JAKARTAMU.COM | Prof. Dr. Nurcholish Madjid, M.A. (17 Maret 1939 – 29 Agustus 2005) atau populer dipanggil Cak Nur dalam buku “Islam dan Peradaban” mengatakan bahwa para pembunuh Khalifah Utsman bin Affan, menurut beberapa petunjuk kesejarahan, menjadi pendukung kekhalifahan ‘Ali Ibn Abi Thalib, Khalifah IV.
Hal ini disebutkan, misalnya, oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya “Minhaj al-Sunnah”, sebagai berikut:
“Sebagian besar pasukan Ali, begitu pula mereka yang memerangi Ali dan mereka yang bersikap netral dari peperangan itu bukanlah orang-orang yang membunuh ‘Utsman. Sebaliknya, para pembunuh ‘Utsman itu adalah sekelompok kecil dari pasukan ‘Ali, sedangkan umat saat kekhalifahan ‘Utsman itu berjumlah dua ratus ribu orang, dan yang menyetujui pembunuhannya seribu orang sekitar itu.”
Akan tetapi mereka kemudian sangat kecewa kepada Ali, karena Khalifah ini menerima usul perdamaian dengan musuh mereka, Mu’awiyah ibn Abu Sufyan, dalam “Peristiwa Shiffin” di situ ‘Ali mengalami kekalahan diplomatis dan kehilangan kekuasaan “de jure”-nya.
Kaum Khawarij sang Pemberontak
Lantaran itu mereka memisahkan diri dengan membentuk kelompok baru yang kelak terkenal dengan sebutan kaum Khawarij (al-Kahwarij, kaum Pembelot atau Pemberontak).
Seperti sikap mereka terhadap Utsman, kaum Khawarij juga memandang Ali dan Mu’awiyah sebagai kafir karena mengompromikan yang benar (haqq) dengan yang palsu (bathil). Karena itu mereka merencanakan untuk membunuh Ali dan Mu’awiyah, juga Amr ibn al-‘Ash, gubernur Mesir yang sekeluarga membantu Mu’awiyah mengalahkan Ali dalam “Peristiwa Shiffin” tersebut.
Akan tetapi kaum Khawarij, melalui seseorang bernama Ibn Muljam, berhasil membunuh hanya ‘Ali, sedangkan Mu’awiyah hanya mengalami luka-luka, dan Amr ibn al-‘Ash selamat sepenuhnya (tapi mereka membunuh seseorang bernama Kharijah yang disangka ‘Amr, karena wajahnya mirip).
Menurut Cak Nur, karena sikap-sikap mereka yang sangat ekstrem dan eksklusifistik, kaum Khawarij akhirnya boleh dikatakan binasa. Tetapi dalam perjalanan sejarah pemikiran Islam, pengaruh mereka tetap saja menjadi pokok problematika pemikiran Islam.
Muktazilah Pewaris Khawarij
Mereka yang paling banyak mewarisi tradisi pemikiran Khawarij ialah kaum Muktazilah. Mereka inilah sebenarnya kelompok Islam yang paling banyak mengembangkan Ilmu Kalam seperti yang kita kenal sekarang.
Berkenaan dengan Ibnu Taimiyah mempunyai kutipan yang menarik dari keterangan salah seorang ‘ulama’ yang disebutnya Imam ‘Abdull’ah ibn al-Mubarak. Menurut Ibnu Taimiyah, sarjana itu menyatakan demikian:
Agama adalah kepunyaan ahli (pengikut) Hadis, kebohongan kepunyaan kaum Rafidlah, (ilmu) Kalam kepunyaan kaum Muktazilah, tipu daya kepunyaan (pengikut) Ra’y (temuan rasional) …
Oleh karena itu ditegaskan oleh Ibn Taimyyah bahwa Ilmu Kalam adalah keahlian khusus kaum Muktazilah. Maka salah satu ciri pemikiran Muktazili ialah rasionalitas dan paham Qadariyyah.
Jabbariyah Pengguna Unsur Yunani
Hal yang sangat menarik bahwa yang pertama kali benar-benar menggunakan unsur-unsur Yunani dalam penalaran keagamaan ialah seseorang bernama Jahm ibn Shafwan yang justru penganut paham Jabariyyah, yaitu pandangan bahwa manusia tidak berdaya sedikit pun juga berhadapan dengan kehendak dan ketentuan Tuhan.
Jahm mendapatkan bahan untuk penalaran Jabariyyah-nya dari Aristotelianisme, yaitu bagian dari paham Aristoteles yang mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu kekuatan yang serupa dengan kekuatan alam, yang hanya mengenal keadaan-keadaan umum (universal) tanpa mengenal keadaan-keadaan khusus (partikular).
Maka Tuhan tidak mungkin memberi pahala dan dosa, dan segala sesuatu yang terjadi, termasuk pada manusia, adalah seperti perjalanan hukum alam.
Hukum alam seperti itu tidak mengenal pribadi (impersonal) dan bersifat pasti, jadi tak terlawan oleh manusia. Aristoteles mengingkari adanya Tuhan yang berpribadi personal God. Baginya Tuhan adalah kekuatan maha dahsyat namun tak berkesadaran kecuali mengenai hal-hal universal. Maka mengikuti Aristoteles itu Jahm dan para pengikutnya sampai kepada sikap mengingkari adanya sifat bagi Tuhan, seperti sifat-sifat kasib, pengampun, santun, maha tinggi, pemurah, dan seterusnya.
Bagi mereka, adanya sifat-sifat itu membuat Tuhan menjadi ganda, jadi bertentangan dengan konsep Tauhid yang mereka akui sebagai hendak mereka tegakkan.
Golongan yang mengingkari adanya sifat-sifat Tuhan itu dikenal sebagai al-Nufat (“pengingkar” [sifat-sifat Tuhan]) atau al-Mu’aththilah (“pembebas” [Tuhan dari sifat-sifat]).
Muktazilah, Jabiriyah dan Qadariyah
Cak Nur menjelaskan kaum Muktazilah menolak paham Jabiriyyah-nya kaum Jahmi. Kaum Muktazilah justru menjadi pembela paham Qadariyyah seperti halnya kaum Khawarij. Maka kaum Muktazilah disebut sebagai “titisan” doktrinal (namun tanpa gerakan politik) kaum Khawarij.
Akan tetapi kaum Muktazilah banyak mengambil alih sikap kaum Jahmi yang mengingkari sifat-sifat Tuhan itu. Lebih penting lagi, kaum Muktazilah meminjam metologi kaum Jahmi, yaitu penalaran rasional, meskipun dengan berbagai premis yang berbeda, bahkan berlawanan (seperti premis kebebasan dan kemampuan manusia).
Hal ini ikut membawa kaum Muktazilah kepada penggunaan bahan-bahan Yunani yang dipermudah oleh adanya kegiatan penerjemahan buku-buku Yunani, ditambah dengan buku-buku Persi dan India, ke dalam bahasa Arab. Kegiatan itu memuncak di bawah pemerintahan al-Ma’mun ibn Harun al-Rasyid. Penerjemahan itu telah mendorong munculnya Ahli Kalam dan Falsafah.
Khalifah al-Ma’mun Memihak Muktazilah
Khalifah al-Ma’mun sendiri, di tengah-tengah pertikaian paham berbagai kelompok Islam, memihak kaum Muktazilah melawan kaum Hadis yang dipimpin oleh Ahmad ibn Hanbal (pendiri mazhab Hanbali, salah satu dari empat mazhab Fiqh).
Lebih dari itu, Khalifah al-Ma’mun, dilanjutkan oleh penggantinya, Khalifah al-Mu’tashim, melakukan mihnah (pemeriksaan paham pribadi, inquisition), dan menyiksa serta menjebloskan banyak orang, termasuk Ahmad ibn Hanbal, ke dalam penjara.
Salah satu masalah yang diperselisihkan ialah apakah Kalam atau Sabda Allah, berujud al-Qur’an, itu qadim (tak terciptakan karena menjadi satu dengan Hakikat atau Dzat Ilahi) ataukah hadits (terciptakan, karena berbentuk suara yang dinyatakan dalam huruf dan bahasa Arab)?
Khalifah al-Ma’mun dan kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Kalam Allah itu hadis, sementara kaum Hadis (dalam arti Sunnah, dan harap diperhatikan perbedaan antara kata-kata hadis [a dengan topi] dan hadits [i dengan topi]) berpendapat al-Qur’an itu qadim seperti Dzat Allah sendiri. Pemenjaraan Ahmad ibn Hanbal adalah karena masalah ini.
Mihnah itu memang tidak berlangsung terlalu lama, dan orang pun bebas kembali. Tetapi ia telah meninggalkan luka yang cukup dalam pada tubuh pemikiran Islam, yang sampai saat ini pun masih banyak dirasakan orang-orang Islam.
Namun jasa al-Ma’mun dalam membuka pintu kebebasan berpikir dan ilmu pengetahuan tetap diakui besar sekali dalam sejarah umat manusia. Maka kekhalifahan al-Ma’mun (198-218 H/813-833 M), dengan campuran unsur-unsur positif dan negatifnya, dipandang sebagai salah satu tonggak sejarah perkembangan pemikiran Islam, termasuk perkembangan Ilmu Kalam, dan juga Falsafah Islam.”