WAHABI terus saja mengundang polemik. Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau PBNU sempat menerbitkan rekomendasi agar pemerintah melarang penyebaran paham Wahabi. Rekomendasi ini dikeluarkan pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) IX PBNU pada 25-27 Oktober 2022 lalu. Lalu, siapa sejatinya Wahabi dan pendiri Wahabi tersebut?
Nadirsyah Hosen menjelaskan Wahabi didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab. Pendiri Wahabi ini merupakan murid Ibn Qayyimal-Jauziyah. Ibn Qayyim sendiri merupakan murid Ibn Taimiyah. Ibn Taimiyah adalah pemuka mazhab Hanbali .
“Dari silsilah seperti itu, kita tahu bahwa sebenarnya pendapat ataupun kalau boleh disebut ajaran Wahabi itu sebenarnya bersumber dari mazhab Hanbali,” ujar intelektual NU ini dalam tulisannya berjudul “Wahabi Bukan Sebuah Mazhab!“
Menurutnya, Imam Ahmad bin Hanbal terkenal sebagai Imam mazhab yang cukup ketat berpegang pada nash. Jarang sekali ia memainkan unsur logika dalam membahas suatu nash.
Imam Ahmad dalam ilmu kalam dikelompokkan sebagai penganut paham salafiyah; sebuah paham yang sebenarnya banyak berbeda dengan paham Asy’ariyah (yang diikuti di Indonesia itu).
“Dari sini kita sudah bisa menangkap bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri Wahabi itu, sudah punya beban sejarah yang kontroversial, karena guru dari gurunya sendiri juga dianggap kontroversial. Dari sini pula kita bisa mengerti mengapa Muhammadiyah dan NU terlihat sangat susah untuk “bertemu”.
“NU mengambil paham Asy’ariyah sedangkan Muhammadiyah, yang terpengaruh Wahabi, lebih cenderung pada paham Salaf,” ujarnya.
Nadirsyah Hosen menjelaskan Wahabi hanyalah kelompok (harakah) biasa atau sebut saja semacam organisasi. Wahabi tak memiliki pendapat sendiri, karena ia sepenuhnya mengikuti mazhab Hanbali. Sama dengan NU yang tak bisa kita anggap sebagai mazhab tersendiri, karena NU merupakan organisasi yang pada hakikatnya banyak berpegang pada mazhab Syafi’i.
Sayangnya, kata Nadirsyah Hosen, Wahabi juga memasuki wilayah politik sehingga perbedaan kelompok ini dengan para ulama lainnya cukup diwarnai “perseteruan politik”.
Muhammad bin Abdul Wahab
Di sisi lain, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu dalam buku berjudul “Jalan Golongan yang Selamat” mengatakan musuh-musuh tauhid memberi gelar wahabi kepada setiap muwahhid (yang mengesakan Allah), nisbat kepada Muhammad bin Abdul Wahab.
Ulama Sunni dan penulis produktif yang sangat disegani di negara-negara Barat ini mengatakan jika mereka jujur, mestinya mereka mengatakan Muhammadi nisbat kepada namanya, yaitu Muhammad. Betapa pun begitu, ternyata Allah menghendaki nama wahabi sebagai nisbat kepada Al-Wahhaab (Yang Maha Pemberi), yaitu salah satu dari nama-nama Allah yang baik (Asmaa’ul Husnaa).
Tentang Muhammad bin Abdul Wahab, Syaikh Muhammad menjelaskan beliau dilahirkan di kota ‘Uyainah, Nejed pada tahun 1115 H. Hafal Al-Quran sebelum berusia sepuluh tahun. Belajar kepada ayahandanya tentang fiqih Hanbali, belajar hadis dan tafsir kepada para Syaikh dari berbagai negeri, terutama di kota Madinah.
Beliau memahami tauhid dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Memelihara kemurnian tauhid dari syirik, khurafat dan bid’ah, sebagaimana banyak ia saksikan di Nejed dan negeri-negeri lainnya. “Demikian juga soal menyucikan dan mengkultuskan kubur, suatu hal yang bertentangan dengan ajaran Islam yang benar,” ujar Syaikh Muhammad.
Ia mendengar banyak wanita di negerinya ber-tawassul dengan pohon kurma yang besar. Mereka berkata, “Wahai pohon kurma yang paling agung dan besar, aku menginginkan suami sebelum setahun ini.”
Di Hejaz, ia melihat pengkultusan kuburan para sahabat, keluarga Nabi, (ahlul bait), serta kuburan Rasulullah SAW, hal yang sesungguhnya tidak boleh dilakukan, kecuali kepada Allah semata.
Di Madinah, beliau mendengar permohonan tolong (istighaatsah) kepada Rasulullah SAW, serta berdoa (memohon) kepada selain Allah, hal yang sungguh bertentangan dengan Al-Quran dan sabda Rasulullah SAW. Al-Quran menegaskan:
“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi madharat kepadamu selain Allah, sebab jika berbuat (yang demikian itu), sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim.” (QS Yunus: 106)
Syaikh Muhammad menegaskan zalim dalam ayat ini berarti syirik. Suatu kali, Rasulullah SAW berkata kepada anak pamannya, Abdullah bin Abbas: “Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan mintalah pertolongan kepada Allah.” (HR At-Tirmidzi)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menyeru kaumnya kepada tauhid dan berdoa (memohon) kepada Allah semata, sebab Dialah Yang Mahakuasa dan Yang Maha Menciptakan, sedangkan selainNya adalah lemah dan tak kuasa menolak bahaya dari dirinya dan dari orang lain.
Adapun mahabbah (cinta kepada orang-orang saleh), adalah dengan mengikuti amal salehnya, tidak dengan menjadikannya perantara antara manusia dengan Allah, dan juga tidak menjadikannya sebagai tempat bermohon selain daripada Allah.
Syaikh Muhammad mengatakan para ahli bid’ah menentang keras dakwah tauhid yang dibangun oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Ini tidak mengherankan, sebab musuh-musuh tauhid telah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Bahkan mereka merasa heran terhadap dakwah kepada tauhid. Allah berfirman:
“Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (QS Shaad: 5)
Musuh-musuh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab memulai perbuatan kejinya dengan memerangi dan menyebarluaskan berita-berita bohong tentangnya. Bahkan mereka bersekongkol untuk membunuhnya dengan maksud agar dakwahnya terputus dan tak berkelanjutan. Tetapi Allah SWT menjaganya dan memberinya penolong sehingga dakwah tauhid tersebar luas di Hejaz, dan di negara-negara Islam lainnya.
Meskipun demikian, kata Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, hingga saat ini, masih ada pula sebagian manusia yang menyebarluaskan berita-berita bohong. Misalnya, mereka mengatakan dia (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab) adalah pembuat mazhab yang kelima, padahal dia adalah seorang penganut mazhab Hanbali.
Sebagian mereka mengatakan, orang-orang wahabi tidak mencintai Rasulullah SAW serta tidak berselawat di atasnya. Mereka anti bacaan selawat. Padahal kenyataannya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab telah menulis kitab Mukhtashar Siiratur Rasul shalallahu ‘alaihi wasallam.
“Kitab ini bukti sejarah atas kecintaan Syaikh kepada Rasulullah SAW. Mereka mengada-adakan berbagai cerita dusta tentang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, suatu hal yang karenanya mereka bakal dihisab pada hari Kiamat,” ujar Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu.
Seandainya mereka mau mempelajari kitab-kitab beliau dengan penuh kesadaran, niscaya mereka akan menemukan Al-Quran, hadis dan ucapan sahabat sebagai rujukannya. (*)