JAKARTAMU.COM | Dalam lanskap politik global yang kerap didominasi oleh figur-figur pemimpin yang membangun citra diri sebagai ikon atau bahkan semi-dewa di mata rakyatnya, muncul seorang pemimpin yang membawa angin perubahan. Bassirou Diomaye Faye, Presiden Senegal yang baru terpilih, menyatakan dengan tegas bahwa dirinya bukanlah ikon, bukan dewa, tetapi seorang pelayan bangsa.
Pernyataan ini mencerminkan visi kepemimpinan yang merakyat dan jauh dari sikap elitis. Faye menolak tradisi umum di banyak negara di mana potret pemimpin digantung di kantor-kantor pemerintahan sebagai simbol loyalitas dan penghormatan. Sebaliknya, ia justru meminta para pejabat untuk menggantung foto anak-anak mereka sebagai pengingat akan tanggung jawab moral yang mereka emban.
“Saya tidak ingin foto saya ada di kantor-kantor kalian karena saya bukanlah dewa atau ikon. Saya adalah pelayan bangsa. Sebaliknya, gantunglah foto anak-anak kalian dan lihatlah mereka setiap kali kalian harus membuat keputusan. Jika godaan untuk mencuri muncul, lihatlah foto keluarga kalian dengan baik dan tanyakan pada diri sendiri apakah mereka layak menjadi keluarga seorang pencuri yang telah mengkhianati bangsa.”
Pesan Moral: Menjadi Pemimpin yang Berintegritas
Pernyataan Faye bukan sekadar simbolisme, melainkan sebuah tantangan bagi para pejabat dan birokrat untuk mempertanyakan kembali moralitas dan kejujuran dalam kepemimpinan. Dengan meminta para pejabat untuk melihat wajah anak-anak mereka sebelum mengambil keputusan, Faye seakan ingin menanamkan kesadaran bahwa setiap tindakan mereka akan berdampak pada generasi mendatang.
Sejarah politik di berbagai negara, termasuk di Afrika, tak jarang dipenuhi dengan praktik korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan. Faye tampaknya memahami bahwa salah satu kunci utama reformasi adalah dengan membangun budaya kepemimpinan yang bersih, transparan, dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat, bukan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Menolak Kultus Individu, Mengedepankan Kolektivitas
Penolakan terhadap kultus individu dalam politik adalah langkah berani. Di banyak negara, pemimpin sering kali dielu-elukan layaknya figur setengah dewa, potret mereka menghiasi setiap sudut institusi publik, dan nama mereka dicantumkan dalam berbagai proyek pembangunan. Hal ini tak jarang menjadi celah bagi kepemimpinan yang otoriter dan tidak tersentuh kritik.
Faye justru menawarkan model kepemimpinan baru yang lebih membumi. Ia ingin membangun citra pemimpin sebagai abdi negara, bukan sosok yang harus disembah-sembah. Model kepemimpinan ini selaras dengan prinsip good governance yang menekankan akuntabilitas, transparansi, dan kepentingan rakyat sebagai prioritas utama.
Dampak dan Harapan bagi Senegal
Sebagai presiden muda, langkah awal Faye akan sangat menentukan arah kebijakan pemerintahannya. Apakah ia mampu menjaga integritasnya dan menerapkan prinsip-prinsip kepemimpinan bersih yang ia gaungkan? Harapan rakyat Senegal terhadapnya sangat besar, terutama dalam memberantas korupsi, meningkatkan kesejahteraan ekonomi, serta memperkuat sistem demokrasi yang sehat.
Faye memberikan contoh bahwa kepemimpinan bukanlah soal pencitraan, tetapi tentang keteladanan dan tanggung jawab moral. Jika ia berhasil menegakkan prinsip-prinsip tersebut dalam pemerintahannya, bukan tidak mungkin Senegal akan menjadi inspirasi bagi negara-negara lain yang ingin lepas dari bayang-bayang politik transaksional dan kepemimpinan yang hanya mementingkan diri sendiri.
Di tengah dunia politik yang kerap dipenuhi dengan janji-janji kosong, Bassirou Diomaye Faye menghadirkan harapan baru: bahwa pemimpin sejati bukanlah mereka yang dipuja-puja dalam bingkai foto, melainkan mereka yang benar-benar bekerja untuk rakyat. (Dwi Taufan Hidayat)