Sabtu, April 19, 2025
No menu items!

Perang Harga Warung Makan dan Kelas Menengah yang Menuruni Tangga Statistik

Must Read

BADAN Pusat Statistik (BPS) mencatat kelas menengah Indonesia yang pada tahun 2019 berjumlah 57,33 juta orang, menyusut menjadi 47,85 juta orang pada2024. Artinya, sepanjang periode tersebut sebanyak 9,48 juta penduduk kelas menengah turun kelas. Sementara jumlah kelas menengah rentan (aspiring middle class) pada periode yang sama naik 8,65 juta orang, dari 128,85 juta orang di 2019 naik menjadi 137,5 juta orang pada 2024.

Naiknya jumlah kelas menengah rentan juga diikuti kenaikan masyarakat rentan miskin sebanyak 12,72 juta orang, dari 54,97 juta orang pada 2019 menjadi 67,69 juta pada 2024. BPS mematok ukuran kelas menengah adalah mereka yang pengeluarannya 3,5-17 kali garis kemiskinan, yaitu Rp582.932 per kapita, atau sekitar Rp2,04 juta hingga Rp9,9 juta per bulan.

Naiknya jumlah penduduk kelas menengah rentan dan rentan miskin mengindikasikan bahwa banyak masyarakat golongan kelas menengah kini turun kelas ke kedua kelompok tersebut. Ada indikasi fenomena tersebut bakal berlanjut di 2025.

Sudah setengah bulan sejak perayaan Tahun Baru 2025, daya beli masyarakat tak kunjung meningkat. Para pemilik rumah makan mengaku sejak Natal dan Tahun Baru, harga-harga kebutuhan pokok belum turun secara signifikan. Bagi bisnis kelas UMKM, yang untuk tempat saja mengeluarkan ongkos sewa, tingginya harga bahan pokok jelas sangat memukul.

Di sisi lain, rendahnya daya beli mendorong warung dan rumah-rumah makan kelas UMKM banting harga. Akibatnya perang harga pun terjadi di antara orang-orang kecil itu. Dalam kondisi ini, pemilik usaha yang menyewa tempat jelas kewalahan bersaing. Yang bertahan ialah usaha yang tidak memerlukan sewa tempat alias sendiri.

Bagi UMKM makanan dan minuman yang tidak kuat sewa bayar tempat, mereka banting setir kembali menjadi penjual keliling menggunakan gerobak atau sepeda motor. Mereka mangkal di tempat-tempat strategis seperti parkiran, tepi sungai, atau pinggiran jalan dekat stasiun kereta, halte bus, atau mal atau tempat publik lainnya, berharap ada pengunjung mal yang melirik dagangan yang dibawa.

Tetapi para pedagang kecil itu mungkin tak tahu bahwa kondisi mal tak jauh beda dengan warung yang mereka tinggalkan. Mal Blok M misalnya, sejak beberapa tahun terakhir sudah sepi pengunjung. Food court yang dulu selalu diramaikan keluarga dan para remaja, kini nyaris tinggal kursi dan penjaga stan yang tampak. Pengunjung lebih banyak sekadar berjalan-jalan menikmati suasana mal.

Harus di akui bahwa sebagian hanya pergi ke mal dua kali dalam sebulan untuk sekadar cuci mata. Dia mengaku saat ini sering menahan keinginan membeli barang yang tidak terlalu mendesak dan yang tadinya bisa sekedar nongkrong atau mengajak makan bersama keluarga di mal, sekarang mereka mau tidak mau mengetatkan isi dompet alias berhemat

Bagi pegawai kantoran dari kelas menengah dan mahasiswa, mengeluarkan uang lebih dari Rp15.000 sekali makan saat ini terasa lumayan berat. Sungguh tak dapat dibayangkan, bagaimana jika kondisi ini masih berlangsung saat Ramadan dan Idul Fitri nanti? (*)

Akhmad H Abubakar: Kehadiran Gubernur Jakarta Semangati Warga Muhammadiyah

JAKARTAMU.COM | Pimpinan Wiiayah Muhamadiyah (PWM) DKI Jakarta menggelar Halal bi Halal dengan mengusung tema: Menghadirkan Bahagia dalam Dakwah...
spot_img

More Articles Like This