JAKARTAMU.COM | Salah satu hikmah ibadah puasa ialah penanaman rasa solidaritas sosial. Dengan mudah hal itu dibuktikan dalam kenyataan bahwa ibadah puasa selalu disertai dengan anjuran untuk berbuat baik sebanyak-banyaknya, terutama perbuatan baik dalam bentuk tindakan menolong meringankan beban kaum fakir miskin, yaitu zakat, sedekah, infaq, dll.
Cendekiawan Muslim, Prof Dr Nurcholish Madjid (1939-2005) atau populer dipanggil Cak Nur, dalam buku “Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah” mengatakan dari sudut pandangan itulah kita harus melihat kewajiban membayar zakat fitrah pada bulan Ramadan, terutama menjelang akhir bulan suci itu.
Seperti diketahui, kata Cak Nur, fitrah merupakan konsep kesucian asal pribadi manusia, yang memandang bahwa setiap individu dilahirkan dalam keadaan suci bersih.
Oleh karena itu, lanjut Cak Nur, zakat fitrah merupakan kewajiban pribadi berdasarkan kesucian asalnya, namun memiliki konsekuensi sosial yang sangat langsung dan jelas.
Sebab, seperti halnya dengan setiap zakat atau “sedekah” (shadaqah, secara etimologis berarti “tindakan kebenaran”) pertama-tama dan terutama diperuntukkan bagi golongan fakir-miskin serta mereka yang berada dalam kesulitan hidup seperti al-riqab (mereka yang terbelenggu, yakni, para budak; dalam istilah modern dapat berarti mereka yang terkungkung oleh “kemiskinan struktural”) dan al-gharimun (mereka yang terbeban berat hutang), serta ibn al-sabil (orang yang terlantar dalam perjalanan), demi usaha ikut meringankan beban hidup mereka.
Sasaran zakat yang lain pun masih berkaitan dengan kriteria bahwa zakat adalah untuk kepentingan umum atau sosial, seperti sasaran amil atau panitia zakat sendiri, kaum mu’allaf, dan sabil-Allah (“sabilillah”, jalan Allah), kepentingan masyarakat dalam artian yang seluas-luasnya.
Sebenarnya dimensi sosial dari hikmah puasa ini sudah dapat ditarik dan dipahami dari tujuannya sendiri dalam Kitab Suci, yaitu takwa.
Puasa Orang-Orang Kafir Penyembah Berhala
Dalam memberi penjelasan tentang takwa sebagai tujuan puasa itu, Syaikh Muhammad Abduh menunjuk adanya kenyataan bahwa orang-orang kafir penyembah berhala melakukan puasa (menurut cara mereka masing-masing) dengan tujuan utama “membujuk” dewa-dewa agar jangan marah kepada mereka atau agar senang kepada mereka dan “memihak” mereka dalam urusan hidup mereka di dunia ini.
Ini sejalan dengan kepercayaan mereka bahwa dewa-dewa itu akan mudah dibujuk dengan jalan penyiksaan diri sendiri dan tindakan mematikan hasrat jasmani.
Cara pandang kaum musyrik itu merupakan konsekuensi paham mereka tentang Tuhan sebagai yang harus didekati dengan sesajen, berupa makanan atau lainnya (termasuk manusia sendiri) yang “disajikan” kepada Tuhan.
Altar di kuil-kuil bangsa Inka di banyak bagian Amerika Selatan, umpamanya, menunjukkan adanya praktik “ibadat” mendekati Tuhan dengan sesajen berupa korban manusia.
Demikian pula pada bangsa-bangsa lain, praktik serupa juga tercatat dalam sejarah, seperti pada bangsa-bangsa Mesir kuno, Romawi, Yunani, India, dll.
Puasa Ajaran Agama Tauhid
Hal itu tentu berbeda dengan ajaran agama Tauhid yang mengajarkan manusia untuk tunduk-patuh dan pasrah sepenuhnya. Islam kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam agama ini diajarkan bahwa Tuhan tidaklah didekati dengan sesajen seperti pada kaum pagan atau musyrik, melainkan dengan amal perbuatan yang baik, yang membawa manfaat dan faedah kepada diri sendiri dan kepada sesama manusia dalam masyarakat:
“Maka barang siapa ingin berjumpa dengan Tuhannya, hendaknyalah ia berbuat baik, dan janganlah dalam berbakti kepada Tuhannya itu ia memperserikatkan-Nya dengan seseorang siapapun juga.” (QS Al-Kahfi : 110)
Berkaitan dengan ini, kata Cak Nur, Islam memang mengenal ajaran tentang ibadah kurban. Tetapi, sesuai dengan nama ibadah itu, kurban adalah tindakan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Namun pendekatan itu terjadi bukan karena materi korban itu dalam arti sebagai sesajen, melainkan karena takwa yang ada dalam jiwa pelakunya. Dan takwa dalam ibadah korban itu tercermin dalam kegunaan nyata yang ada di belakangnya, yaitu tindakan meringankan beban anggota masyarakat yang kurang beruntung:
“Tidaklah bakal sampai kepada Allah daging korban itu, dan tidak pula darahnya! Tetapi yang bakal sampai kepada-Nya ialah taqwa dari kamu.” (QS. al-Hajj/22:37)
Maka begitu pula dengan puasa. Yang mempunyai nilai pendekatan kepada Allah bukanlah penderitaan lapar dan dahaga itu an sich, melainkan rasa takwa yang tertanam melalui hidup penuh prihatin itu.
Dengan perkataan lain, Tuhan tidaklah memerlukan puasa kita seperti keyakinan mereka yang memandang Tuhan sebagai obyek sesajen atau sakramen. “Puasa adalah untuk kebaikan diri kita sendiri baik sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat yang lebih luas,” jelas Cak Nur.
Sekarang, seperti halnya iman yang tidak dapat dipisahkan dari amal saleh, tali hubungan dengan Allah (habl min Allah – “hablum minallah”) yang tidak dapat dipisahkan dari hubungan dengan sesama manusia (habl min al-nas -“hablum minannas”), takwa pun tidak dapat dipisahkan dari budi pekerti luhur (husn al-khuluq atau al-akhlaq al karimah).
Ini antara lain ditegaskan Rasulullah dalam sebuah Hadis: “Yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam surga ialah takwa kepada Allah dan budi pekerti luhur.” (Hadits shahih, riwayat al-Tarmidzi dan al-Hakim)