LANTARAN pelit berdoa, banyak dari kita mudah menjadi pemarah. Umumnya, doa hanya kita panjatkan untuk kepentingan pribadi. Jarang sekali kita menyisihkan doa untuk para pemimpin. Bahkan dalam khutbah-khutbah Jumat, mendoakan gubernur atau presiden terdengar amat jarang.
Sebagian orang lebih senang melihat lawan politiknya jatuh, ketimbang mendoakan agar mereka yang salah diberi hidayah dan kesadaran akan kesalahannya. Padahal, sangat mungkin para wakil rakyat itu kerap salah langkah karena kurangnya doa-doa baik dari masyarakat yang telah memilih mereka saat pemilu.
Lebih menyedihkan lagi, ada di antara kita yang lebih cepat memaki dan mencaci saat pemimpin berbuat salah, ketimbang mendoakan agar mereka berubah menjadi lebih baik. Padahal, doa jauh lebih bermanfaat—dan tentu saja tidak menambah dosa.
يقول فضيل بن عياض لو كان لي دعوة مستجابة ما جعلتها الا في السلطان
“Seandainya aku punya satu doa mustajab, akan kutujukan untuk pemimpin.”
Demikian perkataan Fudhail bin ‘Iyadh, seorang ulama besar.
Ketika ditanya mengapa demikian, beliau menjawab:
قيل له يا أبا علي فسر لنا هذا قال إذا جعلتها في نفسي لم تعدني وإذا جعلتها في السلطان صلح فصلح بصلاحه العباد والبلاد
“Jika aku tujukan doa itu untuk diriku, manfaatnya hanya untukku. Tapi jika aku tujukan pada pemimpin, maka manfaatnya akan dirasakan oleh rakyat dan negara.”
Fudhail melanjutkan,
فأمرنا أن ندعو لهم بالصلاح ولم نؤمر أن ندعو عليهم وإن جاروا وظلموا لأن جورهم وظلمهم على أنفسهم وصلاحهم لأنفسهم وللمسلمين
“Kita diperintahkan untuk mendoakan kebaikan bagi para pemimpin, bukan untuk mendoakan keburukan atas mereka. Jika mereka berbuat zalim, kezaliman itu akan mereka tanggung sendiri. Namun jika mereka berbuat baik, kebaikannya akan menyebar pada diri mereka dan umat secara luas.”
Selalu Ada Khawarij di Tiap Pemerintahan yang Sah
Beberapa hari yang lalu, Forum Purnawirawan TNI mengeluarkan pernyataan sikap mengejutkan. Dalam pernyataan itu, mereka mengajukan delapan tuntutan penting, termasuk usulan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk mengganti Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Pernyataan ini ditandatangani oleh ratusan purnawirawan dari tiga matra TNI—dari jenderal hingga kolonel.
Salah satu poin utama mereka adalah keberatan atas putusan Mahkamah Konstitusi terkait syarat usia calon presiden dan wakil presiden dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu. Mereka menilai putusan tersebut melanggar hukum acara Mahkamah serta prinsip independensi kekuasaan kehakiman.
Pemilu sudah selesai. Kekuasaan baru telah terbentuk. Demokrasi memang membuka ruang bagi kebebasan berpendapat. Namun, bila pendapat itu disampaikan terus-menerus karena ketidakpuasan, bahkan dengan tendensi menjatuhkan pemerintahan yang sah, patut diduga bahwa semangatnya tak jauh beda dengan gerakan Khawarij.
Sejarah mencatat, Muawiyah bin Abu Sufyan pernah menentang Khalifah Ali bin Abi Thalib karena tidak puas dengan kebijakan-kebijakan yang diambil. Penolakan itu memicu Perang Shiffin pada 26–28 Juli 657 M. Ketika pasukan Khalifah Ali hampir memenangkan perang, Muawiyah yang dibantu Amr bin Al-Ash mengangkat mushaf Al-Qur’an di ujung tombak, sebagai simbol ajakan damai atau tahkim.
Khalifah Ali menerima ajakan tersebut. Namun, sebagian pasukannya tidak setuju dan memisahkan diri. Kelompok ini kemudian dikenal sebagai Khawarij. Mereka adalah sekte yang menentang kekuasaan sah dengan dalih agama. Dalam bahasa Arab, khawarij berasal dari kata kharaja, yang berarti “keluar” atau “menyimpang”.
Sejarah dan ajaran para ulama mengajarkan bahwa stabilitas negeri amat bergantung pada baiknya pemimpin. Dan pemimpin yang baik, bisa lahir dari doa-doa rakyat yang tulus. (*)