NEGARA dan masyarakat itu pada asasnya mempunyai kepentingan yang tidak selalu sama. Apalagi kalau menyangkut soal pajak.
Di satu sisi pajak itu menjadi beban orang atau badan hukum yang menjadi warga dari sebuah negara. Di sisi lain, penyelenggaraan negara yang dilakukan pemerintah membutuhkan pajak. Juga, negara menyelenggarakan Badan Usaha Milik Negara serta melakukan pinjaman dengan persetujuan rakyat melalui DPR RI. Dari sana nampak dalam hal politik, sesungguhnya negara itu berhadapan dengan rakyat.
Dalam penghadapan ini, terjadilah hubungan yang menimbulkan hak dan kewajiban. Rakyat punya hak dan pemerintah diberikan wewenang untuk menuntut kewajiban dari rakyat terhadap negara. Sebaliknya negara-pun harus memenuhi kewajiban melindungi segenap rakyat dan seluruh rakyat, mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara, memajukan kesejahteraan umum dan menjalankan ketertiban dunia (hubungan antar negara dan bangsa/luar negeri) berdasar keadilan dan perdamaian abadi.
Dengan demikian, rakyat bukan saja membayar pajak tetapi juga bersama-sama mentaati hukum yang diciptakan oleh negara yang diputuskan bersama antara pemerintah dan wakil rakyat/DPR itu.
Nah, tugas pendidikan dan berlalu-lintaspun sama. Negara berkewajiban namun masyarakat pun harus mentaati aturan lalu lintas. Masyarakat juga harus mendidik anak di lingkungan rumah masing-masing, kendati dalam sekian jam tertentu tugas pendidikan itu menjadi beban kewajiban negara melalui para guru dan staf sekolah.
Apa pun kewajiban rakyat haruslah sejalan dengan negara, mentaati pemerintah tidak bisa ditempatkan dengan memandang bahwa pemerintah itu selalu benar, tak salah karena seakan menjadi seorang bapak dan anaknya adalah anaknya merupakan kelanjutan aliran ratu adil dengan back up presiden dan aparatnya merupakan perwajahan Tuhan yang mesianistis dan mau menang sendiri.
Maka dari itu, ukuran dari salah – benar, kurang – lebih, terletak pada aturan yang bersumberkan nilai dan etika bernegara dan berbangsa yang secara positif terwujud dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku (UUD, UU, Peraturan pemerintah sampai peraturan pelaksanaan di bawahnya).
Hendaknya diingat pula, bahwa pembentukan peraturan tersebut di atas harus mengingat dan akan nilai filosofi, sosiologis dan yuridis. Keberlakuannya pun tidak boleh bertabrakan baik secara horisontal (antar peraturan sektoral) maupun vertikal (peraturan di bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya).
Negara janganlah menunggangi rakyat tetapi rakyatpun jangan anarkistis menentang negara.
Misalnya UU tak boleh bertentangan dengan UUD atau Konstitusi. Janganlah kehendak penguasa semata bisa mengubah peraturan. Perubahannya pun selalu diatur dalam hukum formal yang mengatur perubahan baik di tingkat Mahkamah Konstitusi (untuk tingkat UU) maupun di MA (untuk tingkat di bawah UU). Negara janganlah menunggangi rakyat tetapi rakyatpun jangan anarkistis menentang negara.