Kamis, Maret 6, 2025
No menu items!

Paradoks Puasa, Antara Menahan dan Merayakan

Must Read

DALAM Bahasa Arab, kita telah mengetahui bahwa puasa itu sama dengan shaum yang berarti menahan diri. Secara formal, puasa yang massal dan penuh seremonial berlangsung sebulan penuh pada bulan Ramadan, yang pada 1446 H ini bertepatan dengan bulan Maret 2025.

Tentu juga dikenal puasa  lain seperti puasa Daud (puasa yang berselang setiap sehari atau sama dengan separuh tahun berpuasa). Ada juga puasa Senin- Kamis, serta puasa pada pertengahan bulan berjalan selama tiga hari, dan lainnya.

Bagi kaum muslimin dan muslimat, kewajiban berpuasa di bulan Ramadan diperintahkan Al Qur’an dalam Surat Al Baqarah 183 dan telah dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Dalam ayat perintah itu, Allah menjelaskan bahwa kewajiban yang sama juga telah berlaku pada umat yang terdahulu, sebelum masa Kenabian Muhammad SAW). Tujuannya hanya satu: untuk ketaqwaan manusia yang beriman.

Begitu istimewanya berpuasa ditunjukkan dengan ajaran bahwa puasa itu merupakan urusan manusia dan Tuhan. Artinya, puasa bukan untuk, atas nama, dan karena  permintaan kehormatan seseorang terhadap orang lain. Puasa lebih berdimensi vertikal. Namun puasa akan membantu nilai kemanusiaan lebih berdaya.

Puasa sesungguhnya merupakan pembicaraan lahir batin antara manusia dan Allah SWT agar para manusia yang beriman itu menahan diri. Prosedurnya meliputi tidak makan, tidak minum dan tidak berhubungan suami isteri sejak imsak hingga magrib tiba. Namun pendalamannya lebih dari itu, yaitu meninggalkan ucapan  dan tindakan tercela, baik etis maupun yuridis.

Dengan menahan diri sebulan lamanya, Allah SWT memberikan waktu pengendapan emosi dan pengendalian akal budi agar bisa rendah hati dan lebih mampu mengendalikan diri. Nilai yang diharapkan menggariskan kaedah normatif itu, ternyata dalam  realitas sosiologisnya menimbulkan sekian pertanyaan.

Maksud menahan diri rupanya tidak mampu diperluas jangkauan keberlakuannya dari sekadar batasan tidak makan, minum dan aktivitas seksual dalam waktu tertentu.

Ketidakmampuan menahan diri dari desakan arus komsumtif, ditandai dengan rutinitas kenaikan harga barang dan jasa transportasi menghadapi lebaran yang dikukuhkan sebagai Hari Kemenangan.

Lho, itu kan manusiawi? Baju baru, furnitur, mobil dan berbagi uang. Hal itu ditunjukkan dengan dalih, sudahlah….ini kan setahun sekali,  sambil melupakan cakupan makna menahan diri.

Bisakah itu disebut paradoks antara maksud shaum (menahan diri) dengan realitas perayaan sebagai kemenangan? Jangan-jangan shaum dibatasi hanya pada shiyam yang berkonotasi fikiyah belaka.

Sungguh memprihatinkan jika nilai puasa yang dikaidahkan sebagai upaya membelenggu atau melemahkan gerakan syaiton dalam menggoda manusia, justru sebaliknya meningkatkan. Secara faktual terjadi peningkatan tindakan konsumtif, kecenderungan kriminalitas juga naik, gerakan pengemisan di jalanan dan kampung-kampung perkotaan meluas dan meninggi baik kuantitatif maupun kualitatif.

Di sinilah dibutuhkan pertemuan pendekatan ubudiyah  (vertikal) dengan muamalah  (horizontal). Salah satu upaya penyeimbang itu terlihat dalam kebijakan liburan sekolah pada Ramadan. Kebijakan pemerintah untuk tidak menghabiskan sebulan penuh bulan puasa sebagai libur sekolah merupakan upaya yang bijak untuk menyeimbangkan dengan aktivitas belajar formal. Keseharian yang tetap harus produktif sepanjang tahun tetap dirujuk.

Marilah menjalani perintah berpuasa dengan tidak melukai ajaran pengendalian diri yang diperintahkan-Nya. (*)

Trump Ancam Warga Palestina di Gaza: Kalau Kalian Tangkap Tawanan, ‘Kalian Mati’

JAKARTAMU.COM | Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengeluarkan ancaman terhadap Hamas dan rakyat Gaza sebagai bagian dari tuntutan...

More Articles Like This