JAKARTAMU.COM | Di antara kutukan perempuan yang paling monumental ialah menstruasi. Teologi menstruasi ini kemudian menyatu dengan berbagai mitos yang berkembang dari mulut ke mulut (oral tradition) ke berbagai belahan bumi.
“Teologi menstruasi dianggap berkaitan dengan pandangan kosmopolitan terhadap tubuh wanita yang sedang menstruasi,” tulis Prof Dr KH Nasaruddin Umar dalam “Perspektif Jender Dalam Islam” pada buku Jurnal Pemikiran Islam Paramadina.
Menurutnya, perilaku perempuan di alam mikrokosmos diyakini mempunyai hubungan kausalitas dengan alam makrokosmos.
Peristiwa-peristiwa alam seperti bencana alam, kemarau panjang dan berkembangnya hama penyebab gagalnya panen petani dihubungkan dengan adanya yang salah dalam diri perempuan.
Darah menstruasi (menstrual blood) dianggap darah tabu (menstrual taboo) dan perempuan yang sedang menstruasi menurut kepercayaan agama Yahudi harus hidup dalam gubuk khusus (menstrual huts). Yakni, suatu gubuk khusus dirancang untuk tempat hunian para perempuan menstruasi atau mengasingkan diri di dalam goa-goa. Mereka tidak boleh bercampur dengan keluarganya, tidak boleh berhubungan seks, dan tidak boleh menyentuh jenis masakan tertentu.
Nasaruddin menguraikan bahwa yang lebih penting ialah tatapan mata (menstrual gaze) dari mata wanita sedang menstruasi yang biasa disebut dengan “mata iblis” (evil eye) harus diwaspadai, karena diyakini bisa menimbulkan berbagai bencana.
Perempuan harus mengenakan identitas diri sebagai isyarat tanda bahaya (signals of warning) manakala sedang menstruasi, supaya tidak terjadi pelanggaran terhadap menstrual taboo.
Dari sinilah asal-usul penggunaan kosmetik yang semula hanya diperuntukkan kepada perempuan sedang menstruasi.
Kata kosmetik itu sendiri berasal dari bahasa Greek, cosmetikos yang arti dan konotasinya berhubungan erat dengan kata cosmos yaitu perihal keteraturan bumi.
Juga berhubungan dengan kata cosmology, yang menunjuk kepada kajian astronomi tentang keserasian antara ruang dan waktu (space-time relationship) yang juga menjadi sasaran kajian metafisik.
Istilah lain yang erat hubungannya kata tersebut ialah kata cosmogony yang berarti deskripsi tentang asal-usul alam semesta (description of the origin of the universe).
Juga dengan kata cosmography berarti deskripsi tentang keserasian lingkungan alam (description of the order of nature).
Akan tetapi istilah “kosmetik” yang sekarang menjadi alat kecantikan wanita lebih dekat kepada kata cosmetikos tadi, berarti sesuatu yang harus diletakkan pada anggota badan wanita guna menjaga terpeliharanya keutuhan lingkungan alam. (Lihat Judi Grahn, Blood, Bread, and Roses, How Menstruation Created the World, Bostom: Beacon Press, 1993, h. 72-73).
Menstrual Creations
Barang-barang perhiasan seperti cincin, gelang, kalung, giwang, anting-anting, sandal, selop, lipstik, shadow, celak, termasuk cadar/jilbab ternyata adalah menstrual creations.
Upaya lain dalam mengamankan tatapan “mata iblis” ialah dengan menggunakan kerudung/cadar (hoods/veils) yang dapat menghalangi tatapan mata tersebut.
Kalangan antropolog berpendapat menstrual taboo inilah yang menjadi asal-usul penggunaan kerudung atau cadar.
Nasaruddin mengatakan cadar atau semacamnya bukan berawal dan diperkenalkan oleh Agama Islam dengan mengutip “ayat-ayat jilbab” dan hadis-hadis tentang aurat.
Jauh sebelumnya sudah ada konsep kerudung/cadar yang diperkenalkan dalam Kitab Taurat dan Kitab Injil.
Ada beberapa istilah yang semakna dengan jilbab (veil) dalam Kitab Taurat, antara lain tif’eret. (Isaiah: 3:19-20). Diskursus mengenai jilbab dalam agama Yahudi pernah lebih seru dari pada yang belum lama ini diributkan dalam dunia Islam.
Dalam Agama Yahudi pernah ditetapkan bahwa membuka jilbab (uncovered) dianggap sebagai suatu pelanggaran yang dapat berakibat jatuhnya talak karena hal tersebut dianggap suatu ketidaksetiaan terhadap suami.
Menurut Epstein, ketentuan penggunaan cadar sudah dikenal dalam Hukum Kekeluargaan Asyiria (Assyrian Code):
“Tradisi penggunaan kerudung ke tempat-tempat umum sudah berlangsung sejak dahulu kala di Timur. Kemungkinan referensi paling pertama ditemukan ialah di dalam hukum Asyiria, yang mengatur bahwa: istri, anak perempuan, janda, bilamana pergi ke tempat-tempat umum harus menggunakan kerudung”.
Menurut Nasaruddin, asal-usul penggunaan cadar atau kerudung dan berbagai macam kosmetik lainnya, menurut kalangan antropologis, berawal dari mitos menstrual taboo, yaitu untuk mencegah “si mata Iblis” dalam melakukan aksinya.
Penggunaan cadar/kerudung (hood) pertama kali dikenal sebagai pakaian perempuan menstruasi. Kerudung dan semacamnya semula bertujuan untuk menutupi tatapan mata terhadap cahaya matahari dan sinar bulan, karena hal itu dianggap tabu dan dapat menimbulkan bencana di dalam masyarakat dan lingkungan alam.
Kerudung dari semacamnya semula dimaksudkan sebagai pengganti “gubuk pengasingan” bagi keluarga raja atau bangsawan.
Keluarga bangsawan tidak perlu lagi mengasingkan diri di dalam gubuk pengasingan tetapi cukup menggunakan pakaian khusus yang dapat menutupi anggota badan yang dianggap sensitif.
Dahulu kala perempuan yang menggunakan cadar hanya dari keluarga bangsawan atau orang-orang yang terhormat, kemudian diikuti oleh perempuan non-bangsawan.
Peralihan dan modifikasi dari gubuk pengasingan menstrual hut menjadi cadar (menstrual hood) juga dilakukan di New Guinea, British Columbia, Asia, dan Afrika bagian Tengah, Amerika bagian Tengah, dan lain sebagainya.
Bentuk dan bahan cadar juga berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat yang lain. Bentuk cadar di Asia agak lonjong menutupi kepala sampai pinggang dan bahannya juga bermacam-macam; ada yang dari serat kayu yang ditenun khusus dan ada yang dari wol yang berasal dari bulu domba.
Selain mengenakan cadar perempuan haid juga menggunakan cat pewarna hitam (cilla’) di daerah sekitar mata guna mengurangi ketajaman pandangan matanya. Ada lagi yang menambahkan dengan memakai kalung dari bahan-bahan tertentu seperti dari logam, manik-manik, dan bahan dari tengkorak kepala manusia.
Diskursus mengenai cadar, jilbab, kerudung dan semacamnya, sesungguhnya bukan persoalan baru dalam sejarah kaum perempuan.
Masyarakat tradisional dahulu kala sudah pernah muncul perdebatan seru. Apakah boleh perempuan yang bukan bangsawan menggunakan cadar/kerudung sebagai pengganti pengasingan di gubuk menstruasi.
Agama Yahudi dan selanjutnya dalam agama Kristen, dua agama besar sebelum Islam juga telah mewajibkan penggunaan kerudung bagi kaum perempuan. “Yang jelas tradisi penggunaan kerudung, jilbab, dan cadar sudah ada jauh sebelum ayat-ayat jilbab diturunkan,” demikian Nasaruddin Umar. (*)