Selasa, Maret 4, 2025
No menu items!

Penjahat Tidak Pernah Membangun Negara: Mereka Hanya Memperkaya Diri dan Merusak Bangsa

Must Read

JAKARTAMU.COM | Dalam sejarah peradaban manusia, ada perbedaan mendasar antara pemimpin yang membangun negara dan mereka yang menghancurkannya. Para pemimpin sejati bekerja untuk kemajuan bangsa, sementara para penjahat—terutama mereka yang duduk di kursi kekuasaan—hanya sibuk memperkaya diri sendiri sambil merusak negara.

Mereka hadir dalam berbagai bentuk: koruptor yang merampas uang rakyat, dinasti politik yang mempertahankan kekuasaan dengan cara kotor, hingga para pejabat yang memainkan kasus hukum untuk saling menyandera. Fenomena ini tidak hanya terjadi di satu negara, melainkan menjadi pola umum dalam sistem pemerintahan yang lemah dan penuh celah.

Korupsi: Pundi-Pundi Pribadi dari Uang Rakyat

Korupsi adalah bentuk kejahatan yang paling merusak tatanan negara. Dalam sistem yang korup, anggaran yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat malah masuk ke kantong pejabat dan kroni-kroninya. Akibatnya, pembangunan infrastruktur mandek, layanan publik memburuk, dan rakyat yang seharusnya menikmati kemajuan justru semakin terpuruk.

Contoh nyata bisa dilihat dalam skandal korupsi megaproyek infrastruktur di berbagai negara. Di Indonesia, kasus korupsi proyek e-KTP menjadi salah satu bukti betapa rakusnya para pejabat. Proyek yang seharusnya memperbaiki sistem kependudukan malah menjadi ajang bagi-bagi uang haram. Uang negara triliunan rupiah dikorupsi, sementara rakyat dibiarkan menderita akibat sistem administrasi yang carut-marut.

Tak hanya itu, korupsi dalam sektor kesehatan juga menjadi kejahatan kemanusiaan yang mengerikan. Kasus korupsi dana bantuan COVID-19 yang melibatkan pejabat tinggi menunjukkan betapa rendahnya moralitas sebagian elite politik. Saat rakyat berjuang bertahan hidup dalam krisis pandemi, mereka malah memperkaya diri dari dana yang seharusnya menyelamatkan nyawa.

Korupsi bukan sekadar tindakan mencuri uang, tetapi juga mencuri masa depan bangsa. Negara-negara dengan tingkat korupsi tinggi cenderung mengalami stagnasi ekonomi, ketimpangan sosial, dan ketidakstabilan politik.

Politik Dinasti: Kekuasaan yang Berputar di Lingkaran yang Sama

Selain korupsi, ancaman besar bagi demokrasi adalah politik dinasti. Ketika jabatan politik diwariskan dari satu keluarga ke keluarga lainnya, demokrasi yang sejatinya berbasis pada meritokrasi berubah menjadi sistem feodal berkedok modern.

Contohnya bisa dilihat di berbagai negara di Asia, Afrika, bahkan Amerika Latin. Banyak negara berkembang yang dikuasai oleh segelintir keluarga yang terus mempertahankan kekuasaan mereka melalui berbagai cara, termasuk memanfaatkan sumber daya negara, mempermainkan hukum, dan mengontrol media.

Di Indonesia, politik dinasti semakin menjadi-jadi ketika anak-anak pejabat dengan mudah menduduki jabatan strategis tanpa rekam jejak yang memadai. Mereka bukan naik ke puncak karena prestasi, melainkan karena nama belakang yang mereka sandang. Ini bukan sekadar nepotisme biasa, tetapi upaya sistematis untuk mempertahankan kekuasaan di tangan segelintir elite.

Dampaknya? Kebijakan publik tidak lagi berpihak pada kepentingan rakyat, melainkan pada kepentingan keluarga penguasa. Mereka yang berseberangan akan disingkirkan, dan kritik terhadap mereka dianggap sebagai ancaman yang harus dibungkam.

Salah satu contoh nyata adalah ketika kepala daerah yang berasal dari dinasti politik kerap mendapatkan perlakuan istimewa dalam berbagai kebijakan. Alih-alih bersaing secara adil, mereka malah mendapatkan akses sumber daya dan jaringan politik yang jauh lebih besar dibandingkan kandidat lain. Akibatnya, kompetisi politik menjadi tidak sehat, dan rakyat dipaksa memilih dari daftar kandidat yang sudah dikondisikan sejak awal.

Main Sandera Kasus: Senjata Politik yang Merusak Keadilan

Selain korupsi dan politik dinasti, kejahatan yang semakin marak di dunia politik adalah praktik “main sandera kasus.” Ini adalah strategi kotor di mana pejabat atau aparat penegak hukum menyimpan daftar kasus seseorang untuk digunakan sebagai alat tekanan.

Jika seseorang setia atau tunduk pada kekuasaan, kasusnya akan dipetieskan. Namun, jika ia membangkang atau dianggap mengancam, kasus tersebut akan diangkat kembali untuk dijadikan senjata politik.

Praktik ini membuat hukum kehilangan maknanya. Bukan keadilan yang ditegakkan, tetapi kepentingan politik. Kasus hukum yang seharusnya menjadi alat untuk menindak kejahatan malah berubah menjadi alat tawar-menawar kekuasaan.

Contoh konkret dari praktik ini bisa dilihat dalam banyak kasus korupsi yang tiba-tiba mencuat ketika seorang pejabat atau tokoh politik mulai berseberangan dengan penguasa. Begitu mereka keluar dari lingkaran kekuasaan, berkas-berkas yang sebelumnya diam mendadak muncul, dan proses hukum berjalan dengan cepat. Namun, di sisi lain, mereka yang masih dekat dengan kekuasaan bisa bebas melenggang tanpa tersentuh hukum, meskipun bukti kejahatannya sudah terang-benderang.

Fenomena ini menciptakan ketakutan di kalangan pejabat dan elite politik. Banyak dari mereka akhirnya memilih untuk tetap “loyal” bukan karena ingin membangun negara, tetapi karena takut diseret ke meja hijau. Ini adalah bentuk pembusukan sistem yang membuat hukum kehilangan fungsinya sebagai pilar keadilan.

Dampak Sistemik: Negara yang Rusak dari Dalam

Gabungan dari korupsi, politik dinasti, dan praktik main sandera kasus menciptakan lingkaran setan yang merusak negara dari dalam. Demokrasi hanya menjadi formalitas tanpa substansi, kebijakan publik tidak lagi berdasarkan kepentingan rakyat, dan hukum menjadi alat permainan elite politik.

Negara yang dikuasai oleh para penjahat ini mungkin terlihat berjalan seperti biasa, tetapi di dalamnya terjadi pembusukan yang perlahan-lahan menghancurkan fondasi bangsa. Rakyat kecil menjadi korban utama, karena mereka harus menghadapi sistem yang tidak berpihak pada mereka.

Investasi publik tersendat, pembangunan tidak merata, pendidikan dan kesehatan terbengkalai, serta kepercayaan terhadap pemerintah terus menurun. Akibatnya, muncul ketidakpuasan sosial yang bisa meledak kapan saja dalam bentuk krisis politik atau ekonomi.

Harapan: Perlawanan dari Rakyat

Meski begitu, masih ada harapan. Di banyak negara, rakyat semakin sadar akan pentingnya melawan praktik korup dan politik kotor. Gerakan sosial, media independen, dan kelompok masyarakat sipil semakin berani mengungkap kebobrokan para elite.

Teknologi juga menjadi alat yang ampuh untuk mengawasi kinerja pemerintah. Dengan keterbukaan informasi, rakyat tidak lagi bisa dibodohi dengan propaganda semata.

Membangun negara bukan tugas segelintir orang, tetapi kerja bersama seluruh elemen masyarakat. Para penjahat mungkin bisa menguasai sistem untuk sementara waktu, tetapi mereka tidak akan pernah benar-benar membangun bangsa.

Sebaliknya, bangsa yang besar hanya bisa berdiri kokoh di atas kejujuran, integritas, dan keberanian rakyatnya untuk melawan ketidakadilan. Karena pada akhirnya, sejarah tidak pernah berpihak pada mereka yang menindas, tetapi pada mereka yang berjuang untuk kebaikan bersama.


Dwi Taufan Hidayat | Penasehat Takmir Mushala Al-Ikhlas Desa Bergas Kidul Kabupaten Semarang

Mendikti Brian Minta Dosen Perkuat Riset untuk Keluar dari Middle Income Trap

JAKARTAMU.COM | Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) Brian Yuliarto menekankan pentingnya riset dan inovasi kepada para dosen....

More Articles Like This