Rabu, Maret 12, 2025
No menu items!
spot_img

Perkembangan Ilmu Fikih: Masa Daulah Umayyah dan Abbasiyah

spot_img
Must Read
Miftah H. Yusufpati
Miftah H. Yusufpati
Sebelumnya sebagai Redaktur Pelaksana SINDOWeekly (2010-2019). Mulai meniti karir di dunia jurnalistik sejak 1987 di Harian Ekonomi Neraca (1987-1998). Pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah DewanRakyat (2004), Wakil Pemimpin Harian ProAksi (2005), Pemimpin Redaksi LiraNews (2018-2024). Kini selain di Jakartamu.com sebagai Pemimpin Umum Forum News Network, fnn.co.Id. dan Wakil Pemimpin Redaksi Majalah FORUM KEADILAN.

JAKARTAMU.COM | Melalui masa-masa perkembangan formatifnya, ilmu fiqih memperoleh batasnya yang jelas. Cendekiawan Muslim, Prof. Dr. Nurcholish Madjid, M.A. (17 Maret 1939 – 29 Agustus 2005) atau populer dipanggil Cak Nur dalam buku “Islam dan Peradaban” mengutip Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah menjelaskan batasan itu kurang lebih adalah:

Fiqih ialah ilmu tentang masalah-masalah syara’iyah secara teoritis. Masalah-masalah fiqih itu berkenaan dengan perkara akhirat seperti hal-hal peribadatan (ibadat) atau berkenaan dengan perkara dunia yang terbagi menjadi munakahat (tentang pernikahan), muamalat (tentang berbagai transaksi dalam masyarakat) dan ‘uqubat (tentang hukuman).

Demi terpeliharanya keadilan dan ketertiban antara sesama manusia serta menjaga mereka dari kehancuran maka diperlukanlah ketentuan-ketentuan yang diperkuat oleh syariat berkenaan dengan perkara perkawinan, dan itulah bagian munakahat dari ilmu fiqih.

Kemudian berkenaan dengan perkara peradaban dalam bentuk gotong-royong dan kerja sama, dan itulah bagian muamalat dari ilmu fiqih. Dan untuk memelihara perkara peradaban itu agar tetap pada garisnya ini diperlukan penyusunan hukum-hukum pembalasan, dan inilah bagian ‘uqubat dari ilmu fiqih.

Menurut Cak Nur, dari definisi dan penjelasan tentang hakikat ilmu fiqih itu tampak dengan jelas titik berat orientasi fiqih kepada masalah pengaturan hidup bersama manusia dalam tatanan sosialnya, yang inti kerangka pengaturan itu ialah masalah-masalah hukum.

Bahkan meskipun masalah-masalah ibadat juga termasuk ke dalam ilmu fiqih –justru merupakan yang pertama-tama dibahas– namun cara pandang ilmu fiqih terhadap ibadat pun tetap bertitikberatkan orientasi hukum.

Dalam hal ini terkenal pembagian hukum yang lima: wajib mandub (sunah), mubah, makruh dan haram. Di samping itu terdapat cara penilaian kepada sesuatu sebagai sah atau batal, yaitu dilihat dari kenyataan apakah semua syarat dan rukunnya terpenuhi atau tidak.

Ilmu Fikih di Masa Dinasti Umayyah

Situasi yang mendesak kaum muslimin untuk menjabarkan melalui penalaran unsur-unsur dalam ajaran Islam yang berkaitan dengan masalah pengaturan masyarakat ialah adanya kekuasaan politik yang sangat riil.

Kekuasaan itu tidak saja secara geografis meliputi daerah oikoumene yang amat luas, tetapi juga secara demografis mencakup berbagai bangsa dan agama yang beraneka ragam.

Desakan kepada penalaran itu kemudian juga kodifikasinya sesungguhnya sudah ada semenjak masa Dinasti Umayyah (40-131 H [661-750 M]. Akan tetapi para penguasa Umayyah di Damaskus itu agaknya kurang tanggap terhadap desakan itu.

Namun masa Umayyah telah sempat melahirkan usaha cukup penting ke arah penyusunan sistematik ilmu fiqih dan kodifikasinya, dalam konteks Syria dan sistem pemerintahan Umayyah, khususnya oleh tokoh al-Awzd’i (wafat 155 H [774 M]).

Ilmu Fikih di Masa Dinasti Abbasiyah

Dan baru pada masa dinasti Abbasiyah (131-415 H [750-974 M]) usaha penyusunan sistematik ilmu fiqh itu dan kodifikasinya berkembang menjadi seperti yang sebagian besar bertahan sampai sekarang.

Pada masa peralihan dari dinasti Umawiyah ke dinasti Abbasiyah itu hidup seorang sarjana fiqih yang terkenal, Abu Hanifah (79-148 H [699-767 M]).

Aliran pikiran (mazhab, school of thought) Abu Hanifah terbentuk dalam lingkungan Irak dan suasana pemerintahan Abbasiyah.

Akan tetapi dari masa dinasti Abbasiyah itu yang paling formatif bagi pertumbuhan ilmu fiqih, seperti juga bagi pertumbuhan ilmu-ilmu yang lain, ialah masa pemerintahan Harun al-Rasyid (168-191 H [786-809 M]).

Pada masa pemerintahannya itu hidup seorang teman dan murid Abu Hanifah yang hebat, Abu Yusuf Ya’qub ibn Ibrahim (113-182 H [732-798 M]).

Harun al-Rasyid meminta kepada Abu Yusuf untuk menulis baginya buku tentang al-kharaj (semacam sistem perpajakan) menurut hukum Islam (fiqh).

Abu Yusuf memenuhinya, tetapi buku yang ditulisnya dengan nama Kitab al-Kharaj itu menjadi lebih dari sekadar membahas soal perpajakan, melainkan telah menjelma menjadi usaha penyusunan sistematik dan kodifikasi ilmu fiqih yang banyak ditiru atau dicontoh oleh ahli-ahli yang datang kemudian.

Lebih jauh lagi, menyerupai jejak pemikiran al-Awza’i dari Syria di masa Umayyah tersebut di atas, Abu Yusuf dalam Kitab al-Kharaj menyajikan kembali sistem hukum yang dipraktikkan di zaman Umayyah, khususnya sejak kekhalifahan Abd al-Malik ibn Marwan (64-85 H [685-705 M]), yang dalam memerintah berusaha meneladani praktik Khalifah Umar ibn Khattab.

Oleh karena itu Kitab al-Kharaj banyak mengisahkan kembali kebijaksanaan Khalifah Umar, yang agaknya juga dikagumi oleh Harun al-Rasyid sendiri. (Dalam pengantar untuk karyanya itu, Abu Yusuf dengan tegas dan tandas menasihati dan memperingatkan Harun al-Rasyid untuk menjalankan amanat pemerintahannya dengan adil, seperti yang telah dilakukan oleh ‘Umar).

spot_img

Strategi Terpadu Pemerintah untuk Kelancaran Idulfitri dan Nyepi 2025

JAKARTAMU.COM | Menjelang perayaan Idulfitri dan Nyepi tahun 2025, pemerintah telah mengambil langkah-langkah strategis untuk memastikan kelancaran mobilitas...

More Articles Like This