Rabu, April 23, 2025
No menu items!

PUISI: Doa di Pagi Rabu, Relung yang Luruh, dan Tangisan Abadi

Must Read

Doa di Pagi Rabu

Ya Rabb, di fajar yang suci menepi,
Rabu berseri, hati pun bersimpuh rapi.
Ampunilah kami, hamba penuh cela,
Juga ayah bunda, keluarga, sahabat tercinta.

Karuniakan umur yang sarat makna,
Langkah selamat, tubuh yang afiat sempurna.
Tunjuki kami jalan-Mu nan benar,
Yang Engkau ridhai, penuh cahaya yang mekar.

Jadikan kami syukur yang tak putus bersuara,
Atas nikmat-Mu, deras laksana samudra.
Berikan dunia yang penuh kebaikan,
Akhirat pun teduh dalam limpahan keridhaan.

Lindungi kami dari siksa nan ngeri,
Api neraka, tempat tiada kembali.
Ya Allah, genggam kami dalam kasih-Mu,
Sampai jiwa tenang kembali pada-Mu.

Belum Habis Kesempatan Berbakti

Saat kecil, kita digendong kasih,
Disuapi cinta, ditimang bersih.
Ayah jadi langit, ibu jadi bumi,
Segalanya tentang kita, mereka yang mengisi.

Namun waktu tak selalu ramah,
Ia mencabut satu atau dua anugerah.
Jasad terbaring, doa yang menggugah,
Menjadi jembatan, bukan akhir yang gundah.

Meski sunyi menyelimuti pusara,
Langit masih terbuka untuk cinta yang nyata.
Istighfar anak, sungguh bermakna,
Naikkan derajat, sirnakan siksa.

Mereka mungkin telah pergi dari dunia,
Namun belum habis bakti dari kita.
Setiap sujud, ada nama yang terbawa,
Setiap sedekah, ada niat untuk mereka.

Doa tak lekang, tak tertelan zaman,
“Wahai Tuhanku, sayangilah mereka dengan kasih yang aman.”
Sebab didikan mereka, akar segala jalan,
Tumbuh menjadi amal yang berbuah keabadian.

Tiga pintu tetap terbuka pasca ajal,
Sedekah jariyah, ilmu, dan anak yang kekal.
Dalam doanya, pahala mengalir bak sungai halus,
Dalam baktinya, rahmat turun tanpa putus.

Maka jangan biarkan mereka sunyi sendiri,
Kirimkan doa dari hati yang bersih dan murni.
Ziarah, sedekah, amal yang diseri,
Adalah bukti cinta yang hakiki.

Belum habis kesempatan berbakti,
Selama nafas ini masih berarti.
Jadilah anak yang tak pernah berhenti,
Mencintai orang tua… hingga surga yang tinggi.

Doa yang Tulus dari Relung yang Luruh

Ketika langit tertutup mega,
dan bumi retak oleh lara,
di situlah hamba—lemah dan hampa—
menengadah, menghiba dalam bahasa jiwa.

Bukan karena Tuhan tak tahu,
tapi karena rindu untuk merunduk dan mengaku:
dada ini penuh retakan luka,
jiwa ini haus akan rahmat-Nya.

Sungguh, Allah cinta kehinaan yang jujur,
bukan dari mulut, tapi dari hati yang hancur.
Yang bersimpuh seperti Nabi Zakariya
saat tulangnya rapuh, ubannya bersua cahaya.

“Ya Rabb,” katanya lirih dalam nyala iman,
“Aku tak pernah kecewa meminta-Mu sejak zaman.”
Lalu Ayyub pun berseru dalam nestapa yang tak reda:
“Aku disakiti, tapi Engkaulah Sang Maha Pengasih selamanya.”

Inilah ajaran para utusan langit
yang tak malu menangis di sepertiga yang sunyi,
yang menjadikan luka sebagai syair,
dan derita sebagai jalan menuju kasih Ilahi.

Jangan gengsi menampakkan luka,
karena doa bukan tentang kata indah,
tapi tentang hamba yang merunduk rendah,
menyadari tiada daya selain rahmat-Nya yang megah.

Sombong itu saat kita merasa cukup,
padahal ruh sudah retak, hati sudah lumpuh.
Tapi lihatlah tangan yang terangkat dalam malam,
Allah malu membiarkannya pulang dalam kekosongan.

Jadi, menangislah dalam sujudmu,
ceritakan luka, meski Dia lebih dulu tahu.
Karena itulah cinta:
rindu untuk didengar, walau tak diucap juga terasa.

Biarlah doa jadi cermin duka,
yang memantulkan cahaya surga.
Dan kita pun pulang, bukan dengan jawaban,
tapi dengan kedekatan yang tak bisa dilupakan.

Aamiin.

Jariyah Dosa, Tangisan Abadi

Di palung waktu yang tak terhapus,
Jejak maksiat tertulis halus.
Tak tampak luka, namun membekas,
Menjadi warisan yang terus menetas.

Wahai saudaraku, cermati jalan,
Di ujung dosa ada rentetan.
Tak cukup engkau berhenti berbuat,
Jika jejakmu tetap menggugah maksiat.

Lihatlah mereka yang menyeru kelam,
Menghias batil dengan syair nan dalam.
Mengancam yang haq, mengangkat yang zalim,
Mereka berdiri di ujung jurang nan seram.

Mereka tidak sendiri dalam beban,
Pengikutnya datang dari segala zaman.
Satu dusta, seribu telinga,
Satu seruan, ribuan langkah tersesat arahnya.

Lalu datang waktu yang sunyi dan pekat,
Kubur memeluk tanpa penolakan hangat.
Namun dosa mereka tak ikut terkubur,
Ia mengalir, berdenyut, terus mengubur.

Tak cukup mati tuk mematikan dosa,
Selama lisan-lisan meniru ucapannya.
Selama jemari masih menyebar nista,
Ia menuai siksa dari buah ajakannya.

Ya Rabb, betapa menyedihkan nasib ini,
Saat semua berharap pahala mengaliri,
Ia justru menenggak kucuran dosa,
Dari perbuatan dan jejak yang tersisa.

Adakah yang lebih ngeri dari itu?
Ketika ruh merintih, namun tak mampu merayu.
Karena dosa jariyah, seperti duri di dahi,
Tak membunuh cepat, tapi terus menyakiti.

Tiadakah engkau melihat Zakariya bersimpuh?
Tulangnya lemah, namun imannya tak rapuh.
Atau Ayyub, dalam derita mendalam,
Namun lisannya penuh dzikir dan harap tak padam.

Mereka wariskan jariyah yang terang,
Cahaya yang abadi, tak lekang oleh zaman.
Bukan kata dusta yang mengundang laknat,
Tapi amal mulia yang terus bermanfaat.

Maka pilihlah jejakmu, wahai insan,
Maukah engkau dikenang dalam kebaikan?
Ataukah menjadi bayang yang ditakuti,
Dalam lembaran amal yang abadi?

Hiduplah dalam zikir, bukan fitnah,
Dalam cinta akan kejujuran, bukan gelimang muslihat.
Karena Allah mencatat, bahkan yang terlupakan,
Dalam Lauhul Mahfuzh, tak ada yang luput dari perhitungan.

Pendidikan Bela Negara Sekolah Muhammadiyah

BANYAK penelitian dan pengamat sosial menyimpulkan bahwa maraknya kenakalan remaja, penyalahgunaan narkoba, korupsi, hingga kekerasan yang terjadi di Indonesia...
spot_img

More Articles Like This