JAKARTAMU.COM | Amerika Serikat (AS) dan Israel semakin mengintensifkan upaya untuk merelokasi warga Palestina dari Gaza, meskipun mendapat kecaman luas dari komunitas internasional. Pemerintah Israel bahkan telah membentuk badan khusus untuk memfasilitasi proyek pengusiran warga Palestina dari wilayah tersebut setelah perang 15 bulan.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, secara terbuka menyatakan komitmennya terhadap rencana AS untuk menguasai Jalur Gaza dan menggusur penduduk Palestina. Hal ini ia sampaikan saat Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, melakukan kunjungan ke Timur Tengah guna membahas strategi implementasi rencana tersebut.
Dalam sebuah pernyataan pada Senin (17/2/2025), Netanyahu menegaskan bahwa dirinya berkomitmen terhadap rencana Presiden AS Donald Trump untuk menciptakan “Gaza yang berbeda”. Netanyahu juga memastikan bahwa Hamas maupun Otoritas Palestina tidak akan memegang kendali di wilayah tersebut.
Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, turut mendukung rencana ini dengan mengumumkan pembentukan direktorat khusus yang disebut sebagai “keberangkatan sukarela” warga Palestina dari Gaza. Unit Koordinator Kegiatan Pemerintah di Wilayah (COGAT) Israel telah mengajukan proposal yang memberikan bantuan ekstensif bagi warga Gaza yang ingin bermigrasi ke negara ketiga, termasuk dengan menyediakan jalur keluar melalui laut, udara, dan darat.
Rencana AS ini mendapat tentangan keras dari negara-negara Arab. Mesir dan Yordania secara tegas menolak tekanan AS untuk menerima pengungsi Palestina. Arab Saudi pun memimpin upaya diplomatik guna mengembangkan alternatif yang lebih adil bagi masa depan Gaza, termasuk kemungkinan dana rekonstruksi yang dipimpin negara-negara Teluk tanpa melibatkan Hamas.
Dalam kunjungannya ke Riyadh, Marco Rubio bertemu dengan Putra Mahkota Saudi, Mohammed bin Salman. Dalam pertemuan tersebut, kedua pihak membahas gencatan senjata di Gaza dan pembebasan sandera, namun Arab Saudi tetap menegaskan penolakannya terhadap segala bentuk pemindahan paksa warga Palestina.
Baca juga: Kekejaman di Penjara Israel Kembali Terkuak, 54 Tahanan Palestina Syahid
Operasi Militer Penghancuran Gaza
Di tengah upaya diplomasi, militer Israel terus melakukan operasi di Gaza. Meskipun terdapat gencatan senjata, puluhan rumah di Rafah, Gaza Selatan, telah dihancurkan oleh pasukan Israel. Analisis citra satelit yang dilakukan oleh lembaga pemeriksa fakta Al Jazeera, Sanad, mengungkapkan bahwa Israel secara sistematis meratakan kawasan pemukiman Palestina.
Israel juga memperkuat kendalinya atas Koridor Philadelphia, jalur sepanjang 14 km di perbatasan Gaza-Mesir, yang sebelumnya dijamin oleh perjanjian damai Israel-Mesir pada 1979. Berdasarkan citra satelit, Israel telah membangun benteng pasir, pos militer, dan infrastruktur lain untuk memperketat kontrol di perbatasan.

Selain itu, ribuan warga Rafah dilaporkan kehilangan tempat tinggal akibat serangan militer Israel. Kendaraan militer Israel bahkan dilaporkan menembaki warga yang mencoba kembali ke rumah mereka, mengakibatkan korban luka dan tewas.
Meskipun gencatan senjata yang dimulai pada 19 Januari 2025 telah mengharuskan Israel untuk mengurangi pasukannya di Gaza, bukti menunjukkan bahwa mereka terus melakukan penghancuran bangunan dan membangun infrastruktur militer baru. Dalam periode 19 Januari hingga 1 Februari 2025, sebanyak 64 bangunan di kota Rafah telah dihancurkan, termasuk rumah-rumah yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari perbatasan Mesir.
Organisasi HAM mengecam tindakan Israel ini sebagai pelanggaran hukum internasional. Konvensi Jenewa keempat secara tegas melarang penghancuran properti pribadi dalam konflik bersenjata, kecuali dalam keadaan militer yang sangat mendesak. Namun, Israel tampaknya mengabaikan hukum internasional dengan terus melanjutkan operasinya.
Di tengah eskalasi ini, situasi kemanusiaan di Gaza semakin memburuk. Direktur Jenderal Kementerian Kesehatan Gaza, Munir al-Bursh, melaporkan bahwa sejak gencatan senjata diberlakukan, sedikitnya 118 warga Palestina telah meninggal akibat serangan Israel, sisa-sisa persenjataan yang tidak meledak, serta luka fatal yang diderita sebelumnya.
Selain itu, bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan, seperti makanan, bahan bakar, tenda, dan tempat penampungan darurat, masih belum dapat masuk ke Gaza dalam jumlah yang cukup. Wali Kota Rafah, Ahmed al-Sufi, mengungkapkan bahwa sekitar 200.000 penduduk masih mengungsi dan tidak dapat kembali ke rumah mereka. Diperkirakan 90% rumah di Rafah mengalami kerusakan, dengan sekitar 52.000 unit mengalami kehancuran pada berbagai tingkat.
Baca juga: 1 Ton Bom Kiriman AS Tiba di Israel
Kemungkinan Kelanjutan Perang
Sementara itu, di dalam negeri Israel, kabinet keamanan negara tersebut tengah membahas fase kedua dari gencatan senjata. Namun, upaya ini menghadapi tekanan dari kelompok sayap kanan, termasuk Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, yang mengancam akan keluar dari koalisi Netanyahu jika perang di Gaza dihentikan.
Perdana Menteri Netanyahu juga mendapat tekanan dari keluarga para sandera yang masih berada di Gaza. Hingga saat ini, 19 sandera Israel telah dibebaskan, dengan 33 lainnya dijadwalkan untuk dibebaskan secara bertahap. Netanyahu memperingatkan bahwa “gerbang neraka akan terbuka” jika semua sandera tidak segera dibebaskan.
Di sisi lain, para analis menilai bahwa Netanyahu melihat rencana Trump sebagai peluang emas untuk mengosongkan Gaza dari warga Palestina. Namun, tekanan dari AS dan kelompok-kelompok di dalam negeri dapat memaksa pemerintah Israel untuk menerima solusi diplomatik yang lebih moderat.
Sumber: Al Jazeera