JAKARTAMU.COM | Rencana pemberlakuan pajak (PPN) 12% menuai sorotan dan perbincangan publik di Tanah Air. Negara dinilai tak mampu mengatur dan mengelola keuangannya sehingga membebani masyarakat luas.
Bagaimana pandangan Islam terhadap penerapan pajak?
Intelektual Muslim Ibnu Khaldun (1332-1408) dalam bukunya “Muqadimmah” mengatakan di antara tanda sebuah negara akan hancur, semakin besar dan beraneka ragamnya pajak yang dipungut dari rakyatnya.
Pajak merupakan tanggungan-tanggungan yang dibebankan kepada masyarakat yang sesuai dengan syariat seperti zakat-zakat, pajak bumi (kharaj) dan pajak kepala (Jizyah) yang digunakan untuk pembangunan negara.
Pemerintahlah yang harusnya menetapkan setiap peraturan termasuk pajak dan masyarakat wajib untuk menaati peraturan tersebut, hal tersebut tertera dalam Surah An-Nisa Ayat 59 yang berbunyi:
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Tokoh sejarawan dan pemikir Islam kelahiran Tunisia ini bukan bermaksud menolak pajak. Konsep pajak yang ditawarkan Ibnu Khaldun menekankan pada keringanan pajak yang ditetapkan oleh negara kepada masyarakat. Sehingga menjadi motivasi bagi masyarakat untuk lebih giat bekerja.
Hanya Membayar Zakat
Pajak dibolehkan oleh empat Mazhab, yaitu Adh Dharaaib Al ‘Adilah (pajak yang adil), sebagai biaya belanja negara. Namun, sebagian ulama ada yang mengharamkannya, dan menyamakannya dengab Al-Maks (pungli).
Perselisihan ini diawali oleh apakah kewajiban harta itu hanya zakat? Ataukah ada kewajiban lain selain zakat?
Muncul pertanyaan, benarkah tidak ada kewajiban lain bagi rakyat terhadap negara selain zakat? Hal ini diperselisihkan ulama:
- Kelompok Pertama, mengatakan tidak ada alias kewajiban rakyat kepada pemerintah hanya Zakat.
Ini adalah pendapat Imam Adz-Dzahabi, Syekh Albani, Syekh Ibnu Baaz, Syekh Utsaimin, dan lainnya. Alasan mereka:
- Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya ada seorang Badui datang kepada Rasulullah SAW, ia berkata: “Tunjukan kepadaku amal yang jika aku kerjakan mengantarkan ke surga.” Rasulullah menjawab: “Engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukanNya dengan apapun, menegakkan shalat yang wajib, menunaikan wajibnya zakat, dan puasa Ramadhan.” Orang itu berkata: “Demi yang jiwaku ada di tanganNya, aku tidak akan menambahnya.” Ketika orang itu berlalu, Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang ingin melihat laki-laki yang termasuk ahli surga, maka lihatlah orang itu.” (HR Al-Bukhari, Al Lu’lu’ wal Marjan, Kitab Al Iman, Bab Bayan Al Iman Alladzi yadkhulu bihi al Jannah, No. 8)
- Dari Jabir bin Abdullah secara marfu’, bahwa Nabi bersabda:
إِذَا أَدَّيْتَ زَكَاةَ مَالِكَ فَقَدْ أَذْهَبْتَ عَنْكَ شَرَّهُ
“Jika engkau tunaikan zakat hartamu berarti telah engkau telah hilangkan keburukannya darimu.” (HR Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1439, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 7039, Ibnu Khuzaimah No. 2258, Ibnu ‘Asakir dalam Al Mu’jam No. 1389, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 9923)
- Dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda:
إِذَا أَدَّيْتَ زَكَاةَ مَالِكَ فَقَدْ قَضَيْتَ مَا عَلَيْكَ
“Jika Engkau tunaikan zakat hartamu, maka Engkau telah memenuhi kewajibanmu.” (HR. At Tirmidzi No. 618, Ibnu Majah No. 1788, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 3477, Ibnu Hibban No. 3216, Ibnu Khuzaimah No. 2471, Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah No. 6/67)
- Mereka menyamakan pajak dengan maks (pelakunya disebut Al-Maakis), yang dilaknat oleh Nabi SAW.
Beliau bersabda:
لا يَدْخُلُ الجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ
“Tidak akan masuk surga pelaku maks.” (HR. Abu Daud No. 2937, Ahmad No. 17294, Abu Ya’la No. 1756, Ad Darimi No. 1666, Ibnu Khuzaimah No. 2333)
Apa itu Al Maakis? Syekh Abul Hasan Al-Mubarkafuri berkata:
وهو الذي يأخذ من التجار إذا مروا به مكساً
“Dia adalah orang yang mengambil harta (istilah sekarang: pungli) dari para pedagang yang lewat. (Mir’ah Al Mafatih, 4/233)
Disebutkan dalam Mausu’ah Al Buhuts wal Maqalat Al ‘Ilmiyah: “Pelaku maks adalah petugas yang mengumpulkan zakat dan menggelapkannya yaitu dengan memungut uang melebihi hak pembayar zakat; atau dia mengurangi uang yang dikumpulkannya yang semestinya merupakan hak kalangan faqir dan miskin.” (Bab Dharaib wa hukmu Tauzhifiha, Hal. 12)
- Kelompok Kedua, pihak yang mengatakan ada kewajiban selain zakat dari rakyat kepada pemerintah.
Faktanya pada zaman Nabi SAW sudah ada kharaj (pajak tanah). Ini adalah pendapat para sahabat Nabi, mayoritas ulama, dan merupakan pendapat empat madzhab.
Menurut mereka hadis-hadis yang dijadikan alasan kelompok pertama, seandainya shahih, tidaklah menafikkan kewajiban selain zakat. Sebagaimana ditunjukkan oleh dalil lain dan fakta sejarah Islam generasi awal.
Berikut Dalil-dalilnya:
- Surat Al-Baqarah ayat 177:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآَتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآَتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Baqarah (2): 177)
Dalam ayat ini jelas sekali Allah Ta’ala memisahkan perintah mengeluarkan harta untuk kerabat, anak yatim, miskin, musafir, dan peminta-minta, dengan perintah mengeluarkan zakat. Artinya ada kewajiban lain terhadap harta kita selain zakat.
- Hadits Shahih Al-Bukhari tentang hak Unta dan Kuda, yaitu memeras air susunya. Lalu air susunya wajib di sedekahkan sesuka hatinya.
Oleh karenanya Imam Ibnu Hazm berkata:
وَفَرْضٌ عَلَى كُلِّ ذِي إبِلٍ, وَبَقَرٍ, وَغَنَمٍ أَنْ يَحْلِبَهَا يَوْمَ وِرْدِهَا عَلَى الْمَاءِ, وَيَتَصَدَّقُ مِنْ لَبَنِهَا بِمَا طَابَتْ بِهِ نَفْسُهُ.
“Wajib kepada setiap pemilik unta, sapi, dan kambing, untuk memerah susunya, dan menyedekahkan susunya itu menurut kerelaannya.” (Al Muhalla, 6/50)
Beliau menambahkan:
وَمَنْ قَالَ: إنَّهُ لاَ حَقَّ فِي الْمَالِ غَيْرُ الزَّكَاةِ فَقَدْ قَالَ: الْبَاطِلَ, وَلاَ بُرْهَانَ عَلَى صِحَّةِ قَوْلِهِ, لاَ مِنْ نَصٍّ، وَلاَ إجْمَاعٍ, وَكُلُّ مَا أَوْجَبَهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِي الأَمْوَالِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Siapa yang mengatakan bahwa tidak ada hak harta selain zakat, maka dia telah mengatakan perkataan yang batil, dan tidak ada bukti kebenaran perkataannya, tidak dari nash, dan tidak pula dari ijma’, dan semua yang diwajibkan oleh Rasulullah pada harta adalah wajib. (Ibid)
- Hadis shahih tentang memuliakan tamu, dengan memberikan jamuan.
- Hadits shahih tentang celaan terhadap orang yang enak tidur padahal tetangganya kelaparan.
Dan masih banyak lagi yang menunjukkan adanya kewajiban harta selain zakat. Ini juga menjadi pendapat Imam An- Nawawi, Imam Al-Ghazali, Imam Asy-Syatibi, dan lainnya, bahwa pajak boleh dipungut ketika negara membutuhkannya baik karena kekosongan Baitul Maal atau kebutuhan besar yang mendesak.
Syekh Yusuf Al-Qaradhawi berkata: “Ulama lain berpendapat, sejak zaman sahabat dan tabi’in bahwa dalam kekayaan ada hak selain zakat. Demikian itu adalah pendapat Umar, Ali, Abu Dzar, Aisyah, Ibnu Umar, Abu Hurairah, Al Hasan bin Ali, Fathimah binti Qais, ini dari golongan sahabat Radhiallahu ‘Anhum. Telah shahih dari Asy Sya’bi, Mujahid, Thawus, ‘Atha, dan selain mereka dari kalangan tabi’in. (Fiqhuz Zakah, 2/428)
Istilah Ahli Fiqih
Para ahli fiqih tidak mengistilahkannya dengan nama “pajak”, tetapi sebagian ahli fiqih Maliki menamakannya dengan wazha-if atau kharraj. Sebagian Hanafi menyebutnya Nawa-ib, jamak dari naaibah, yaitu nama bagi sesuatu yang menggantikan seseorang dari pihak Sultan dengan sesuatu yang hak atau batil.
Sebagian pengikut Hambali menamakannya dengan Kalf as-Sulthaniyah, yaitu beban harta yg diwajibkan sultan trhadap rakyatnya atau kepada sebagian dari mereka. (Ibid)
Lalu, samakah Pajak dengan Maks? Jika diperhatikan definisinya, maka jelaslah maks lebih pas disebut dengan “pajak yang zalim”. Tentunya hal itu memang terlarang.
Sedangkan yang kita bahas adalah pajak yang adil (Adh-Dhara-ib Al ‘Adilah), manusiawi, memiliki maslahat yang jelas, dan memang diambil dari sumber yang baik dan patut, dan disalurkan untuk kepentingan kebaikan pula; seperti belanja negara untuk pembangunan, biaya peperangan, pendidikan, gaji tentara dan guru, dan semisalnya.
Oleh karena itu Imam Adz-Dzahabi dalam Al Kabaair menjelaskan tentang muks: “Pemungut pajak termasuk di antara pembela kezaliman, bahkan dia merupakan kezaliman itu sendiri, karena dia memungut sesuatu yang bukan semestinya dan memberikan kepada orang yang tidak berhak.
Jadi, pendapat yang lebih kuat dan inshaf adalah pajak itu tidak apa-apa selama sesuai prinsip keadilan, inilah pendapat mayoritas ulama, baik klasik maupun kontemporer. Jika rakyat dizalimi karena pajak terlalu banyak dan besar, sehingga mereka merasa tercekik, maka ulama sepakat haramnya.
Syekh Abdullah Al-Faqih dalam Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah juga mengatakan bahwa pajak yang adil itu boleh dan bekerja di kantor pajak juga boleh, selama untuk kemaslahatan umum seperti jalanan, rumah sakit, sekolah, dan semisalnya.
Adapun pajak yang haram adalah pajak yang zalim, jika biaya belanja negara dari sumber lain sudah memadai, maka menurutnya tidak perlu pajak.
“Masing-masing negara kondisinya tidak sama. Di Indonesia, 70% biaya belanja negara diperoleh dari pajak, jika diharamkan secara mutlak maka bisa terjadi kegoncangan. Seandainya kekayaan negeri ini dikelola dengan baik, kita percaya tanpa pajak Indonesia tetap mampu berjalan dan berlari, sebagaimana Arab Saudi,” kata Ustaz Farid Nu’man.