KETIKA Surabaya melawan kedatangan pemenang Perang Dunia II, Inggris dan Belanda, dunia tersentak bahwa eksistenti Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 memang nyata adanya. Indonesia punya tentara yang didukung rakyat. Perang semesta terjadi, pekik takbir Allahu Akbar membahana.
Surabaya mewakili perlawanan fisik terhebat dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Tanpa bermaksud mengecilkan perlawanan rakyat di setiap jengkal tanah Sumatera, Jawa, Bali hingga Sulawesi, terimalah bahwa Surabaya menjadi smbol perlawanan terhaap upaya kembalinya penjajah dengan dalih sebagai pemenang perang dunia.
Jakarta bersaksi sebagai Kota Proklamasi Kemerdekaan, diikuti Rapat Raksasa padan14 September 1945 di Lapangan Ikada yang diikuti puluhan ribu rakyat . Meski di hadapan ancaman dan halangan dari militer Jepang, rapat membulatkan tekad mendukung Proklamasi dan Soekarno menunjukkan kepiawaian menguasai massa hingga tertiblah suasana Jakarta.
Pada momentum ini tampil Tan Malaka yang sudah dua puluh tahun bergerak di bahwa tanah. Bersama Tan Malaka anak-anak muda pengikutnya, seperti Chairul Saleh, Wikana, Supeno, Sukarni dan lain-lain. Mereka semua mendukung Soekarno.
Sekitar Jakarta mulai bergolak, puisi dan selebaran sastrawan revolusioner membakar, menggelorakan apa arti sebuah kemerdekaan dan perlawanan. Sajak Krawang – Bekasi menjadi saksi.
Bandung Lautan Api, Semarang Lima Hari Pertempuran, menjalar ke Purwokerto, Surakarta, Yogyakarta hingga Surabaya memuncakkan kepahlawanan. Tak berharap pahala, meski dijanjikan, tak takut maut menjemput.
Baca juga: Berikut Ini Daftar 23 Pahlawan Nasional Dari Muhammadiyah
Di kota Surabaya, seorang Panglima Senior Jepang – Laksamana Shibata Yaichiro – jelas memihak Republik, membukakan pintu gudang persenjataan. Inilah benang merah persekongkolan korps Angkatan Laut yang dikomandani Laksamana Maeda di Jakarta dan Laksamana Shibata di Surabaya untuk mendukung perjuangan Bangsa Indonesia.