JAKARTAMU.COM | Jumat pagi, 28 Februari 2025, Pasar Enjo di Jakarta Timur penuh sesak. Sampai-sampai, pejalan kaki pun terkena macet, tidak lancar untuk bergerak bebas. Masyarakat berduyun-duyun berbelanja demi mempersiapkan konsumsi menjelang bulan Ramadan 1446 Hijriyah. Hidangan spesial saat sahur dan berbuka puasa seperti menjadi kewajiban.
Begitulah tradisi setiap Ramadan. Di bulan yang penuh berkah ini, masyarakat menjalankan ibadah puasa dengan penuh kesungguhan. Begitu masuk waktu berbuka, seolah-olah terbukalah pintu penjara sehingga boleh makan apa pun yang ada di depan mata sepuasnya. Tak pelak lagi, Ramadan menjadi bulan festival kuliner berbaju tirakatan.
Dalam sebuah riwayat, Rasulullah bertanya kepada istri tercintanya Aisyah, “Apakah ada makanan hari ini?”.
Dan ketika dijawab bahwa gandum telah habis dan belum ada persediaan, maka Rasulullah pun berkata, “Baiklah, kalau demikian hari ini saya akan puasa.”
Itulah keseharian Rasulullah SAW soal makanan. Peristiwa dalam hadis itu tidak berlangsung di bulan Ramadan. Namun itulah contoh kesederhanaan dari Baginda Rasulullah.
”Biasanya Rasulullah berbuka puasa dengan ruthab (kurma muda) sebelum salat magrib. Jika tidak ada ruthab, maka dengan tamr (kurma matang). Jika tidak ada tamr maka beliau meneguk beberapa teguk air.” (HR. Abu Dawud).
Menu sahur atau berbuka Nabi Shallallahu alaihi wa sallam hanya itu-itu saja. Sangat jarang terjadi ada makanan berlebih. Tak ada perbedaan menu saat puasa atau pun tidak, saat Ramadan atau bulan lain. Roti tidak pernah menjadi menu makan keluarga Rasulullah dalam dua hari berturut-turut, juga bukan makanan berkuah dalam tiga hari berturut-turut.
Sejak hijrah ke Madinah hingga wafat, Rasulullah tak pernah merasakan kenyang. Puasa Ramadan disyariatkan saat beliau berada di Madinah. Artinya, Nabi tak pernah berbuka puasa dengan makanan yang membuat beliau kenyang. Jika menu berbuka saja tidak mengenyangkan, sahur tentunya lebih kecil dari itu.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda: “Apabila bulan Ramadan datang, pintu-pintu langit terbuka, pintu-pintu neraka tertutup, dan setan-setan dibelenggu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Setan Dicutikan Selama Ramadan?
Dalam sebuah hadis lain yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda: “Apabila bulan Ramadan datang, pintu-pintu langit terbuka, pintu-pintu neraka tertutup, dan setan-setan dibelenggu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tetapi lihatlah fakta-fakta sosial di sekitar kita. Ketika Ramadan datang, sandal di masjid juga ada yang hilang dicuri. Saat Ramadan hadir, di titik titik tertentu di DKI Jakarta rutin terjadi tawuran antar kampung, antar komunitas, yang tak jarang sampai menimbulkan korban jiwa .
Ada yang memahami hadis ini bahwa selama Ramadan Allah membuka pintu-pintu rahmat-Nya, menutup pintu-pintu siksa-Nya, dan mengikat setan-setan. Mereka dicutikan dari tugas menggoda dan mempengaruhi manusia sebagaimana biasanya pada di luar Ramadan.
Namun sesungguhnya makna hadis tersebut jauh lebih dalam. Selama bulan Ramadan, orang-orang berusaha untuk meningkatkan ibadah dan kesalehan. Umat Islam lebih bersungguh-sungguh dalam melaksanakan amal ibadah, menjauhi dosa, dan mendekatkan diri kepada Allah sehingga setan sulit menggoda.
Artinya, makna setan dibelenggu bukan hanya secara fisik, tetapi pengaruh dan godaan setan menjadi lebih minim ketika umat Nabi Muhammad menjalankan kewajiban ibadah sesuai tuntunan syariat. Dengan kata lain, sebenarnya kita sendiri yang bisa membelenggu setan dengan ibadah yang benar dan sungguh-sunghu.
Selama ibadah tidak dilaksanakan sesuai juklak dan juknisnya, potensi godaan setan tetap sangat besar. Salah satu contoh yang paling ringan dan mudah dlihat adalah godaan untuk berlebih-lebihan menyantap makanan saat berbuka hingga sahur. (*)