Oleh: Hasyim Arsal Alhabsi | Direktur Dehills Institute
DALAM dinamika kehidupan, air sering menjadi metafora atas ketenangan, kekuatan, dan terkadang kekacauan. Ketika seseorang yang tidak pandai berenang terjatuh di air yang dalam, ia panik. Tangannya bergerak liar, berusaha menggapai apa saja, dengan harapan menyelamatkan diri. Namun, ironisnya, kepanikan itu justru menjadi penyebab utamanya tenggelam.
Dalam situasi semacam ini, tidak jarang ia menarik orang lain yang datang untuk menolong, membuat keduanya terjebak dalam nasib yang sama: tenggelam bersama.
Fenomena ini bukan hanya gambaran dari kolam renang, tetapi juga analogi tajam terhadap dinamika politik tanpa peradaban yang tengah marak terjadi hari ini. Ketika sebuah kelompok politik atau individu merasa posisinya terancam, bukan strategi matang yang mereka pilih, melainkan kepanikan. Layaknya orang yang tenggelam, mereka menggapai siapa saja, menarik apa saja yang bisa diraih. Bukan untuk mencari keselamatan yang sejati, tetapi sekadar mencari teman untuk berbagi kehancuran. Jika mereka tenggelam, maka biarlah semuanya mati bersama.
Fenomena Tenggelamnya Rasionalitas dan Pagar Bambu Misterius
Salah satu contoh nyata dari “kepanikan politik” ini adalah isu Pagar Bambu Misterius yang belakangan ramai dihembuskan. Bukannya menyajikan narasi yang membangun atau solusi konkret bagi bangsa, isu ini terlihat lebih seperti upaya putus asa untuk mencari perhatian.
Dalam kepanikan, mereka mencoba menarik tokoh-tokoh besar, seperti Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), ke dalam pusaran isu yang tidak relevan.
“Tokoh seperti AHY, yang sudah memiliki kapasitas, integritas, dan pengakuan luas, seharusnya tidak terseret dalam isu-isu seperti ini.”
Sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, AHY adalah sosok muda dengan visi besar, ditambah dengan latar belakang pendidikan dan keluarga yang kuat.
Presiden Prabowo bahkan pernah menyebutkan dalam pembekalan caleg 2024 bahwa AHY adalah salah satu calon pemimpin masa depan Indonesia. Tokoh seperti AHY, yang sudah memiliki kapasitas, integritas, dan pengakuan luas, seharusnya tidak terseret dalam isu-isu seperti ini.
Namun, kepanikan politik dari kelompok tertentu terus berusaha menarik namanya, bukan untuk menciptakan solusi, tetapi untuk mengajaknya “tenggelam bersama.”
Politik Tanpa Peradaban adalah Sebuah Kerapuhan
Dalam politik yang beradab, perbedaan pandangan adalah energi. Persaingan adalah ladang ide. Namun, dalam politik tanpa peradaban, persaingan berubah menjadi medan pertempuran penuh kebencian. Yang tersisa hanyalah upaya saling menjatuhkan, menarik lawan, bahkan sahabat, ke dalam pusaran kehancuran yang sama.
Sayangnya, kelompok yang tenggelam dalam politik semacam ini sering lupa bahwa upaya mereka justru mempercepat kehancuran.
Kepanikan mereka bukan hanya menghancurkan reputasi mereka sendiri, tetapi juga merusak tatanan masyarakat yang seharusnya mereka bina. Seperti halnya seseorang yang panik di air dalam, mereka gagal memahami bahwa ketenangan dan rasionalitas adalah kunci untuk bertahan hidup.
Menyongsong Politik Beradab
Dari analogi ini, ada pelajaran yang harus kita renungkan. Ketika berada dalam situasi sulit, seperti tenggelam di air dalam, ketenangan adalah satu-satunya jalan untuk bertahan.
Begitu juga dalam politik. Ketika menghadapi tantangan besar, seorang pemimpin yang sejati tidak akan panik, apalagi menarik orang lain ke dalam kehancuran. Ia akan berdiri teguh, mencari solusi yang bijak, dan menjadikan tantangan itu sebagai batu loncatan menuju kemajuan.
AHY, sebagai tokoh muda yang digadang-gadang menjadi pemimpin masa depan, telah menunjukkan sikap yang dewasa di tengah arus politik yang kerap tak beradab. Dengan kecerdasan dan integritasnya, ia menjadi simbol bahwa di tengah hiruk-pikuk politik tanpa peradaban, masih ada harapan bagi masa depan bangsa.
Sebagai masyarakat, kita memiliki peran penting untuk mendukung politik yang beradab. Kita harus memilih pemimpin yang tenang dalam menghadapi gelombang, yang rasional dalam mengambil keputusan, dan yang mengutamakan kepentingan bangsa di atas segalanya.
Dengan begitu, kita tidak hanya akan menyelamatkan diri dari “tenggelamnya” peradaban, tetapi juga menciptakan masa depan yang lebih cerah bagi Indonesia.
Akhir Kata
Air yang dalam memang menakutkan, tetapi ia juga memancarkan ketenangan bagi mereka yang mampu berenang. Begitu pula politik: ia bisa menjadi medan pertarungan yang keras, tetapi juga arena perjuangan yang mulia bagi mereka yang memiliki ketenangan, keberanian, dan visi yang jelas. Mari kita jadikan pelajaran ini sebagai pengingat bahwa masa depan bangsa ada di tangan mereka yang memilih untuk berenang, bukan tenggelam.
Siapa yang akan tenggelam itu? Pertanyaan yang mudah dijawab, lihat saja siapa yang mencoba menarik-narik orang untuk berada dalam konflik. Sederhanakan? (*)