BISA jadi Prabowo Subianto, Presiden ke-8 RI ini tak tertarik lagi dengan persoalan masa lalu. Dia mungkin lebih tertarik mengelola penyelenggaraan negara dan pemerintahan, termasuk di dalamnya adalah meningkatkan kebesaran dan peran Partai Gerindra yang didirikan dan masih dipimpinnya. Partai yang kini berada di urutan ketiga dari jumlah suara itu diproyeksikan bisa memenangkan Pemilu 2029.
Betapa pun kepedulian terhadap masa lalu terabaikan, namun siapa pun tetap tidak akan bisa lepas dari jejak masa lalu yang erat mempengaruhi kekinian, yang sedang dijalani dan rencana ke depan. Dari sana kita akan membaca, bahwa capaian kekuasaan Prabowo kini, jelas bukan suatu yang dadakan, sebagaimana keberadaan wakil presiden yang kini mendampinginya.
Begitu jauh perjalanan politik yang membawa Prabowo ke posisi sebagai orang nomor satu di republik ini, pun masalah yang menghadangnya. Sejak kanak-kanak, ia mengalami rangkaian berbagai peristiwa politik. Prabowo ikut bersama ayah, ibu dan adik-adiknya sebagai pelarian politik di luar negeri. Tekanan akan kewaspadaan dan prasangka rasial yang dideritanya di ranah pelarian, tentu membekas dan ikut menumbuh dan membangunkan rasa kebangsaan.
Baca juga: Dari Soeharto ke Menantu: Benang Kusut Sritex yang Terurai di Tangan Prabowo
Pastinya itu konsekuensi logis atas peran ayahnya, Soemitro Djojohadikusumo, pentolan Partai Sosialis Indonesia serta beberapa tokoh Masyumi yang terlibat pergolakan daerah, PRRI di Sumatera Barat lalu merembet ke Sulawesi dengan Permesta-nya.
Dari interaksi dan interpretasi dengan teman-teman ayahnya, baik dari PSI maupun Masyumi yang menghadapi tekanan politik semasa Orde Lama, dapatlah dibayangkan bahwa hal itu akan mengisi ruang kesadaran politik Prabowo. Langsung atau tidak, tentu peristiwa politik di masa kanak, remaja hingga menjadi taruna militer di Akabri Magelang akan menyemaikan pengetahuan dan pengalaman politik.
Pengalaman panjang itu akan berproses dalam pembentukan suasana kebatinannya dan menyadarkan apa dan bagaimana seharusnya berbangsa dan menegara. Ditambah dengan kecerdasan dan kerajinanan akan literasi serta penguasaan bahasa asing, dipastikan Prabowo memahami route politik Indonesia dengan sejumlah tantangan, ancaman dan hambatan yang dibarengi sekian peluang dan harapan.
Jejak kesadaran tersebut kian terkuak sejak menjadi taruna Akabri 1972 semasa Gubernur Akabri dijabat Mayjen Sarwo Edhi Wibowo. Bersama beberapa teman diskusi terbatasnya dengan Susilo Bambang Yudhoyono, Agus Wirahadikusumah, Syamsul Maarif, Prabowo mendiskusikan soal masa depan Dwi fungsi ABRI dan hal ikwal tentara yang modern, pelatihan dan doktrinnya. Menyinggung juga hal-hal strategis baik domestik maupun internasional.
Tibalah pada tapak karir militer, Prabowo mulai dihadapkan pada realitas tugas tentara yang tidak semata berkutat dengan profesionalitas militer, tetapi juga sarat dengan muatan dan persoalan politik yang melingkupi sebagai dampak dari keberlakuan dwifungsi ABRI semasa Orde Baru.
Baca juga: Prabowo Subianto dan Warisan Politik Jokowi: Analisis Refly Harun dan Rocky Gerung
Peristiwa politik pertama yang harus dihadapi ketika Prabowo menjumpai gerakan-gerakan politik yang menyangkut perebutan pengaruh dan relasi kuasa politik di kalangan elite Angkatan Darat terhadap kepemimpinan Soeharto yang mulai dekat dengan gerakan Islam politik dalam dinamika kekuasaan penyelenggaraan negara.