KEDUDUKAN hukum pribumi dan tarikan kehendak politik merupakan tanda utama kesenjangan. Meski sejarah pribumi penuh dengan luka dan rintihan, tuah dari nafas kata itu belum berhenti.
Pribumi atau Bumiputera dikesankan sebagai pemilik tapi tak berkuasa. Termasuk yang pernah terjadi dalam masa penjajahan kolonial Hindia Belanda yang menempatkan si penjajah Belanda sebagai warganegara pertama dan utama, diikuti oleh warganegara berstatus kelas dua yakni bangsa China dan Timur Asing lainnya (Arab, India).
“Sejarah pertingkatan status hukum kependudukan dengan hak dan kewajibannya itu adalah fakta dan buat apa ditutup-tutupi.”
Paling butut dijuluki warganegara kelas tiga, terdiri dari orang-orang Jawa, Madura , Sunda, Minang, Bugis, dan lainnya di Nusantara sebagai kawula Hindia Belanda.
Sejarah pertingkatan status hukum kependudukan dengan hak dan kewajibannya itu adalah fakta dan buat apa ditutup-tutupi.
Lihatlah aturan tentang hal tersebut di atas pada masa kolonial sebelum Belanda dikalahkan Jepang pada Maret 1942.
Diketahui bahwa penggolongan status dan peran penduduk itu berlatar belakang rasisme, kepentingan ekonomi dan bertujuan pelestarian kolonialisme dan imperaliasme.
Pelayanan hukum dan administrasi pemerintahan serta sosial-pun praktis dibedakan. Dengan demikian, kemiskinan dan kebodohan pada golongan penduduk terbawah dikehendaki untuk selama mungkin dipertahankan.
Lihatlah pasal 163 yo 131 Indische Staatsregeling, jelas sudah: Berlaku tiga tingkat golongan penduduk yakni Orang Belanda/Eropa sebagai golongan pertama (kemudian sejak 1905 Jepang masuk kategori ini), golongan kedua diberikan kepada Orang- orang Timur Asing (China, Arab dan India dll), ketiga diduduki oleh Pribumi.
Bagi tiap golongan berlaku hukum yang berbeda. Golongan pertama berlaku hukum Belanda, golongan kedua menundukkan diri pada hukum Belanda, kecuali pada hal-hal tertentu, sedangkan golongan ketiga berlaku hukum adat. Khusunya dalam administrasi kependudukan.
Kebijakan ini meluas ke pelayanan pendidikan, fiskal dan keuangan serta fasilitas umum.
Kebijakan kolonialis Belanda jelas memberikan fasilitas perdagangan barang tertentu seperti candu, jasa keuangan semisal gadai serta ekspor -impor kepada golongan bangsa China.
“sejak kapan mereka mengaku sebagai bangsa Indonesia, tak pernah ada petunjuknya, kecuali mengaku sebagai warganegara belaka. Lalu di mana kebangsaan itu dikenakannya..?”
Lima tahun selepas perang kemerdekaan (1945-1950 ), pemerintah NKRI mencoba Politik Benteng, yakni membantu usaha penduduk berkegiatan ekonomi dengan bantuan modal dan fasilitas produksi lainnya.
Di bawah Menteri Perdagangan Soemitro Djojohadikusumo semasa Kabinet Natsir. Berlanjut dengan nasionalisasi perusahaan asing 1958 diikuti dengan kebijakan kewarganegaraan tunggal berdasar ius sanguinis (tempat kelahiran), seakan terkubur.
Dilanjutkan dengan kebijakan pemerintahan 1968-1998, memajukan pengusaha pribumi….Namun, rupanya sejak reformasi digulirkan penggunaan kata pribumi menjadi terlarang.
Tuduhan rasisme meluas, padahal sejak kapan mereka mengaku sebagai bangsa Indonesia, tak pernah ada petunjuknya, kecuali mengaku sebagai warganegara belaka. Lalu di mana kebangsaan itu dikenakannya..?