JAKARTAMU.COM | Suatu ketika Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik bin Marwan pergi haji. Begini sampai ke Baitul Atiq, ia melepas kerinduannya kepada Kakbah. Beliau menoleh kepada pengawalnya dan berkata, “Carilah seorang alim yang dapat memberikan peringatan kepada kita di hari mulia di antara hari-hari Allah ini.”
Pengawal itu berangkat menemui orang-orang yang tengah berhaji dan bertanya sesuai dengan yang dikehendaki oleh khalifah.
Orang-orang berkata, “Di sini ada Thawus bin Kaisan, tokoh ulama ahli fiqih yang paling jujur perkataannya dalam dakwah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu temuilah dia.”
Orang yang dimaksud adalah Dzakhwan bin Kaisan. Dia berjuluk Thawus (burung merak) karena dia laksana thawus bagi para fuqaha dan pemuka pada masanya.
Pengawal itu menghampiri Thawus dan berkata, “Ikutlah dengan kami, Amirul Mukminin mengundang Anda wahai syaikh!”
Tanpa membuang-buang waktu, Thawus mengikutinya. Menurut beliau bahwa setiap da’i tidak boleh menyia-nyiakan waktu bila ada kesempatan. Setiap kali diundang, mereka bersegera datang.
Ia juga meyakini bahwa kalimat yang utama untuk disampaikan adalah kalimat yang benar untuk meluruskan para penguasa yang menyimpang dan menjauhkan mereka dari kezaliman dan kekejaman, sekaligus mendekatkan mereka kepada Allah Ta’ala.
Sesampainya di depan Amirul Mukminin, beliau memberi salam dan disambut dengan sangat ramah. Selanjutnya khalifah membimbing beliau menuju majelisnya, lalu bertanya tentang persoalan manasik haji. Beliau mendengarkan dengan tekun dan penuh hormat.
Ketika beliau merasa bahwa Amirul Mukminin sudah mendapatkan keterangan yang diperlukan dan tak ada lagi yang dipertanyakan, Thawus berkata dalam hati, “Ini adalah majelis yang kelak engkau akan diminta pertanggung jawaban oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, wahai Thawus.”
Thawus, menoleh kepada khalifah dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ada suatu batu besar di tepi sumur jahannam. Batu itu dilemparkan ke dasar jahannam dan baru mencapai dasarnya setelah 70 tahun. Tahukah Anda untuk siapakah sumur itu disediakan, wahai Amirul Mukminin?”
Khalifah berkata, “Tidak, duhai celaka, untuk siapa itu?
Thawus bin Kaisan menjawab, “Untuk orang-orang yang Allah sebagai penegak hukum-Nya namun dia menyelewengkannya.”
Tiba-tiba saja tubuh Khalifah Sulaiman gemetaran sampai aku menduga rohnya akan terbang dari jasadnya. Setelah itu beliau menangis tersedu-sedu.
Kemudian Thawus meninggalkan majelis dan pulang sedangkan khalifah mendoakan agar Thawus mendapat balasan yang lebih dari Allah.
Umar bin Abdul Aziz
Tatkala khalifah berpindah ke tangan Umar bin Abdul Aziz, Thawus menerima surat dari Amirul Mukminin yang isinya, “Berilah aku nasihat, wahai Abu Abdirrahman!”
Thawus bin Kaisan menjawab surat tersebut dengan sebaris kalimat singkat, “Bila Anda menghendaki seluruh amal Anda baik, maka angkatlah para pengawal dari orang-orang yang baik pula, wassalam.”
Demi membaca surat jawaban tersebut khalifah Umar bin Abdul Aziz berkata, “Cukuplah ini sebagai peringatan… cukuplah ini sebagai peringatan…”
Hisyam bin Abdul Malik
Gusar Begitu pula ketika khilafah beralih ke tangan Hisyam bin Abdul Malik, banyak kejadian masyhur dan mengesankan antara dia dengan Thawus bin Kaisan.
Sebagai contoh adalah peristiwa ketika Hisyam datang untuk menunaikan haji. Begitu memasuki Tanah Haram, dia berkata kepada pemuka Makkah: “Carikan aku seorang sahabat Rasulullah SAW.”
Mereka berkata, “Wahai Amirul Mukminin, para sahabat telah wafat satu demi satu hingga tak satupun tersisa.”
Hisyam berkata, “Jika demikian, carikan di antara ulama tabi’in!” Maka dipanggillah Thawus bin Kaisan.
Thawus bin Kaisan datang menghadap, beliau membuka sepatunya di tepi permadani, lalu memberi salam tanpa menyebut “Amirul Mukminin” dan hanya menyebutkan namanya saja tanpa atribut kehormatan.
Kemudian beliau langsung duduk sebelum khalifah memberi izin dan mempersilakannya. Rupanya Hisyam tersinggung dengan perlakuan tersebut, sehingga tampak kemarahan dari pandangan matanya. Dia menganggap hal itu kurang sopan dan tidak hormat, terlebih di hadapan para pejabat dan pengawalnya.
Hanya saja dia sadar bahwa saat itu berada di Tanah Haram, rumah Allah SWT sehingga dia menahan dirinya lalu berkata, Hisyam: “Mengapa Anda berbuat seperti itu wahai Thawus?”
Thawus: “Memang apa yang saya lakukan?”
Hisyam: “Anda melepas sepatu di tepi permadani saya, Anda tidak memberi salam kehormatan, Anda hanya memanggil namaku tanpa gelar lalu duduk sebelum dipersilakan.”
Thawus: “Adapun tentang melepas sepatu, saya melepasnya lima kali sehari di hadapan Allah Yang Maha Esa, maka hendaknya Anda tidak marah atau gusar.”
“Adapun masalah saya tidak memberi salam tanpa menyebutkan gelar amirul mukminin, itu karena tidak seluruh muslimin membai’at Anda. Oleh karena itu, saya takut dikatakan sebagai pembohong apabila memanggil Anda dengan amirul mukminin.”
“Anda tidak rela saya menyebut nama Anda tanpa gelar kebesaran, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala memanggil nabi-nabi-Nya dengan nama-nama mereka, ‘Wahai Daud, Wahai Yahya, Wahai Musa, Wahai Isa.”
Sebaliknya menyebut musuhnya dengan menyertakan gelar (“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa”).
“Adapun mengapa saya duduk sebelum dipersilakan, ini karena saya mendengar Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata, ‘Bila engkau hendak melihat seorang ahli neraka, maka lihatlah pada seorang yang duduk sedangkan orang-orang di sekelilingnya berdiri.’ Saya tidak suka Anda menjadi ahli neraka.”
Amirul Mukminin Hisyam mendengar penjelasan itu dengan serius. Hisyam: “Wahai Abu Badurrahman, berilah saya nasihat!”
Thawus: “Saya pernah mendengar Ali bin Abi Thalib berkata, ‘Di dalam jahannam terdapat ular-ular sebesar pilar dan kalajengking sebesar kuda. Mereka menggigit dan menyengat setiap penguasa yang tidak adil terhadap rakyatnya.” Setelah itu beliau bangkit dari tempat duduknya lalu pergi.
Nasihat Thawus bin Kaisan tidak hanya khusus ditujukan untuk khalifah atau pejabat dan gubernur saja, melainkan juga kepada siapa saja yang dirasa perlu atau bagi mereka yang menginginkan nasihat-nasihatnya.
Atha bin Abi Rabah meriwayatkan, pernah suatu ketika Thawus bin Kaisan melihatnya dalam keadaan yang tak disukainya, lalu berkata, “Wahai Atha’, mengapa engkau mengutarakan kebutuhanmu kepada orang yang menutup pintunya di depanmu dan menempatkan penjaga-penjaga di rumahnya?”
“Mintalah kepada yang sudi membuka pintu-Nya dan mengundangmu untuk datang, serta yang berjanji akan menepati janjinya.”
Dzakhwan bin Kaisan mencapai usia lebih dari 100 tahun dan dia tidak pikun. Sepanjang hidupnya Thawus memberi nasehat dan mengajarkan Al-Quran.
Ada kalanya Thawus bin Kaisan mendatangi para penguasa untuk memberikan petunjuk dan nasihat. Adakalanya dia mengecam dan membuat mereka menangis.
Putranya, Abdullah, bercerita, suatu ketika mereka berangkat dari Yaman untuk melaksanakan haji, kemudian singgah di suatu kota yang di sana ada seorang pejabat bernama Ibnu Najih. Dia adalah pejabat yang paling bejat, paling anti pati terhadap kebenaran dan paling banyak bergumul dalam lembah kebathilan.
Setibanya di sana, mereka singgah di masjid kota itu untuk menunaikan salat fardhu. Ternyata Ibnu Najih sudah mendengar tentang kedatangan Thawus bin Kaisan sehingga dia datang ke masjid.
Dia duduk di samping Thawus dan memberi salam. “Namun ayahku tidak menjawab salamnya, bahkan memutar punggung membelakanginya. Kemudian dia menghampiri dari sisi kanan dan mengajak bicara, tetapi ayahku mengacuhkannya. Demikian pula ketika dia mencoba dari arah kiri,” tutur Abdullah, putranya itu.
Sang putra pun mendatangi Ibnu Najih, memberi salam lalu berkata, “Mungkin ayah tidak mengenal Anda.”
“Ayahmu mengenalku, karena itulah dia bersikap demikian terhadapku,” jawabnya.
Lalu dia pergi tanpa berkata apa-apa lagi… Sesampainya di rumah, Thawus berkata, “Sungguh dungu kalian! Bila jauh kamu selalu mengecamnya dengan keras, tapi bila sudah berada di hadapannya, kalian tertunduk kepadanya. Bukankah itu yang dikatakan kemunafikan?”
Nasihat kepada Putranya
Thawus bin Kaisan pernah menasihati putranya, “Wahai putraku, bergaullah dengan orang-orang yang berakal karena engkau akan dimasukkan dalam golongan mereka. Jangan berteman dengan orang-orang bodoh, sebab bila engkau berteman dengan mereka, niscaya engkau akan dimasukkan dalam golongan mereka, walaupun engkau tidak seperti mereka. Ketahuilah, bagi segala sesuatu pasti ada puncaknya. Dan puncak derajat seseorang terletak pada kesempurnaan agama dan akhlaknya.”
Begitulah, putranya Abdullah tumbuh dalam bimbingannya, hidup serta berakhlak seperti ayahnya itu. Maka wajar bila khalifah Abbasiyah, Abu Ja’far al-Mansur memanggil putra Thawus, Abdullah serta Malik bin Anas untuk berkunjung. Setelah keduanya datang dan duduk di hadapannya, khalifah menatap Abdullah bin Thawus seraya berkata, “Ceritakanlah sesuatu yang engkau peroleh dari ayahmu!”
Beliau menjawab, “Ayah saya bercerita bahwa siksa Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling keras di hari kiamat dijatuhkan kepada orang yang diberi-Nya kekuasaan lalu berlaku curang.”
Malik bin Anas berkata, “Demi mendengar ucapan tersebut, aku segera melipat pakaianku karena takut terkena percikan darahnya. Tapi ternyata Abu Ja’far hanya diam terpaku lalu kami berdua diizinkan pulang dengan selamat.”
Usia Lebih 100 Tahun Tidak Pikun
Usia Thawus bin Kaisan mencapai 100 tahun atau lebih sedikit. Namun usia tua tidak mengubah sedikit pun ketajaman ingatan, kejeniusan pikiran dan kecepatan daya tangkapnya.
Abdullah Asyami bercerita, “Saya mendatangi rumah Thawus bin Kaisan untuk belajar sesuatu kepadanya, sedangkan aku belum mengenalnya. Ketika aku mengetuk pintu, keluarlah seseorang yang sudah tua usianya. Aku memberi salam lalu bertanya, “Andakah Thawus bin Kaisan?”
Orang tua itu menjawab, “Bukan, aku adalah putranya.”
Aku berkata, “Bila Anda putranya, maka tentulah syaikh itu sudah tua renta dan mungkin sudah pikun. Padahal saya datang dari tempat yang jauh untuk menimba ilmu dari beliau.”
Putra Thawus berkata, “Jangan bodoh, orang yang mengajarkan Kitabullah tidaklah pikun. Silakan masuk!”
Akupun masuk, memberi salam lalu berkata, “Saya datang kepada Anda karena ingin menimba ilmu dan mendengarkan nasihat Anda. Jelaskan secara singkat.”
Thawus berkata, “Akan aku ringkas sedapat mungkin, InsyaAllah. Apakah engkau ingin aku menceritakan tentang inti isi Taurat, Zabur, Injil, dan Alquran?”
Aku berkata, “Benar.”
Beliau berkata, “Takutlah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan rasa takut yang tiada bandingnya. Mohonlah kepada-Nya suatu permohonan yang lebih besar daripada rasa takutmu kepada-Nya. Dan senangkanlah orang lain sebagaimana engkau menyenangkan dirimu sendiri.”
Malam 10 Dzulhijah 106 H, wafatlah seorang syaikh lanjut usia, yaitu Thawus bin Kaisan ketika tengah menunaikan haji, dari Arafah menuju Muzdalifah, pada perjalanannya yang keempat puluh kalinya.
Ketika itu, beliau menaruh perbekalannya, kemudian melakukan salat maghrib dan Isya. Setelah itu beliau merebahkan tubuhnya di atas tanah untuk beristirahat.
Pada saat itulah ajal menjemput beliau. Beliau wafat ketika jauh dari keluarga, jauh dari negeri sendiri, demi bertaqarub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wafat dalam keadaan bertalbiah dan berihram untuk mencari pahal Allah Subhanahu wa Ta’ala, untuk keluar dari dosa-dosa sehingga kembali seperti saat dilahirkan dengan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketika matahari terbit dan jenazah hendak diurus penguburannya, ternyata jenazah sulit untuk dikeluarkan karena sesaknya orang yang hendak mengantarkan.
Bahkan amir Makkah terpaksa mengirim pengawalnya untuk menghalau orang-orang yang mengerumuni jenazahnya agar bisa diurus sebagaimana mestinya. Orang yang turut mensalatkan banyak sekali, hanya Allah yang mampu menghitungnya, termasuk di dalamnya Amirul Mukminin Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan.