JAKARTAMU.COM | Sejarah berdirinya Ahmadiyah, tidak terlepas dari sejarah Mirza Ghulam Ahmad sendiri sebagai pendiri aliran ini. Ia dilahirkan di Qadian tahun 1835, ayahnya bernama Mina Ghulam Murtada.
Dalam perjalanan hidupnya, Mirza Ghulam Ahmad pernah mendapat pendidikan dasar di kampung sendiri, kemudian ia meneruskan pelajarannya di kota Batala dekat kota Qadian.
Sewaktu mudanya, ia diasuh sendiri oleh ayahnya dalam mengurus tanah pertaniannya, kemudian ia menjadi pegawai pada pemerintah Inggris di Sialkot sejak 1864-1868.
Di samping pekerjaan sehari-harinya, sisa waktu yang ada, ia pergunakan untuk membaca al-Quran. Selama di Sialkot, demikian Maulana Muhammad ‘Ali, ia pernah terlibat dalam suatu persengketaan dengan kaum misionaris Kristen dan sesudah empat tahun tinggal di sana, ia dipanggil pulang oleh ayahnya untuk bertani.
Karena merasa tidak cocok dengan pekerjaan tersebut, maka sebagian besar waktunya dipergunakan untuk mempelajari al-Quran. Di saat yang sama, ia lebih suka menyepi daripada mengejar keduniaan.
Kematian ayahnya, merupakan babak baru dalam sejarah hidupnya, ia lebih banyak mencurahkan perhatiannya kepada Islam. Tampaknya ia mulai tertarik pada pergerakan kaum Hindu, Arya Samaj yang merupakan tantangan baginya serta mendorongnya untuk menulis beberapa artikel keagamaan, guna menentang kepercayaan dan pemimpin Hindu dalam berbagai media cetak.
Realitas Isa al-Masih
Wilfred Cantwell Smith dalam bukunya berjudul “Modern Islam in India”, (New Delhi: Usha Publication, 1979) menuturkan semangat pembaharuan al-Mahdi Ahmadiyah ini, muncul setelah ia melihat kemunduran Islam dan umat Islam di satu pihak, dan gencarnya serangan-serangan kaum Arya Samaj, dan kaum misionaris Kristen terhadap Islam di pihak lain. Karenanya ia merasa terpanggil untuk mengadakan pembaharuan dalam masyarakat.
Pada awal kegiatannya, ia diterima oleh masyarakat luas termasuk dari kalangan masyarakat Islam ortodoks. Akan tetapi, sesudah Mirza menyatakan menerima wahyu dan telah diangkat oleh Tuhan sebagai al-Masih dan al-Mahdi, masyarakat berbalik memusuhi dan menghinanya.
Muslih Fathoni dalam bukunya berjudul “Faham Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif” ( PT. RajaGrafindo Persada, 1994) mengatakan bagi kaum Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad adalah realitas Isa al-Masih dan al-Mahdi yang dijanjikan kemunculannya di akhir zaman.
“Keyakinan ini mereka jadikan sebagai prinsip akidah dan sekaligus merupakan ciri khas teologi aliran tersebut,” katanya.
Untuk menopang kebenaran keyakinan itu, mereka menggunakan ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan tanda tanda hari kiamat, dan mereka tafsirkan sesuai dengan paham mereka.
Demikian pula dengan hadis-hadis Nabi, terutama hadis-hadis yang berhubungan dengan turunnya ‘Isa al-Masih dan
hadis-hadis Mahdiyyah yang relevan dengan prinsip keyakinan di atas, yang mereka tafsirkan dan sesuaikan dengan
peristiwa-peristiwa alamiah.
S. Ali Yasir dalam “Gerakan Pembaharuan dalam Islam” (PP Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia, 1978) menambahkan untuk memperkuat signifikansi keyakinan tersebut, mereka juga menggunakan ramalan-ramalan yang mereka sebut sebagai ramalan orang suci atau wali.
Tanda-Tanda Kehadiran Imam Mahdi
Sebagai contoh yang cukup menarik dikemukakan di sini, ialah bahwa di antara tanda-tanda kehadiran al-Mahdi adalah terjadinya dua gerhana di bulan Ramadan, dan belum pernah terjadi sejak penciptaan langit dan bumi.
Pertama gerhana bulan di malam permulaan bulan Ramadan, dan kedua, gerhana matahari di pertengahan bulan tersebut.
Menurut kaum Ahmadiyah, dua peristiwa alamiah yang dinyatakan dalam hadis riwayat al-Daraqutni, benar-benar telah terjadi di daerah Punjab, India, tempat Mirza Ghulam Ahmad dilahirkan.
Kejadian gerhana yang aneh ini, menurut pendapat mereka, terjadi pada hari Kamis 13 Ramadan 1311 H/22 Maret 1894 M, sedangkan gerhana matahari terjadi pada hari Jum’at 28 Ramadan 1311 H/6 April 1894 M.
Dua peristiwa ini merupakan tanda-tanda alamiah tentang kebenaran pengakuan Mirza sebagai al-Mahdi dan al-Masih.
Demikian menurut keyakinan Ahmadiyah. Sebagai pengikutnya, Saleh A. Nahdi dalam bukunya berjudul “Ahmadiyah Selayang Pandang, (Yogya Rapem, 1979) mengomentari hadis yang menyatakan: “… Bila kamu melihat di sebelah Timur api berkobar selama tiga atau tujuh hari lamanya, maka harapkanlah kelapangan bagi ummat Muhammad.”
Api yang berkobar di sebelah Timur diartikan sebagai gunung Krakatau yang meletus tahun 1883. Dengan demikian, kehadiran pendiri aliran ini menurut keyakinan pengikutnya telah diramalkan oleh Rasulullah, kemudian mereka interpretasikan secara rasional dan untuk menguatkan alasan-alasan mereka, dikemukakan pula sebuah hadis riwayat Abu Nu’aim dari Abu Bakr ibn Muqri:
“Al-Mahdi akan muncul dari sebuah kampung bernama Karimah.”
Dalam keterangan lain, menurut Maulana Sadiq H. A. dalam “Kedatangan al-Masih dan al-Mahdi,”
(Sinar Islam, 1980) menyebutkan tempat munculnya al-Mahdi adalah kampung Kadi’ah atau disebut juga dengan nama Kara’ah.
Nama-nama tersebut menunjukkan tidak jelasnya tempat di mana al-Mahdi akan muncul, sehingga siapa saja dapat menafsirkannya sesuai dengan keinginannya.
Menurut paham pengikut Ahmadiyah, al-Mahdi yang dimaksud dalam hadis-hadis Mahdiyyah, bukanlah berasal dari Makkah atau Madinah, akan tetapi dari Persia yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan keturunan Rasulullah.
Kalau pun al-Mahdi itu harus dari Ahlul-Bait, maka yang dimaksudkan tidaklah ia mesti mempunyai hubungan darah dengan Nabi, akan tetapi boleh jadi ia seorang yang saleh, taat, dan setia kepada Nabi, seperti yang ditunjukkan oleh Salman al-Farisi sebagai yang diisyaratkan hadis Nabi dalam al-Jami’us-Sagir:
“Salman termasuk (keluarga) kami Ahlul-Bait. Walhasil, demikian Maulana Muhammad Sadiq menegaskan, hadis yang menerangkan bahwa Mahdi di akhir zaman itu berasal dari kalangan Ahlul-Bait, hanyalah menyatakan bahwa dia seorang yang sangat setia dan taat kepada Nabi.
Sekalipun dia bukan berasal dari keturunan Nabi atau bukan bangsa Arab, tetapi dia seorang yang saleh dan setia kepada Allah dan Rasul-Nya sebagai yang ditunjukkan oleh Mirza, maka menurut paham aliran ini, dialah al-Mahdi yang dijanjikan oleh Nabi.
Oleh karena itu, di dalam masalah kemahdian, tentunya kaum Ahmadiyah cenderung menolak hadis-hadis Mahdiyyah yang dipegangi oleh kaum Syi’ah.