Minggu, Februari 23, 2025
No menu items!

Prabowo di Antara Pro-Status Quo dan Pro-Perubahan

Must Read

Oleh DR. Anton Permana | Pengamat Geopolitik dan Pemerintahan

SEMENJAK demo besar-besaran yang digelar kelompok mahasiswa pada tanggal 17 Februari 2025 dengan jargon “Indonesia Gelap”, publik cukup terhentak dan tersadar. Karena demo terjadi hanya sehari setelah rangkaian gegap gempita Rapimnas Partai Gerindra yang begitu megah dilaksanakan. Boleh dikatakan, yang hadir pada Rapimnas tersebut adalah keterwakilan penuh kekuatan dan simbol kekuasaan seorang Prabowo dari segi politik.

Ribuan kader, kepala daerah, anggota dewan mulai dari pusat dan daerah, para ketua partai politik, hingga para mantan presiden, wakil presiden yang masih hidup (minus Megawati) semuanya hadir.

Belum lagi kalau kita dengar dan ikuti semua rangkaian pidato serta statemen dari para tokoh sentral yang hadir seperti Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat yang juga Presiden ke-6 Bapak Jenderal TNI Purn. Prof. Dr. Soesilo Bambang Yudhoyono, dan juga Presiden ke-7 Joko Widodo.

Bagaimana komitmen dua figur mantan presiden ini untuk mendukung penuh Prabowo, bahkan hingga untuk kembali maju jadi calon presiden di tahun 2029 mendatang.

Dua dimensi politik yang cukup menarik dianalisis, game politik apa yang sedang bermain dari dua dimensi gap politik ini.

Itu belum kita berbicara tentang semakin pedas dan kerasnya kritikan dari para kelompok oposisi dan kelompok pro-perubahan kelompok civil society. Yang dulunya hanya berfokus pada isu “Adili Jokowi dan keluarganya”, sekarang mulai bergeser ikut menyerang Prabowo dengan bahasa “Jenderal omon-omon”, pasca pidato “hidup Jokowi” dan ditunjuknya Jokowi sebagai Ketua Dewan Pengawas Badan Danantara yang akan mengelola aset negara 900 Milyar USD.

Ironisnya Jokowi baru saja dinobatkan oleh salah satu lembaga anti korupsi dunia yang terkenal OOCRP sebagai pejabat terkorup nomor 2 di dunia setelah Bashar Al Ashad, ex-Presiden Suriah.

Setidaknya kita tentu sudah memahami, bagaimana perjalanan hidup dengan lika-liku jatuh bangunnya seorang sosok bernama Prabowo, mulai dari terlahir dari keluarga konglomerat, keluarga pejabat berpengaruh di zamannya, lalu berpindah-pindah tinggal sekolah di berbagai negara, masuk dinas tentara, menikah dengan anak Presiden Soeharto yang juga berkuasa waktu itu, sampai tragedi reformasi 98 terjadi. Sempat hijrah keluar negeri setelah diberhentikan dengan hormat dari kedinasan tentara dengan pangkat terakhir Letnan Jendral. Meski pernah memimpin pasukan elit Kopassus yang paling disegani.

Tidak hanya sampai di situ. Beliau juga diterpa issue pelanggaran HAM, lalu ikut konvensi partai Golkar namun kalah. Baru membuat partai politik bernama Gerindra. Maju di ajang Pilpres, baik jadi Cawapres bersama Megawati di tahun 2009, jadi Capres dua kali 2014 dan 2019 yang juga kalah oleh Joko Widodo. Baru kemudian pada tahun 2019 pasca kalah Pilpres, Prabowo kembali mengambil langkah politik yang membuat dunia pun kaget, bergabung ke dalam pemerintahan Jokowi yang notabone adalah musuh bebuyutannya di Pilpres sebelumnya.

Lima tahun menjadi tim Jokowi, kembali Prabowo membuat langkah politik yang menggemparkan dengan menjadikan Gibran anak Jokowi sebagai Cawapresnya meski dengan penuh  drama dan kontroversi di Mahkamah Konstitusi, namun langkah politik ini akhirnya membuahkan hasil. Yaitu, beliau berhasil dan menang Pilpres dan sekarang sudah menjadi Presiden Republik Indonesia yang ke-8. Sejak 20 Oktober tahun 2024 yang lalu.

Perlu ketenangan dan ketelitian mendalam untuk merenungi apa sebenarnya yang terjadi terhadap diri Prabowo saat ini. Tapi yang jelas, selain perjalanan hidupnya yang begitu dramatis mirip drama Korea hingga akhirnya menuju puncak kekuasaan ini, kita juga mesti sadar dan objektif. Setidaknya ada beberapa kepribadian dalam diri Prabowo yang tentu sangat mempengaruhi cara berpikir dan bertindaknya sekarang yaitu ; jiwa tentara, jiwa pebisnis, jiwa politisi, jiwa pejabat, dan jiwa penguasa atau juga bisa jiwa seorang negarawan.

Ketika jiwa tentaranya muncul, maka lahirlah statemen dan kebijakan patriotisme nasionalisme seperti bagaimana negara ini kuat secara militer dan pertahanan, disegani dunia internasional. Hingga untuk permasalahan PIK-2 pun ketika jiwa tentaranya muncul atas nama kedaulatan  negara yang terganggu, beliau langsung mengerahkan TNI AL untuk membongkar pagar laut di pantai utara Banten-Jakarta.

Ketika jiwa pebisnisnya muncul, maka lahirlah semangat kompromi dengan para pebisnis dan pengusaha (oligarkhi) bagaimana menghasilkan “cuan” dan win win solution untuk masing-masing pihak. Pajak PPN barang mewah naik 12 persen, namun upah buruh juga naik 6,5 persen pasca bertemu Ketua Umum KSPSI Jumhur Hidayat di Istana Presiden.

Ketika jiwa politisinya muncul, maka lahirlah kebijakan-kebijakan oportunis dan defensif dari dirinya, seperti menempatkan orang-orang kepercayaannya di beberapa jabatan strategis meski kadang tidak sesuai aturan hukum seperti posisi Mayor Teddy di Seskab dan lain sebagainya. Namun di satu sisi, sebagai politisi yang paham dengan “bargaining of political power”, untuk pengamanan kekuasannya, maka beliau juga mengakomodir lini kekuatan politik luar untuk menjabat meski juga kadang figur yang ditunjuk mempunyai rekam jejak kontroversial. Bahkan cenderung pro-status quo dan tidak sesuai dengan kapasitasnya. Sehingga lebih menjadi kabinet balas budi alias “happy cabinet”.

Nah baru sekarang, kembali muncul jiwa seorang pejabat, penguasa dan kenegarawannya, bagaimana kadang terlihat terlalu “naif” terhadap aturan-aturan dan kebijakan birokratif serta protokoler. Sehingga, mulai terjadi “gap komunikasi” dengan kelompok civil society. Semacam ada kekuatan labirin protokoler ala pejabat konservatif yang mengepung, memproteksi, semua saluran komunikasi terhadap dirinya dan dimensi di luar kekuasaan. Sehingga tak terasa, semakin hari membuat gap ini semakin dalam, tajam, dan menjauhkan Prabowo dari kelompok civil society yang seharusnya banyak berinteraksi dengan beliau agar tidak terjebak dalam cara berpikir kaca mata kuda dan juga sebagai perimbangan saluran informasi.

Hal ini mulai terlihat, ketika terlontar kata-kata tak elok seperti “ndasmu” dan banyak lagi yang lain ketika dirinya mengomentari kritikan dari pihak luar kekuasaan. Padahal, seperti yang kita semua ketahui sebelumnya, hal seperti ini bukanlah sifat dan jati diri seorang Prabowo. Beliau terkadang memang terlihat tempramental namun beliau selalu  welcome terhadap semua kritik dan menyukai diskusi ilmiah dan intelek.

Kesimpulannya dari kondisi ini, apakah Prabowo sekarang posisinya sudah larut dalam kelompok pro-status quo atau pro-perubahan, setidaknya kita bisa mengelompok kannya ke dalam tiga hal cluster analisis politiknya sebagai berikut:

Pertama, bisa jadi Prabowo saat ini memang sudah larut dalam pusaran kekuasaan yang membutakan. Karena, kalau kita lihat inner cycle dan power yang mengitarinya saat ini memang dominan dan hampir full  dengan kekuatan lama / status quo. Sehingga segala informasi, komunikasi, tentu sudah terkooptasi sehingga mudah membentuk persepsi seorang Prabowo secara perlahan namun presisi. Karena secara teori dalam rumus komunikasi, persepsi terbentuk karena dominasi input informasi. Ibarat teko, kalau diisi kopi ya keluar kopi, kalau diisi teh ya keluar teh. 

Asumsi ini yang akhirnya membuat kelompok civil society yang awalnya hanya fokus pada isu “adili Jokowi” sekarang mulai “marah” dan menggeser moncong meriamnya kearah Prabowo. Karena menganggap Prabowo adalah “boneka” nya Jokowi dan oligarkhi. 

Cuma yang harus jadi perhatian adalah apakah sudah semudah dan secepat itukah kita menjustifikasi sebuah kejadian dimana masa jabatan seorang Prabowo pun masih berjalan 100 hari? Ditambah lagi kalau dikaitkan dengan dinamika politik kekuasaan yang penuh dengan trik intrik jebakan serta cipta kondisi invisible hand.

Kedua, bisa juga karena Prabowo basiknya adalah tentara, dan juga sekarang otomatis menjadi seorang negarawan. Ada keinginan baik beliau untuk rekonsiliasi semua lini kekuataan demi rasa persatuan dan kesatuan. Kedengarannya memang sedikit naif, namun potensi ini ada dalam jiwa seorang Prabowo. Bagaimana mentalitas dan spirit nasionalisme tentaranya ingin membangun rasa kebangsaan bersama, membangun bersama-sama dan menjauhi perpecahan. Apalagi Prabowo menyadari di dalam negara demokrasi itu sangat penting sebuah konsolidasi elitnya. Kalau elit politiknya kompak dan solid, maka pemerintahannya akan stabil.

Untuk itulah, Prabowo mencoba merangkul semua cabang kekuasaan elit dan kelompok agar stabilitas pemerintahannya terjaga dan terkonsolidasi.

Ketiga, sebagai seorang politisi, pembaca buku kelas dunia dan juga memiliki ilmu sandhi yuda. Prabowo tentu juga sudah memahami, serta mempunyai hitungan politik sendiri. Kalau dalam militer ada namanya rencana kalkulasi tempur relatif terhadap sebuah pertempuran.

Bisa jadi ketika Prabowo mengatakan yel-yel “Hidup Jokowi” juga adalah berupa bentuk pesan Sandi Yudha, untuk menenangkan Jokowi yang mulai terjepit, tertekan fase isue PIK-2, pemangkasan anggaran IKN, pembatasan gerak Gibran, dan secara perlahan satu persatu mata rantai jaringan Jokowi di militer dan pemerintahan mulai dipreteli.

Dan bisa juga, kenapa Jokowi yang ditunjuk sebagai Ketua Dewan Pengawas Danatara untuk menjegal secara halus Erick Tohir yang disinyalir akhir-akhir ini mulai melakukan banyak gerakan yang “aneh”. Toh tujuan Danantara didirikan juga salah satunya untuk memutus mata rantai dan kuasa BUMN yang terlalu full power dan rentan digunakan untuk kepentingan kelompok Peng-Peng (Penguasa-Pengusaha).

Yang perlu juga jadi catatan khusus bagi kita semua adalah Prabowo juga sudah pasti tahu bahwa tipikal seorang Jokowi yang berdarah dingin, “licik” ala politiknya di Solo, dan sampai saat ini bagaimanapun tentu masih punya dukungan kuat dari para oligarkhi yang happy di zamannya. Dan Prabowo pasti belum mau berbenturan langsung dengan Jokowi untuk saat ini. Tidak ingin Jokowi merasa terancam dan membuat serangan balik. Mudah bagi seorang Jokowi saat ini melakukannya. Dan itu resiko besar terhadap stabilitas kekuasaannya. Ditambah, Gibranlah otomatis yang akan mengambil kesempatan besar dari semua itu seandainya terjadi hal buruk yang membuat Prabowo lengser, sesuai pasal 8 UUD 1945.

Artinya, Prabowo tentu juga sudah menghitung kalkulasi kekuatan politik, logistik, jaringan, dukungan, hingga juga kekuatan-kekuatan para musuh, kawan, lawan, maupun segala bentuk anasir kekuatan baik luar dan dalam negeri yang mengancam dirinya. Dan mesti disadari, tidak mudah untuk mengkonsolidasi itu semua. Belum lagi kalau berbicara mekanisme IFF (identification friend or foe) orang-orang di sekelilingnya.

Setidaknya secara normatif, butuh waktu ideal 2-3 tahun untuk seorang Presiden mengkonsolidasi kekuatan dan kekuasaan politik berada penuh dalam kendalinya. Jadi tidak semudah yang dibayangkan, baru jadi Presiden lalu bisa berbuat apa saja dan seenaknya. Apalagi kalau kita berbicara tentang Indonesia yang kerusakannya sudah terjadi di semua lini.

Sendi-sendi vital negara kita saat ini, masih dibawah kontrol kekuasaan kelompok oligarkhi. Mulai dari energi, telekomunikasi, impor pangan, impor BBM, listrik, tambang, pelabuhan, transportasi, yang apabila semua disabotase serentak bisa melumpuhkan negara ini. Sedangkan pemerintah masih terlilit permasalahan hutang, dan secara SDM pejabat dan birokratnya pun juga secara loyalitas tentu masih terkooptasi kekuatan lama status quo.

Belum lagi, kalau kita berbicara infrastuktur alat negara seperti TNI/Polri, BIN, Kejagung, KPK, MK, MA, yang boleh dikatakan 80 persen masih dijabat personal kekuatan lama status quo era Jokowi. Padahal, institusi ini adalah jantung dan tangan kakinya seorang Presiden.

Artinya, seorang Prabowo pasti sudah menghitung ini semua. Dan pengalamannya pun sudah mengajarkan, “Jangan pernah bertempur, sebelum pertempuran itu secara kalkulasi pertempuran relatif akan kita menangkan”. Maksudnya adalah : Ada kemungkinan, Prabowo saat ini belum bisa berbuat banyak mengimplelentasikan semua strategi kebijakan dan programnya. Karena kekuasaan penuh belum berada di tangannya. Sebagai tentara yang tentu paham operasi Sandi Yuda, tentu Prabowo sudah menyiapkan langkah-langkah taktis dan strategis untuk ini. Jadi kemungkinan, Prabowo untuk sementara waktu “ikut arus” dulu juga masih bisa relevan mengingat masa jabatannyapun baru 100 hari. Masih banyak kemungkinan besar bisa terjadi di kemudian dalam politik.

Ketiga cluster analisis di atas, semua punya potensi dan dasar argumentasi yang seimbang. Namun yang perlu kita pahamkan bersama adalah, tolong bedakan antara ; Kebijakan dan program apa yang dilakukan Prabowo yang salah dan menyakiti hati rakyat  dengan kebijakan dan program apa yang “belum atau seharusnya” dilakukan Prabowo sesuai harapan (hope) kita.

Ini harus dibedakan agar tidak kehilangan objektifitas. Kalau ada kebijakan dan program Prabowo yang menyakiti hati rakyat, maka  wajar rakyat akan  marah dan mengkritisinya. Namun, kalau harapan kita Prabowo begini, begitu, seharusnya begini begitu namun bekum terwujud, maka  hal itu lain soal. Kita tidak bisa menjustifikasi orang lain salah kalau tidak sesuai dengan kehendak dan harapan kita? Apalagi berbicara tentang kebijakan Presiden yang sudah pasti ada SOP dan mekanismenya serta skala prioritasnya.

Masih panjang waktu bagi seorang Prabowo untuk mewujudkan segala cita cita dan niat baiknya yang selalu berapi-api disampaikan kepada publik. Kita tinggal menunggu dan mengamati. Apakah, Prabowo akan tetap larut bersama kelompok pro status quo atau itu semua hanya bahagian strategi sampai kekuasaan full penuh di tangannya baru perlahan melakukan perubahan/l-perubahan terbaik untuk bangsa dan negara kita. Insya Allah. (*)

Ancaman Kekeringan Global 2025: Realitas, Prediksi, dan Langkah Antisipasi

JAKARTAMU.COM | Kekeringan adalah salah satu ancaman global yang semakin meningkat akibat perubahan iklim, eksploitasi sumber daya alam yang...

More Articles Like This