Kamis, November 21, 2024
No menu items!

Pengadilan Peristiwa Tiga Daerah: Hukuman Pertama Setelah Indonesia Merdeka

Peristiwa Tiga Daerah sangat bermakna dalam konteks jalannya revolusi secara keseluruhan. Sangat detail serta kaya raya akan fakta-fakta.

Must Read

PADA 5 Mei 1950, di keremangan pagi pantai Pekalongan yang landai, Kutil alias Sakhyani, tukang cukur itu berjongkok lalu rebah diterjang butir-butir timah panas. Hidup Kutil sebagai Robinhood di masa kekacauan Peristiwa Tiga Daerah (Brebes-Tegal- Pemalang) berakhir.

Kutil menjadi satu-satunya korban atau dikorbankan karena ketidakmampuan revolusi nasional Indonesia memutuskan tentang makna  Peristiwa Tiga Daerah. Inilah noktah sejarah dalam salah satu revolusi sosial bergelombang di beberapa kawasan Republik Indonesia yang baru beberapa bulan Merdeka. Daerah-dearah itu adalah  Cumbok Aceh, Sumatera Timur, Banten, Tiga Daerah,  dan Surakarta.

Eksekusi mati telah dijalani Kutil di hadapan regu tembak yang dipimpin Komandan Militer Kota Pekalongan, Sudharmo- Kepala Staf Resimen XVII TKR (kemudian TNI). Dia melaksanakan pidana mati yang dijatuhkan pengadilan negeri Pekalongan pada 21 Oktober 1949. Hakimnya bernama R Suprapto yang kelak menjadi Jaksa Agung RI (1950-1959) sekaligus Bapak Kejaksaan RI.

Presiden Sukarno dalam peresmian prasasti pada 1964, menyebutnya sebagai petualangan politik yang separatis dengan sebutan Negara Talang (nama kawasan kecamatan di Kabupaten Tegal – Jawa Tengah). Kenangan itu diprastasikan di Talang berupa bangunan patung.

Apa yang sesungguhnya terjadi kala itu?

Bagian Episode Revolusi Fisik

Sejarawan Dr Sartono Kartodirjo mengantarkan disertasi Anton Lucas yang berjudul Peristiwa Tiga Daerah – Revolusi dalam Revolusi, antara lain menuliskan bahwa sebagai episode dari revolusi fisik, Peristiwa Tiga Daerah merupakan gejala yang cukup unik, sangat bermakna dalam konteks jalannya revolusi secara keseluruhan. Sangat detail serta kaya raya akan fakta-fakta.

Dr. Abdurrahman Surjomiharjo melanjutkan pada Prisma 1981, bahwa Peristiwa Tiga Daerah mengisahkan bagaimana revolusi disambut rakyat setempat dengan pengertian dan persepsi tentang revolusi sosial sebagai lanjutan Proklamasi Kemerdekaan. Sebuah hasil pelaksanaan studi yang luas dan mendalam dengan metode sejarah lisan, studi literatur dan arsip.

Diiringi pengantar kedua sejarawan senior yang telah tiada di tengah-tengah kita, tibalah kisah nyata yang mengisi lembaran hidup kita bernegara dan berbangsa agar merefleksi diri bagaimana politik dan hukum berinteraksi di dalamnya.

Selama berkecamuk revolusi sosial Tiga Daerah (Oktober-Desember 1945), perhatian pemerintah pusat yang masih jabang bayi itu, tersedot oleh kedatangan Sekutu (Inggris ditumpangi NICA – Pemerintahan Sipil Belanda) – khususnya pertempuran Palagan Ambarawa –  yang ingin kembali menjajah Indonesia yang baru saja diproklamasikan.

Termasuk di dalamnya peralihan kekuasaan Karesidenan Pekalongan ke tangan R. Sarjio di bawah arahan Gabungan Badan Perjuangan Tiga Daerah  yang didominasi kaum kiri (sosialis dan komunis bawah tanah). Namun kekuasaan itu hanya bertahan selama 4 hari saja (10-14  Desember 1945).

Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di bawah Komando Resimen  XVII sementara dijabat  Kepala Staf Umum Wadyono. Penggantian ini  karena Komandan Resimen Iskandar Idris ditangkap di Talang oleh pengikut dan pendukung Peristiwa Tiga Daerah yang berhaluan kiri.

Kader Muhammadiyah

Sebagaimana diketahui, Iskandar Idris (17 Februari 1901- 17 November 1982) adalah mantan Daidancho  Peta  Karesidenan Pekalongan (setingkat dengan Daidancho Sudirman di Purwokerto, kelak menjadi Panglima Besar Jenderal Sudirman ).

Iskandar Idris juga pernah menjadi Ketua Muhammadiyah Pekalongan (1923-1931, dan kembali menhabat pada 1938). Anak-anaknya antara lain dokter Dadang Hawari (spesialis jiwa) dan dokter Mun’im Idris (ahli kedokteran kehakiman).

Berkat kerja keras Lasykar Hisbullah yang dipimpin Ismail Hasan (adik Iskandar Idris), dengan menghadang dan  menembak rombongan mobil dinas Residen Sarjio, serta diikuti demonstrasi massa di depan Kantor Karesidenan Pekalongan, maka ditangkaplah Sarjio – Residen pilihan GPBTD (Gabungan Perjuangan Tiga Daerah yakni Brebes, Tegal dan Pemalang) yang diarahkan kaum Sosialis dan Komunis bawah tanah (K.Mijaya, Muh Nuh cs). Pemimpin penangkapan adalah Wadyono, komandan sementara Resimen XVII  mewakili Iskandar Idris yang sedang ditahan oleh gerakan pendukung Residen Sarjio. (*)

Buta Maritim, Namarin Kritik Erick Thohir Angkat Heru sebagai Dirut ASDP

JAKARTAMU.COM | Kabar mengejutkan datang dari industri maritim nasional. Pada Selasa, 19 November 2024 lalu, Menteri BUMN Erick Thohir...

More Articles Like This