Minggu, Februari 2, 2025
No menu items!

Perkara Syubhat Menurut Syaikh Al-Qardhawi: Orang Bodoh Wajib Bertanya

Apabila ijtihad yang mereka lakukan ternyata salah, maka mereka dimaafkan, dan hanya mendapatkan satu pahala.

Must Read

SYUBHAT yaitu perkara yang tidak diketahui hukumnya oleh orang banyak, yang masih samar-samar kehalalan maupun keharamannya. Perkara ini sama sekali berbeda dengan perkara yang sudah sangat jelas pengharamannya.

“Oleh sebab itu, orang yang memiliki kemampuan untuk berijtihad, kemudian dia melakukannya, sehingga memperoleh kesimpulan hukum yang membolehkan atau mengharamkannya, maka dia harus melakukan hasil kesimpulan hukumnya,” tulis Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya berjudul “Fiqh Prioritas, Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah” (Robbani Press, 1996).

Menurutnya, dia tidak dibenarkan untuk melepaskan pendapatnya hanya karena khawatir mendapatkan celaan orang lain. Karena sesungguhnya manusia melakukan penyembahan terhadap Allah SWT berdasarkan hasil ijtihad mereka sendiri kalau memang mereka mempunyai keahlian untuk melakukannya.

“Apabila ijtihad yang mereka lakukan ternyata salah, maka mereka dimaafkan, dan hanya mendapatkan satu pahala,” ujarnya.

Menurut al-Qardhawi, barang siapa yang hanya mampu melakukan taklid kepada orang lain, maka dia boleh melakukan taklid kepada ulama yang paling dia percayai. Tidak apa-apa baginya untuk tetap mengikutinya selama hatinya masih mantap terhadap ilmu dan agama orang yang dia ikuti.

Barangsiapa yang masih ragu-ragu terhadap suatu perkara, dan belum jelas kebenaran baginya, maka perkara itu dianggap syubhat, yang harus dia jauhi untuk menyelamatkan agama dan kehormatannya; sebagaimana dikatakan dalam sebuah hadis Muttafaq ‘Alaih:

“Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan sesungguhnya yang haram juga jelas. Di antara keduanya ada perkara-perkara syubhat yang tidak diketahui hukumnya oleh banyak orang. Maka barang siapa yang menjauhi syubhat, berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatan dirinya, dan barang siapa yang terjerumus ke dalamnya, maka dia telah terjerumus dalam perkara yang haram. Seperti penggembala yang menggembala ternak-nya di sekitar tempat yang masih diragukan bila binatang ternaknya memakan rumput di sana.” (HR Bukhari dari Nu’man bin Basyir (52), (2051); dan diriwayatkan oleh Muslim (1599)

Orang yang bodoh diharuskan bertanya kepada orang yang pandai dan dapat dipercaya dalam perkara yang masih diragukan, sehingga dia mengetahui betul hakikat hukumnya. Allah SWT berfirman:

“…Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS an-Nahl: 43)

Dalam sebuah hadis disebutkan: “Tidakkah mereka mau bertanya kalau mereka tidak tahu? Karena sesungguhnya kesembuhan orang yang tersesat adalah dengan bertanya.” (HR Abu Dawud dari Jabir (Shahih al-Jami’as-Shaghir, 4362)]

Perbedaan Tabiat

Cara orang menghadapi masalah syubhat bermacam-macam, tergantung kepada perbedaan pandangan mereka, perbedaan tabiat dan kebiasaan mereka, dan juga perbedaan tingkat wara’ mereka.

Syaikh Yusuf al-Qardhawi mengatakan ada orang yang tergolong khawatir yang senantiasa mencari masalah syubhat hingga masalah yang paling kecil sehingga mereka menemukannya.

“Seperti orang-orang yang meragukan binatang sembelihan di negara Barat, hanya karena masalah yang sangat sepele dan remeh,” ujarnya.

Mereka mendekatkan masalah yang jauh dan menyamakan hal yang mustahil dengan kenyataan. Mereka mencari-cari dan bertanya-tanya sehingga mereka mempersempit ruang gerak mereka sendiri, yang sebetulnya diluaskan oleh Allah SWT.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diteranglan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu…” (QS al-Ma’idah: 101)

Al-Qardhawi mengatakan sebagai Muslim tidaklah patut bagi kita untuk mencari-cari hal yang lebih sulit.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dari ‘Aisyah sesungguhnya Nabi SAW pernah ditanya, “Sesungguhnya ada suatu kaum yang datang kepada kami dengan membawa daging, dan kami tidak mengetahui apakah mereka menyebut nama Allah ketika menyembelihnya ataukah tidak.” Maka Nabi SAW bersabda, “Sebutlah nama Allah dan makanlah.”

Imam Ibn Hazm mengambil hadis ini sebagai suatu kaidah: “Sesuatu perkara yang tidak ada pada kami, maka kami tidak akan menanyakannya.”

Diriwayatkan bahwasanya Umar ra pernah melintasi sebuah jalan kemudian dia tersiram air dari saluran air rumah seseorang; ketika itu dia bersama seorang kawannya. Maka kawannya berkata, “Hai pemilik saluran air, airmu ini suci atau najis?” Maka Umar berkata, “Hai pemilik saluran air, jangan beritahu kami, karena kami dilarang mencari-cari masalah.”

Ada sebuah hadis shahih dari Nabi SAW bahwa ada seseorang yang mengadu kepadanya tentang orang yang merasa bahwa dia, merasakan sesuatu, ketika salat atau ketika berada di masjid. Maka Nabi SAW menjawab, “Jangan kembali, sampai dia ‘mendengar suara’ atau merasa buang angin. “

Dari hadis ini para ulama menetapkan suatu kaidah: “Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan. Dan sesungguhnya orang itu harus berbuat sesuai dengan keyakinan asalnya dan menyingkirkan keraguannya.” Inilah cara yang paling pasti untuk menyingkirkan keraguan.

Pada suatu hari Rasulullah SAW pernah menyambut undangan seorang Yahudi. Beliau memakan makanannya dan tidak bertanya apakah halal ataukah tidak? Apakah wadah-wadahnya suci ataukah tidak.

Nabi SAW dan para sahabatnya mengenakan pakaian yang diambil dari mereka, pakaian yang ditenun oleh orang-orang kafir dan wadah yang dibuat oleh mereka. Ketika kaum Muslimin berperang, mereka juga membagi-bagikan wadah, pakaian, kemudian mereka pakai semuanya. Ada riwayat yang shahih bahwa mereka juga mempergunakan air dari wadah air kaum musyrik.65

Sebaliknya, ada orang-orang yang sangat keras sikapnya karena berpegang kepada hadis shahih dari Nabi saw bahwasanya beliau pernah ditanya tentang bejana Ahli Kitab, yang memakan babi, dan meminum khamar.

Beliau menjawab “Jika kamu tidak menemukan yang lainnya, maka basuhlah dengan air, kemudian makanlah dengan bejana itu.” (Bukhari (344); Ibn Rajab, Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, 1:199).

Awal Ramadan 2025 versi Pemerintah, NU, dan Muhammadiyah

JAKARTAMU.COM | Menyambut datangnya bulan suci Ramadhan 1446 Hijriah, masyarakat muslim di Indonesia mulai menantikan kepastian tanggal pelaksanaan puasa....

More Articles Like This