang mengular sepanjang jalan utama Jakarta itu, tampak beragam warna seragam setiap amal usaha dan daerah atau cabang Muhammadiyah di wilayah Jakarta. Juga tersirat kelas sosial yang dapat dilihat dari pakaian dan kendaraan yang digunakan. Namun kelas atas, menengah, dan bawah menyatu dalam barisan massa, meneguhkan Muhammadiyah adalah rumah untuk berkumpul dan bergerak.
Dakwah tak semata lisan dan tulisan. Kebersamaan dan bergerak dalam amal, termasuk berunjuk diri berjamaah di tengah desa dan kota, insya Allah termasuk dalam lapangan pergerakan dakwah persyarikatan ini.
Hari beranjak siang, matahari semakin menegaskan diri di langit Monas. Sekitar pukul 11, massa beringsut diri meninggalkan Monas yang menjadi milik Muhammadiyah sejak pukul enam pagi hingga azan zuhur berkumandang.
12 Januari 2025 membuktikan kehadiran Muhammadiyah yang disaksikan warga Jakarta dan Indonesia. Tak terbantah, Muhammadiyah semakin tua dari paramater usia manusia, sebagai lembaga sosial berwajah sejuta ini. Birokratisasi Muhammadiyah pun tak bisa dicegah karena tuntutan struktur organisasi. Begitu pun angin politik, tak mampu ditolaknya.
Sejak kelahirannya , Muhammadiyah bukan untuk kepentingan politik. Namun, pasti disadari KH Ahmad Dahlan, teman-teman serta para muridnya, bahwa mata Muhammadiyah terbuka terhadap politik. Aksi massa buat Muhammadiyah adalah ukhuwah yang menggembirakan, tanpa harus mengepalkan tinju bergaya revolusi.
Janganlah semua hal dimasukkan ke wilayah politik. Jadilah Muhammadiyah yang menunjukkan Sang Surya di balik Monas: Kami ada bersama negeri ini, wahai Monas! Tanpa resmi-resmian, Muhammadiyah tidak perlu main politik resmi. Muhammadiyah ingin menyembuhkan peradaban, sebagaimana panggilan dakwahnya amar ma’ruf nahi munkar, menyantuni yang lemah dan mengingati kepada yang kuat. Berdiri sebagai ummatan wasathan, selalu memberi tak harap kembali. Inilah bukti, Muhammadiyah bukanlah sekedar nama belaka. Ia bergerak, menghidupi tiada henti. (*)