“MAIN yuk…”, “Aduh, belum selesai PR…”
Ucapan semacam itu kian akrab terdengar dari mulut anak-anak usia 6-8 tahun, terutama mereka yang duduk di kelas 1 dan 2 di beberapa SD Muhammadiyah. Jadwal pelajaran yang padat, PR dari semua mata pelajaran, ditambah absennya waktu luang untuk bermain—perlahan tapi pasti mencabut akar alami masa kecil: kebebasan, keceriaan, dan pertumbuhan yang menyeluruh.
Potret jadwal pelajaran kelas 2 di SD Muhammadiyah Tahfidz menunjukkan betapa saratnya beban belajar anak. Dari Senin hingga Jumat, mereka dijejali dengan berbagai pelajaran mulai dari Bahasa Indonesia, Matematika, Al-Islam, hingga Bahasa Inggris dan SBdP (Seni Budaya dan Prakarya). Tak hanya itu, pendidikan agama (ISMUBA—Islam, Muhammadiyah, dan Bahasa Arab) pun menambah daftar panjang materi yang harus dikuasai.
Pendidikan ala “Pabrik Mini”: Apa yang Terjadi?
Psikolog anak dan pendidikan sepakat bahwa fase usia dini, terutama kelas 1-2 SD, adalah masa emas untuk eksplorasi dan pematangan aspek sosial-emosional, bukan masa dijejali hafalan atau target akademik yang kaku.
Namun, jadwal seperti yang ditunjukkan pada foto di atas menyajikan pendidikan yang menyerupai model “pabrik mini.” Anak-anak masuk pagi dengan puluhan jam pelajaran, hampir tanpa ruang bermain yang cukup, lalu pulang dengan membawa tumpukan PR. Hal ini berisiko besar memunculkan sejumlah dampak negatif:
- Burnout akademik di usia dini.
- Gangguan perkembangan sosial dan emosional.
- Kecemasan, stress, bahkan depresi.
- Penurunan minat belajar alami.
Anak Butuh Bermain untuk Belajar
Jean Piaget, salah satu pelopor psikologi perkembangan, menekankan bahwa anak usia 6-8 tahun masih berada pada tahap operasional konkret. Artinya, mereka belum siap berpikir abstrak seperti orang dewasa dan butuh belajar lewat permainan, pengalaman langsung, dan keterlibatan aktif, bukan hafalan panjang dan sistem target.
Lebih lanjut, UNICEF menyatakan bahwa bermain bukan sekadar rekreasi, tapi hak dasar anak yang penting untuk pertumbuhan otak, kreativitas, dan keseimbangan mental. Ketika bermain dihilangkan dan digantikan beban pelajaran yang padat, anak tidak hanya kehilangan masa kecilnya, tapi juga potensi berkembang secara holistik.
Beberapa negara seperti Finlandia dan Denmark mengadopsi prinsip less is more dalam pendidikan usia dini. Di sana, anak-anak baru mulai belajar akademik formal di usia 7 tahun. Fokusnya adalah bermain bebas, kegiatan seni, eksplorasi alam, dan pembentukan karakter. Hasilnya? Finlandia tetap menjadi salah satu negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia.
Sentralisasi atau Desentralisasi Kurikulum?
Pertanyaan kritis yang diajukan dalam sebuah diskusi komunitas wsli murid sangat relevan: apakah kurikulum padat tersebut berlaku secara nasional untuk SD Muhammadiyah atau bersifat lokal/desentralistik?
Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah memang memberi garis besar kebijakan kurikulum, termasuk penguatan ISMUBA. Namun, implementasi detail di lapangan bisa berbeda-beda tergantung sekolah dan wilayah. Sayangnya, banyak sekolah yang berlomba-lomba menunjukkan ‘keseriusan pendidikan’ dengan menjejalkan semua mata pelajaran dalam durasi yang terlalu dini, tanpa memperhatikan kesiapan psikologis anak.
Kembali ke Hakikat Pendidikan
1. Revitalisasi Kurikulum Kelas Awal: Kurangi jumlah mata pelajaran. Fokus pada penguatan literasi, numerasi dasar, dan nilai-nilai karakter.
2. Berikan Ruang Bermain Terstruktur dan Bebas: Jadwal bermain harus dianggap setara pentingnya dengan pelajaran akademik.
3. Batasi Pemberian PR di Kelas Awal: PR seharusnya bukan beban, tetapi bagian dari penguatan minat dan kegiatan reflektif yang menyenangkan.
4. Desentralisasi yang Bertanggung Jawab: Sekolah Muhammadiyah bisa mendesain kurikulumnya dengan mengutamakan kesejahteraan anak, bukan sekadar meniru “kurikulum besar.”
5. Libatkan Orang Tua dalam Evaluasi Sistem Pendidikan: Orang tua adalah mitra penting dalam pendidikan. Evaluasi kurikulum harus mendengar suara mereka.
Masa Depan Tak Perlu Diburu dengan Beban
Anak-anak kita bukan mesin penghafal, bukan pelari di lintasan akademik yang diburu waktu. Mereka butuh ruang untuk bertanya, berlari, tertawa, dan bermain. Jika jadwal sekolah terlalu padat sejak dini, maka bukan hanya waktu bermain yang hilang, tapi juga cinta mereka pada belajar.
Kini saatnya kita bertanya: ingin mencetak anak hebat dengan jiwa merdeka, atau anak lelah yang kehilangan arah? (*)