JAKARTAMU.COM | Prof. Dr. Nurcholish Madjid, M.A. (17 Maret 1939 – 29 Agustus 2005) atau populer dipanggil Cak Nur mengatakan sama halnya dengan disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam juga tumbuh beberapa abad setelah wafat Nabi Muhammad SAW.
Akan tetapi lebih dari disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam sangat erat terkait dengan skisme dalam Islam. Karena itu dalam penelusurannya ke belakang, kita akan sampai kepada peristiwa pembunuhan ‘Utsman Ibn ‘Aff’an, Khalifah III.
Peristiwa menyedihkan dalam sejarah Islam yang sering dinamakan al-Fitnat al-Kubra (Fitnah Besar), merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat (dan agama) Islam di berbagai bidang, khususnya bidang-bidang politik, sosial dan paham keagamaan.
“Maka Ilmu Kalam sebagai suatu bentuk pengungkapan dan penalaran paham keagamaan juga hampir secara langsung tumbuh dengan bertitik tolak dari Fitnah Besar itu,” ujar Cak Nur dalam bukunya berjudul “Islam, Doktrin dan Peradaban” yang diterbitkan Yayasan Paramadina.
Makna Harfiah Ilmu Kalam
Menurut Cak Nur, ilmu Kalam (‘Ilm al-Kalam), secara harfiah, kata-kata Arab kalam, berarti “pembicaraan”. Tetapi sebagai istilah, kalam tidaklah dimaksudkan “pembicaraan” dalam pengertian sehari-hari, melainkan dalam pengertian pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika.
Ciri utama Ilmu Kalam ialah rasionalitas atau logika. Karena kata-kata kalam sendiri memang dimaksudkan sebagai terjemahan kata dan istilah Yunani logos yang juga secara harfiah berarti “pembicaraan”, tapi yang dari kata itulah terambil kata logika dan logis sebagai derivasinya.
Kata Yunani logos juga disalin ke dalam kata Arab manthiq, sehingga ilmu logika, khususnya logika formal atau silogisme ciptaan Aristoteles dinamakan Ilmu Mantiq (‘Ilm al-Mantiq). Maka kata Arab “manthiqi” berarti “logis”.
Ilmu Kalam amat erat kaitannya dengan Ilmu Mantiq atau Logika. Itu, bersama dengan Falsafah secara keseluruhan, mulai dikenal orang-orang Muslim Arab setelah mereka menaklukkan dan kemudian bergaul dengan bangsa-bangsa yang berlatar-belakang peradaban Yunani dan dunia pemikiran Yunani (Hellenisme).
Hampir semua daerah menjadi sasaran pembebasan (fat’h, liberation) orang-orang Muslim telah terlebih dahulu mengalami Hellenisasi (disamping Kristenisasi).
Daerah-daerah itu ialah Syria, Irak, Mesir dan Anatolia, dengan pusat-pusat Hellenisme yang giat seperti Damaskus, Atiokia, Harran, dan Aleksandria.
Persia (Iran) pun, meski tidak mengalami Kristenisasi (tetap beragama Majusi atau Zoroastrianisme), juga sedikit banyak mengalami Hellenisasi, dengan Jundisapur sebagai pusat Hellenisme Persia.
Adalah untuk keperluan penalaran logis itu bahan-bahan Yunani diperlukan. Mula-mula ialah untuk membuat penalaran logis oleh orang-orang yang melakukan pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan dan yang menyetujui pembunuhan itu.
Mengapa Utsman Boleh atau Harus Dibunuh?
Jika urutan penalaran itu disederhanakan, maka kira-kira akan berjalan seperti ini: Mengapa ‘Utsman boleh atau harus dibunuh? Karena ia berbuat dosa besar (berbuat tidak adil dalam menjalankan pemerintahan) padahal berbuat dosa besar adalah kekafiran. Dan kekafiran, apalagi kemurtadan (menjadi kafir setelah Muslim), harus dibunuh.
Mengapa perbuatan dosa besar suatu kekafiran? Karena manusia berbuat dosa besar, seperti kekafiran, adalah sikap menentang Tuhan. Maka harus dibunuh!
Dari jalan pikiran itu, kata Cak Nur, para (bekas) pembunuh Utsman atau pendukung mereka menjadi cikal-bakal kaum Qadari, yaitu mereka yang berpaham Qadariyyah, suatu pandangan bahwa manusia mampu menentukan amal perbuatannya, maka manusia mutlak bertanggung jawab atas segala perbuatannya itu, yang baik dan yang buruk. (*)