Oleh Jon A. Masli | Corporate Advisor & Diaspora USA
GELOMBANG besar penolakan kenaikan pajak pertambahan nilai atau PPN menjadi 12% terus bergulir. Bukan saja dari masyarakat biasa, tapi hampir semua civil society termasuk para eks pejabat pemerintahan, lembaga negara dan cendekiawan serta para pelaku UMKM.
Klimaksnya belum terjadi tapi Risyad Azhari, anak muda – inisiator Petisi tolak PPN12% menggalang petisi yang sudah seratusan ribu orang.
Sementara kita masih segar mendengar janji janji politik melalui pidato-pidato lantang Prabowo sewaktu kampanye pilpres, bahwa Prabowo tidak akan menaikkan pajak.
Prabowo juga tegas mencanangkan ekonomi Pancasila, kerakyatan dan kekeluargaan. Termasuk pada saat pidato dahsyat pelantikan beliau sebagai presiden, mengatakan akan selalu mengutamakan kepentingan rakyat di atas segala kepentingan.
Bahkan dari bukunya Presiden Prabowo “Paradoks Indonesia dan solusinya“; beliau menjanjikan dua pemikiran, yaitu mengatasi kebocoran APBN 30% dan mengentaskan korupsi serta kesenjangan sosial sehingga menghilangkan kemiskinan di Indonesia.
Miris Menteri Keuangan Sri Mulyani konon berkata, “Kalau tidak suka dengan kebijakan pajak, silahkan pindah keluar negeri.”
Sementara Vietnam barusan memberlakukan penurunan PPN dari 10% ke 8% untuk memicu pertumbuhan ekonominya.
Rakyat sadar bahwa kenaikan PPN 1% dari 11% ke 12% itu memang berat. Kenaikan 1% itu adalah 1/11×100% atau kira kira 9% efektif.
Inilah biang psychologis matematik DOMINO EFFECT yang akan memicu kenaikan kebanyakkan barang barang industri dan konsumen, walau kata Bu Sri Mulyani PPN 12% itu diberlakukan hanya kepada barang barang mewah.
Dan juga berdalih keadilan bantuan perlindungan keberpihakan kepada masyarakat bawah dan UMKM dengan berbagai insentif. Banyak yang menganggap ini hanya pengaburan fakta belaka.
“Jelas barang barang akan naik. Consumer Price Index akan naik dan menyulut inflasi.”
Ini debatable karena de fakto di lapangan, harga bawang merah, bawang putih, telur, ayam,ikan dan daging lainnya sudah mulai naik akibat dampak matematika psychologis domino effect tadi yang para pedagang besar ataupun kecil termasuk UMKM terdampak.
Tidak dapat dibayangkan nanti bila PPN 12% diberlakukan di bulan Januari 2025. Jelas barang barang akan naik. Consumer Price Index akan naik dan menyulut inflasi.
Purchasing power atau daya beli rakyat pun akan terus merosot di tengah kesulitan ekonomi dan deflasi yang lagi berlanjut. PHK di mana-mana disusul dengan perusahaan -perusahaan pada tutup.
Sulit mencari pekerjaan sekarang ini. Industri manufaktur kita juga lagi kontraksi negatif. Para pengusaha sektor riel bakal banyak yang gulung tikar. Demikian juga ekspor kita kalah dengan kinerja growth rate negara negara tetangga kita.
Ujung-ujungnya kenaikan PPN 12% akan membuat disrupsi pertumbuhan ekonomi 8% yang presiden Prabowo targetkan.
Lalu apa yang harus dilakukan sebagai solusi?
Menurut info dari Kemenkeu, target PPN 12%, adalah menggapai pendapatan Rp75 triliunan untuk menyehatkan atau menambal defisit APBN 2025 yang memang berat.
Untuk bayar utang yang sudah berkisar di Rp9000 triliunan dengan bunga berjalan saja sudah perlu Rp800 triliunan.
Memang benar piring kotor atau masalah ekonomi yang ditinggalkan rezim Jokowi itu masif karena salah kelola pemerintahan Jokowi yang tidak patuh dengan code of conduct, public maupun corporate corporate governance.
Pembangunan infrastruktur yang masif tapi non produktif, kualitas di bawah standar dan menghandalkan utang terus menerus telah membebani pertumbuhan ekonomi.
Ironisnya sekarang di pemerintah Prabowo untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi 8% memang perlu punya APBN yang sehat dan progresif.
Tapi sayang sekali menaikkan pajak bukanlah solusi strategi dan momentum yang tepat. Seperti pendapat Pak Luhut Panjaitan yang menyarankan menunda PPN 12% dan perlu adanya kebijakan kebijakan stimulus, bukan hanya bisa menaikkan pajak saja.
Apalagi mengingat sektor-sektor riil industri kita yang lagi parah dan belum pulih sampai hari ini.
Silahkan cek dengan Pak Menko Ekuin Airlangga Hartarto dan menteri-menteri ekonomi lainnya seperti Menteri Perindustri Agus Gumiwang Kartasasmita, dan menteri-menteri ekonomi lainnya.
Mereka sudah menjabat posisi posisi kunci ini sejak zaman Jokowi dan berlanjut sekarang di pemerintahan Prabowo. Mereka dulu belum optimal membuat terobosan kebijakan-kebijakan stimulus yang berarti untuk merangsang pertumbuhan ekonomi.
Dalam keadaan begini, mengapa tim ekonomi dengan komando Airlangga dan terutama Kemenkeu tidak mempertimbangkan membuat langkah- langkah solusi alternatif sebagai berikut :
1. Memastikan kebocoran 30% APBN itu ditekan dan ditutup semaksimalnya!
Bukan saja World Bank, Pak Prabowo pun sudah mengakui adanya 30% kebocoran APBN. Mengapa tidak berupaya mencegah 1/4 saja atau 25% saja dari kebocoran 30% APBN 2025 yang dipatok di Rp3.621 triliun itu dapat dicegah atau ditutup kebocorannya.
Kalau betul kebocoran APBN itu 30%x Rp.3621 triliun= Rp 1086 triliun.
Semoga Menkeu mengupayakan langkah menutup kebocoran minimal 25% kebocoran APBN dari yang 30%. Maka menhasilkan 25%x Rp1.086 triliunan = Rp271.5 triliun. Penghematan APBN pun terjadi.
Ini sudah lebih dari cukup untuk menutup potensi target penerimaan PPN 12% yang Rp75 triliun tersebut. Why don’t you consider this approach Mrs. Sri Mulyani?
Masak kita tega melihat 30% kebocoran APBN kita dirampok para koruptor jahanam itu setiap tahun? Dan sekarang Kemenkeu mengambil langkah pintas menaikan PPN 12 yang akan mengguncang ekonomi kita yang lagi sulit ini?
2. Membuat terobosan kebijakan-kebijakan pajak yang menstimulasikan pertumbuhan industri-industri yang dapat meningkatkan produktivitas konsumsi dalam negeri maupun ekspor. Sehingga dapat menaikkan pendapatan pajak.
Lebih efektif lagi kalau ada terobosan dari Kementerian Perindustrian yang Ahok kritik sektor ini sudah collapsed tidak berprestasi.
Para pemain bidang industri pun berharap ada upaya pak Agus Gumiwang Kartasasmita berinovasi merestorasi Kementerian Industri untuk berperan mengejar ketinggalan manufaktur di Vietnam, Thailand dan Malaysia.
Dengan adanya kebijakan-kebijakan yang berstimulus, niscaya akan meningkatkan ratio pajak dan otomatis juga revenue pendapatan pajak yang memperkuat pondasi pertumbuhan ekonomi 8%.
Netizen juga banyak mengkritik Menteri Keuangan dengan kesan kurang berinovasi membuat kebijakan kebijakan stimulus yang merangsang pertumbuhan ekonomi. Padahal beliau pernah didaulat menjadi the best finance minister dengan kebijakan Amnesty.
Beliau juga terkesan mudah menurutin pembiayaan APBN yang gemuk tapi kurang mengendalikan eksekusi penggunaan anggaran. Termasuk kiat melakukan pengetatan APBN budget cut dan upaya menutup kebocoran APBN. Sehingga pertumbuhan ekonomi kita terkesan pasif selama 10 tahun ini yang puas berkisar di 5% an.
Seharusnya Tim Kabinet ekonomi mengakui kelemahan ini dan gaspol memperbaikinya.
“adalah bijak bila PPN 12% ditunda dulu ketimbang ujung-ujungnya berbumerang dan mendisrupsi pertumbuhan ekonomi. “
Banyak pengamat yang menilai mereka hanya berauto pilot menjalankan amanahnya. Fokus mereka bekerja pun pecah karena merangkap jabatan-jabatan partai politik yang dibiarkan Jokowi.
Mirisnya menteri-menteri ekonomi di Kabinet Koalisi Merah Putih Prabowo masih banyak yang dijabat oleh orang orang eks rezim Jokowi.
Mereka tidak mengintrospeksi diri bahwa kinerja mereka selama ini tidaklah optimal menurut penilaian para pelaku dan pengamat ekonomi. Tapi tetap saja mau menjabat tanpa ada rasa risih atau malu.
Kalau di dunia korporasi bila CEO atau CFO atau Board of Directors dan Commissioners tidak berprestasi, biasanya mereka resign atau diganti oleh pemegang saham.
Mungkin Pak Prabowo lagi mempertimbangkan langkah reshuffle di kabinet nya mengingat beliau pernah punya perusahaan sebagai pengusaha.
Sebagai konklusi adalah bijak bila PPN 12% ditunda dulu ketimbang ujung-ujungnya berbumerang dan mendisrupsi pertumbuhan ekonomi.
Dan juga kepercayaan rakyat kepada presiden mungkin akan turun drastis seiring dengan naiknya harga barang yang memicu inflasi. (*)