Kamis, Desember 5, 2024
No menu items!

Perspektif Historis Pilkada Gubernur Jawa Tengah 2024

Menyatakan bahwa Jawa Tengah bukan lagi "Kandang Banteng" adalah ahistoris dan tidak mempunyai perspektif historis.

Must Read

PEMILU atau Pemilihan Umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Badan Pembuat Konstitusi (Konstituante) pertama kali di Indonesia, dilaksanakan pada September 1955. Menyusul dua tahun kemudian, Juli 1957 berlangsung Pemilu Anggota DPRD Provinsi.

Dua tahapan pemilu pertama (1955 dan 1957) itu tidak berlanjut ke pemilu Gubernur dan atau Bupati/Walikota. Begitu pun pada pemilu sejak 1971 sampai 1997, juga hanya memilih anggota DPR/DPRD.

Bahkan pada era reformasi, pemilihan umum bagi gubernur/bupati dan walikota -dikenal sebagai pilkada – baru dimulai pada 2007.

Khusus untuk Jawa Tengah, Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Jawa, pertama kali dilakukan pada 2008, dengan terpilihnya Paslon dari PDIP (Bibit Waluyo/Rustriningsih). Seperti diketahui, bahwa Bibit Waluyo berlatar belakang militer, terakhir adalah Panglima Kostrad; sedangkan Rustriningsih, sebelumnya adalah Bupati Kebumen.

Para Gubernur Jawa Tengah 1945 – 2007

Jawa Tengah merupakan salah satu dari 8 (delapan) provinsi yang dibentuk oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 19 Agustus 1945. Berdelapan provinsi pertama kali di negara Republik Indonesia yakni provinsi: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Sunda Kecil dan Maluku.

“Begitu memasuki reformasi yang lebih menjamin kebebasan menyalurkan aspirasi politik -khususnya dalam pemilu–bandul politik aliran muncul kembali.”

Sejak 19 Agustus 1945 itulah hingga dilakukan pemilihan umum untuk memilih langsung pasangan Gubernur/Wakil Gubernur, saling datang dan pergi didudukkan oleh pemerintah pusat beberapa nama gubernur sebagai berikut:

  1. R. Panji Soeroso (Independen, 19/8/1945-12/10 /1945).
  2. Wongsonegoro (Partai Indonesia Raya/PIR, 13 Oktober 1945-4/8/1949.
  3. Budiyono (Partai Nasional Indonesia /PNI, 4/8/1949-8/7/1954 ).
  4. Mangunegoro (PNI, 8/7/1954 – 29/11/1958 ).
  5. Sukarji Mangunsukarso (PNI, 29/11/1958-4/1/-4/1/1959.
  6. Hadisubeno Sosrowardoyo (PNI, 4/1/1959 – 15/1/1960).
  7. Mochtar (PNI, 15/1/1960 – 5/5/1966 dengan Wakilnya: Suyono Atmo (PKI, 15/1/1960 – tidak diketahui).

Sejak pemerintahan Orde Baru 1966-1998, para gubernur selalu dari militer aktif yakni: Munadi, Suparjo Rustam, Muhammad Ismail, dan Suwardi.

Pada 1998- 2007 berlangsung pemilihan di DPRD, terpilih pasangan Gubernur Mardiyanto (Independen)/Wakil Gubernur Ali Mufiz (PPP, Dosen Fisip Undip).

Ketika Mardiyanto diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri semasa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2007) , naiklah Wakil Gubernur Ali Mufiz (PPP) menjadi Gubernur Jateng (28/9/2007 – 23/8/2008).

  • Bibit Waluyo/ Rustriningsih (PDIP, 23/8/2008-23/8/2013 );
  • Ganjar Pranowo/Heru Sadjatmoko- Taj Yasin Maimun (PDIP/PPP 23/8/2013-2018-2023).

Dari paparan nama-nama para gubernur Jawa Tengah (Jateng) tersebut di atas, maka jelas bahwa Jateng memang didominasi oleh PNI dan dilanjutkan oleh “keturunan”-nya yang bernama PDIP (Koalisi permanen: PNI, Partai Katholik, Partai Kristen Indonesia, Partai Murba, dan IPKI-Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia).

Keberadaan eksekutif di kursi gubernur berbanding lurus dengan perolehan kursi di DPR dari Jateng dan DPRD. Sedikit catatan, dapat disampaikan bahwa memang hasil DPRD pada 1957, PNI ditinggal oleh PKI.

Di DPRD Jateng perinciannya, PKI menyabet 24 kursi, disusul PNI 20 kursi, NU 16 kursi dan Masyumi 8 kursi, Partai Katholik 2 kursi, IPKI 3 kursi, Baperki (Tionghoa ) 1 kursi, Partai Buruh 2 kursi, lainnya seperti Parkindo, Murba, PSI dan lainnya tidak memperoleh kursi.

Kemenangan PKI dalam pemilihan anggota DPRD di Jateng itu, membuahkan kursi Wakil Gubernur Suyono Atmo, pada 1960 bersamaan dengan diangkatnya DN Aidit dan Nyoto menjadi Menteri tanpa portofolio.

Di Jawa dengan tiga provinsi, PKI memperoleh 37,2% , lebih tinggi dari pemilu 1955. Khusus di Jateng dan Jatim pada Juli 1957 PKI menjadi juara nomor wahid: PKI 34%, NU 29% , PNI 26%, dan Masyumi 11%.

Mulailah tokoh PNI setempat ingin menghentikan kerjasamanya dengan PKI. Tapi tokoh PNI seperti Wilopo, Hardi dan Hadisubeno harus tersingkir, khususnya Hadisubeno hanya menjabat setahun (Januari 1959 – 1960 ) yang tersingkir dari Gubernur Jateng.

Memasuki pemilu semasa Orde Baru, harus dikesampingkan karena keterlibatan Orde Baru yang selalu memenangkan Golkar dengan dukungan aparat sipil dan militer.

Begitu memasuki reformasi yang lebih menjamin kebebasan menyalurkan aspirasi politik -khususnya dalam pemilu–bandul politik aliran muncul kembali.

“PDIP boleh kalah dalam Pilpres dan atau Pilkada Gubernur, namun hendaknya diingat bahwa PDIP tetap juara pertama dalam perolehan kursi DPR dan DPRD.”

Ketika PNI yang berinkarnasi sejak 10 Januari 1973 bersama Partai Katholik, Partai Kristen Indonesia, Murba, IPKI menjadi PDIP, bangkitlah kekuatan Nasionalis dan memenangi pemilu sejak 1999 (33,7%), 2004 (21,58%), 2009 (14,08%), 2014 (23,68%), 2019 (29,75%), 2024 (26,59%).

Golkar yang selalu menang juara 1 -sejak 1971 sampai dengan 1997- tersungkur di hadapan PDIP. Bahkan dengan Gerindra, pun Golkar di belakangnya. Justru juara kedua selalu dipegang oleh PKB.

PDIP boleh kalah dalam Pilpres dan atau Pilkada Gubernur, namun hendaknya diingat bahwa PDIP tetap juara pertama dalam perolehan kursi DPR dan DPRD. Bahkan di sejumlah 14 dari 35 Kabupaten/Kota, dimenangi oleh Paslon dari PDIP.

Oleh karena itu, kekalahan PDIP dalam kontestasi pemilihan gubernur Jateng 2024 ini, karena PDIP selain lupa menggandeng kekuatan PKB dan atau NU, juga bisa jadi karena kekuatan intervensi oleh endorsment mantan presiden dan pendukungnya, khususnya dari unsur keamanan tertentu.

Meskipun harus diakui, bahwa KIM Plus dengan kekuatan potensial 75% menghadapi PDIP yang kekuatannya hanya 26%. Ternyata menaikkan PDIP menjadi 42%, sekaligus menurunkan KIM Plus dari 75% tinggal 58%. Unsur kekuatan massa NU, khususnya di Pantura Jateng sangat signifikan.

Sementara PDIP terlalu percaya diri dengan sejarahnya sendiri yang kali ini jebol. Namun menyatakan bahwa Jawa Tengah bukan lagi “Kandang Banteng” adalah ahistoris dan tidak mempunyai perspektif historis.

Jawa Tengah sampai kini pun masih berlaku irisan ‘tradisionalisme kejawaan’ yang menghubungkan Nasionalisme Radikal/kiri komunisme dan di pinggiran Islam Tradisional menghadapi Sosialisme Demokrat, Islam yang juga melintasi kaum nasionalis moderat/kanan.

Orang boleh berdalih, itu kan semata karena sembako dan uang dalam kontestasi politik. Tapi kebolehan itu akan hanya menjerumuskan sesaat dan tak mampu membeli ideologi yang masih menyala di Jawa Tengah. (*)

Haedar Nashir Ingin Tanwir Muhammadiyah Perkuat Energi Konstruktif untuk Umat dan Kemanusiaan

KUPANG, JAKARTAMU.COM | Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menekankan pentingnya energi konstruktif untuk menghadapi berbagai tantangan global....

More Articles Like This