Pada 3 Oktober 1945, ketika ditawan Kapten Belanda yang mewakili Sekutu selaku pemenang perang dunia kedua, dengan tegas Sang Laksamana menyatakan pengakuannya terhadap otoritas bangsa Indonesia atas kota ini. Bahkan dia memerintahkan pasukannya untuk menyerahkan senjata kepada rakyat Surabaya.
Rakyat tak berdiam diri, termasuk golongan Islam yang di dalamnya terdapat sayap bersenjata seperti Hisbullah dan Sabilillah. Pekan-pekan terakhir Oktober hingga awal November 1945 pasca dukungan persenjataan dari Angkatan Laut Jepang, bergeraklah Nahdlatul Ulama di Surabaya dan sekitarnya di bawah kharisma KH Hasyim Asy’ari dengan Resolusi Jihad-nya.
Resolusi yang mewajibkan setiap muslim membela negara ini didukung Muhammadiyah di Yogjakarta. Mengalirlah para santri di sepanjang Kali Brantas (Mojokerto, Sidoarjo, Jombang , Pasuruan sampai Malang). Hisbullah Yogyakarta pun mengirim pasukan di bawah komando KH Hisyam dari Hizbul Wathon.
Soetomo (1920-1981 ) dengan berapi-api menggunakan saluran radio setempat untuk membangkitkan semangat perlawanan, membakar revolusi ke penjuru Surabaya dan sekitanya. Pada 25 Oktober 1945, enam ribu pasukan Inggris ditumpangi NICA yang sebagian besar adalah serdadu berkebangsaan India, terlibat pertempuran melawan sekitar 20 ribu pasukan TKR yang baru terbentuk ditambah 125 ibu sukarelawan rakyat. Pertempuran meletus dalam sepekan, menyusul gencatan senjata dengan mendatangkan Soekarno, Hatta dan Amir Syarifudin (Menhan) pada 30 Oktober 1945.
Baca juga: Menjadi Pahlawan Indonesia
Tetapi pertempuran justru semakin menghebat kurang dari dua pekan kemudian gara-gara Brigjen AWS Mallaby tewas terbunuh. Inggris mengultimatum Surabaya agar menyerahkan dan tentara dan rakyat menyerahkan senjatanya.
Pembersihan berdarah mendekati genosida dilakukan Inggris dari darat, laut dan udara. Separuh Kota Surabaya dikuasai Inggris, yang didalamnya bercokol pasukan terlatih Mobrig Belanda, berseragam dan bersenjata Amerika Serikat. Rakyat dan tentara Surabaya tidak gentar, apalagi menyerah dalam pertempuran hebat tiga pekan di bulan November itu.
Separuh Surabaya luluh lantak, lebih dari 6.000 pejuang republik gugur. Pada titik inilah Inggris dan Amerika Serikat tidak mampu menolak jawaban delegasi Indonesia di Dewan Keamanan PBB sejak 1946-1949 (3,5 tahun) bahwa Indonesia bukanlah gerombolan. Indonesia adalah adalah tentara dengan dukungan pertahanan semesta.
Pertempuran di jalur Semarang-Yogyakarta yang dikenal sebagai Palagan Ambarawa menutup Desember 1945. Berlangsung perundingan Indonesia- Belanda di Linggajati, Kuningan Jawa Barat. Tiba juga pengakuan RI pada 27 Desember 1949. Melalui serangan militer selama enam jam di Yogyakarta, status RIS lewat dalam delapan bulan saja. (*)