JAKARTAMU.COM | Air adalah anugerah Allah yang menjadi sumber kehidupan bagi semua makhluk di muka bumi. Al-Qur’an menegaskan pentingnya air dalam Surah al-Anbiya’ [21]: 30: “Dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup, apakah mereka tidak juga beriman?”
Ayat ini menegaskan peran air sebagai elemen vital yang wajib dijaga dan dilestarikan. Namun, realitas dunia saat ini menunjukkan potensi krisis air yang mengancam baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Dalam konteks ini, ide memanfaatkan limbah air wudhu menjadi sebuah solusi inovatif untuk menjaga keberlanjutan sumber daya air. Beberapa masjid dan pondok pesantren telah menerapkan langkah ini, misalnya dengan memanfaatkan limbah tersebut untuk menyiram tanaman atau budidaya ikan. Namun, bagaimana jika air limbah ini ingin digunakan kembali untuk bersuci?
Standar Pemanfaatan Air Wudhu
Islam memiliki aturan yang ketat tentang kesucian air untuk ibadah, termasuk bersuci. Dalam fikih, air yang digunakan untuk bersuci harus memenuhi syarat sebagai al-ma’ al-mutlaq, yaitu air yang suci dan dapat menyucikan. Sementara itu, air yang telah digunakan untuk bersuci masuk kategori al-ma’ al-musta’mal, yang meskipun suci, tidak dapat digunakan kembali untuk bersuci.
Namun, pemanfaatan limbah air wudhu tidak hanya soal hukum fikih, tetapi juga menyangkut aspek kesehatan. Limbah air wudhu berpotensi terkontaminasi oleh najis atau bakteri berbahaya yang berasal dari alas kaki atau penyakit menular. Oleh karena itu, penggunaan kembali air ini harus melalui proses treatment yang sesuai standar kesehatan.
Dalam perspektif fikih berkemajuan, Muhammadiyah menekankan pendekatan yang holistik—menggabungkan pendekatan bayani (teks agama), burhani (temuan ilmiah), dan irfani (kesantunan). Dengan ini, pemanfaatan limbah air wudhu untuk bersuci harus mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk jaminan kesehatan dan efektivitas proses penyaringannya.
Ayat Al-Qur’an dalam Surah al-Nahl [16]: 43 menyarankan untuk bertanya kepada ahli jika terdapat persoalan yang membutuhkan keahlian tertentu. Dalam hal ini, konsultasi dengan pakar lingkungan dan kesehatan sangat penting untuk menentukan apakah limbah air wudhu, setelah melalui proses treatment, bisa memenuhi syarat sebagai air suci dan menyucikan.
Selain itu, ada kaidah fikih yang relevan: “Kemudaratan harus dihilangkan” dan “Menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada mengambil kemaslahatan.” Jika air yang diolah masih mengandung risiko kesehatan, maka penggunaannya untuk bersuci perlu ditinjau ulang.
Pemanfaatan limbah air wudhu dapat diarahkan pada kebutuhan lain yang tidak bersentuhan langsung dengan ibadah mahdhah, seperti menyiram tanaman atau budidaya ikan. Dalam situasi tertentu, seperti di wilayah yang tidak mengalami krisis air, opsi ini lebih relevan sesuai dengan konsep fiqh aulawiyat atau skala prioritas. (sumber)