Sebutlah pada peristiwa ” rencana kudeta ” Jenderal LBM, ketika Prabowo masih berpangkat Kapten. Kendati itu kelak sekian belas tahun kemudian dibantah LBP sebagai anak emasnya LBM, Namun hal itu justru kian memposisikan Prabowo mendekati aktivis gerakan Islam Politik yang dimusuhi LBM.
Itu tampak dalam soal impor senjata yang akan dikirim ke Mujahidin Afghanistan yang menggeliat sebagai upaya “rencana kudeta” Jenderal LBM yang dikawatirkan Prabowo akan mengkudeta Cendana.
Aksi Prabowo itu sebenarnya sebagai penolakan perwira Kopassus itu adanya kemungkinan pengangkatan LBM sebagai pengganti Jenderal Yusuf sebagai Menhankam (1978-1982). Hal ini oleh Prabowo sempat dilaporkan kepada Jenderal Yusuf, namun tidak meneruskannya kepada Presiden Soeharto kala itu. Insiden ini merangkak nyaris dari kompetisi damai menjadi konflik fisik, namun bisa diselesaikan secara internal oleh Panglima ABRI Jenderal Yusuf, sebelum digantikan Jenderal LBM.
Dan, tetaplah Jenderal LBM diangkat menjadi Menhankam/ Panglima ABRI (1982-1988) yang kian digdaya dalam mencengkeram ABRI .Seraya menginjak Politik Islam, rupanya LBM mendekati Abdurrahman Wahid Ketua PB NU yang kembali ke khittah meninggalkan gelanggang politik di PPP. Sementara itu, Presiden Soeharto justru mendirikan ICMI yang dijauhi Gus Dur karena dianggapnya sebagai reinkarnasi Masyumi.
Baca juga: Prabowo Luncurkan Danantara, Istana Undang 868 Orang Mulai Pejabat sampai Pengamat
Peta perebutan umat Islam tergambar dalam tarik menarik golongan Islam modernis dan sebagian NU (Slamet Effendy Yusuf cs) ke arah ICMI berseberangan dengan golongan tradisionalis di bawah Gus Dur yang didukung LBM. Dua prajurit berlatar belakang Kopasus ini tampak kian berebut pengaruh. Bahkan terjadi persaingan bagi-bagi hadiah dan duit kepada para perwira ABRI
Jadilah kemudian, kaum santri yang dimusuhi atau paling tidak dicurigai oleh LBM, kini menyandarkan diri kepada Prabowo Subianto. Sebagaimana antara lain ditulis oleh Vatiokiotis dalam bukunya Indonesian Politics Under Suharto :”……Dengan sepengetahuan atau tidak sepengetahuan Soeharto, Prabowo mengumpulkan sejumlah perwira yang loyal kepadanya. Dengan menggunakan ancaman Moerdani ( LBM ) dan ‘klik Kristen/Katholik’nya , Prabowo menarik perwira-perwira yang beragama Islam”.
Lalu, Jenderal Alamsyah pun yang masa itu Menteri Agama, ikut langkah Prabowo yang menjadikan LBM yang dianggap mengancam umat Islam dengan memobilisasi dukungan umat Islam terhadap Soeharto.
Pada kurun 1990-an, apalagi pada 1997, ketika pergolakan politik dan militer di senja Orde Baru, Prabowo yang telah Letnan Jenderal dan Panglima Kostrad tampil dalam “konfliknya” dengan Jenderal Wiranto selaku Panglima ABRI yang dianggap mewakili ABRI Merah Putih melawan ABRI Hijau-nya Prabowo dan kawan-kawan (Jenderal Subagyo, Muchdi PR, Hartono, Faisal Tanjung, Fahrul Razi dll). Istilah insinuatif ini diciptakan oleh orang-orang CSIS diikuti dengan tuduhan provokatif: Senayan telah dikuasai Ijo Royo-royo.
Posisi Prabowo tambah mendekat dengan kalangan Islam Politik, baik dari kalangan Muhammadiyah, DDII dan aktivis Islam lainnya. Nama-nama Amien Rais, Nurcholis Majid, KH Yusuf Hasyim (paman Gus Dur yang berseberangan garis politik dengan Gus Dur), Slamet Effendy Yusuf, Hajrianto Y Thohari dll, sering melakukan pendekatan dengan Prabowo. Kendati, Prabowo -pun tetap menjalin hubungan tersendiri dengan Gus Dur, namun Prabowo juga meningkatkan intensitas relasi politiknya dengan kalangan Islam Modernis yang punya hubungan ideologis tertentu dengan para ahli waris Masyumi, sebagaimana yang berhimpun di ICMI.
Peristiwa Politik Mei 1998 yang mengganggu kontinyuitas Orde Baru dan kekritisan terhadap implementasi Dwifungsi ABRI, kian meruncingkan konflik internal di tubuh Angkatan Darat. Perkubuan para jenderal tak bisa dielakkan, dan terjadilah pengunduran diri Presiden Suharto ditengah kesimpangsiuran posisi ABRI ditengah krisis moneter merembet ke ekonomi dan meletus kedalam kerusuhan politik.
Tampaknya, Prabowo harus menanggung fitnah sejarah bertubi-tubi dan mengalami kelumpuhan karir militernya. Baru pada awal 2008, Prabowo bersama aktivis muda Muslim seperti Fadlizon, Ahmad Muzani dan beberapa jenderal purnawirawan serta bekas aktivis sekuler yang sepaham, mendirikan Gerindra dan untuk pertama kali menjadi peserta Pemilu 2009.
Sekali pun Prabowo tidak mendirikan partai berbasis atau berideologi Islam, namun tetap pada originalitas asalnya yakni Nasionalistis namun tetap mengikatkan diri pada relijiusitas semua agama.
Setelah menjadi cawapresnya Megawati – PDIP pada 2009, Prabowo mencoba menggandeng Hatta Rajasa dari kalangan Islam modernis yakni PAN yang Amien Rais masih di dalamnya. Baik sebagai cawapres Megawati maupun capres bersama cawapres Hatta Rajasa tidak berhasil, tampaknya Prabowo pantang menyerah.
Dengan meninggalkan kontroversial di kalangan pemilihnya, Prabowo bergabung dalam Kabinet Jokowi 2019-2024. Rupanya inilah yang mengantarkannya mencapai keberhasilan pencapresan. Bisa jadi itulah langkah taktisnya yang kini diuji, apakah akan mencapai strategi ke depan.
Pencapaiannya itu bergantung pada kekuatan internal kabinetnya, terlebih didukung oleh Muhammadiyah dan NU dengan memberi peluang keterlibatan dalam kabinet dari kalangan Islam modernis dan tradionalis.
Relasi Prabowo dengan terimplementasikan dalam Kabinet Merah Putih yang kalangan Islam Politik dilibatkan, menunjukkan Prabowo tidak ingin dituduh menjauhi Islam yang pernah bersekutu menghadapi LBM dan pengikutnya pada era 1980-an.
Simbiosis mutualisme politiknya Prabowo bersama Islam Politik sedang menghadapi ujian sejarah: Bisakah keluar dari ketidakbaikan situasi poleksosbud dan keterpurukan hukum di hadapan kekuasaan? Hari-hari ini akan menentukan kedepan nasib posisi politik Islam dan Prabowo. (*)