Doa di Hari Mulia
Yaa Allah, Ya Rabb yang Maha Penyayang,
Di pagi Jum’at, kudekap harap tak terbilang,
Ampuni kami—jiwa lemah yang berjuang,
Juga ayah bunda, keluarga, dan sahabat yang terang.
Anugerahilah usia kami dengan makna yang dalam,
Dengan sehat yang sempurna, selamat dari segala kelam,
Bimbing kami meniti Shiratal Mustaqim yang tentram,
Jalan yang Kau ridhai, yang tak pernah padam.
Jadikan syukur sebagai napas setiap desir,
Atas nikmat-Mu yang tiada pernah sirna maupun mungkir.
Curahkanlah kebaikan di dunia dan akhir yang tak berakhir,
Jauhkan kami dari api, dari siksa yang menyesak dan getir.
Lindungilah kami dari fitnah dunia dan kubur,
Dari godaan dajjal dan tipu daya yang hancur,
Hingga di ujung waktu, kala sujud jadi penutup umur,
Kami kembali dalam husnul khotimah yang makmur.
Cukupkan bekal saat maut datang mengetuk,
Ridho-Mu semoga jadi cahaya yang tak redup,
Ijinkan hamba menatap wajah-Mu yang agung dan teduh,
Bersama Nabi-Mu tercinta, di akhirat yang penuh peluk.
Aamiin, ya Rabb, pada-Mu harap tertuju,
Doa ini kami titipkan, dengan hati yang bersimpuh dan merindu.
Amanah di Setiap Jejak Kerja
Bila kerja kau genggam bak janji,
Jangan biar khianat bersemi di hati.
Sebab Rabbmu telah berseru pasti,
Tunaikan amanat pada yang hak miliki.
Amanah bukan sekadar titipan hampa,
Ia cahaya yang menuntun langkah dan jiwa.
Luruskan niat, ikhlaskan asa,
Sebab setiap detikmu akan diminta bicara.
Tak cukup sekadar kuat dan tangguh,
Harus jujur, bersih, tak gampang mengeluh.
Sebab yang terbaik di mata yang Maha Tahu,
Adalah Al-Qawiy Al-Amin—yang teguh dan jujur selalu.
Jika engkau bendahara, jangan silau harta,
Berikan hak dengan sempurna dan niat yang merdeka.
Maka bukan hanya amanat yang terjaga,
Tapi pahala sedekah pun mengalir bersama.
Jangan tukar kepercayaan dengan tipu daya,
Tak pantas mengkhianati meski kau disakiti nyata.
Karena amanah bukan tentang siapa yang memberi,
Tapi tentang siapa dirimu dalam sunyi.
Bekerjalah seakan Allah menyaksikan,
Karena memang Dia tak pernah lalai dalam pengawasan.
Pegang teguh janji, jaga setiap urusan,
Agar kelak di akhir, kau pulang dalam kemuliaan.
Jadilah hamba yang kuat dan dapat dipercaya,
Dalam setiap tugas, dalam amanah yang membara.
Karena kerja bukan sekadar mencari nafkah semata,
Tapi jalan menuju ridha dan surga-Nya.
Doa di Perut Kesunyian
Dalam gelap yang menelan harapan,
kubuka lidah dengan nama Tuhan.
Bismillahirrahmanirrahim, bisik awal yang tenang,
menggetarkan langit, mengoyak sunyi yang panjang.
Tiada ilah selain Engkau, wahai Maha Tunggal,
Subhanaka—Engkau Maha Suci, tiada cela tinggal.
Aku hanyalah bayang dari dosa yang menua,
yang zalim pada waktu, pada janji, pada rasa.
Inilah dzikir yang menembus perut paus,
melilit resah, melepaskan belenggu yang mencekus.
Yunus berdoa, laut pun luruh dalam diam,
dalam lafal itu, langit membuka salam.
Doa ini bukan sekadar susunan lafaz pasrah,
ia pengakuan: Tuhan Esa, bebas dari lelah.
Ia pensucian: Engkau bersih dari cela fana,
dan aku—pengembara yang lupa arah cahaya.
Aku tenggelam dalam kesalahan yang runcing,
tapi doa ini bagai pelampung yang menggiring.
Menjemputku dari dasar nestapa yang lengang,
mengangkatku dari kelam yang memenjarakan terang.
La ilaha illa anta—itulah kuncinya,
Subhanaka—pintu rahmat-Mu terbuka,
Inni kuntu minaz-zalimin—pengakuan luka,
tapi justru di sanalah ampunanMu bertahta.
Doa ini bukan mantra pelipur semata,
tapi jalan pulang yang lurus tanpa cela.
Dalam tiap katanya, ada harap yang menyala,
mengurai ikatan duka, menyeka air mata.
Bukan sekadar lisan, namun getar jiwa,
bukan sekadar hafalan, namun rintih rasa.
Dan saat dunia seolah enggan mendengar,
Allah Maha Pengasih, selalu siap menyebar sabar.
Maka, dalam sunyi atau saat ramai membungkam,
lafalkan doa ini, biar langit pun diam.
Karena dari mulut Nabi yang tenggelam,
lahir satu kalimat yang mengguncang malam.
Pintu Iblis Bernama Kebodohan
Di malam sunyi saat hati mengaduh,
Ada bisik halus yang menyaru peluh,
Iblis pun datang tanpa mengetuk,
Masuk dari celah yang manusia tancapkan: bodoh tak bertutup.
Wahai saudaraku, dengarlah renung,
Bukan tajam pedang, bukan peluru yang menyerang,
Namun lalainya akal, kosongnya ruh,
Membuka gerbang sesat yang menjebak dalam angan nan buram.
Tatkala hati tak tertambat pada Rabb yang Satu,
Maka badai gelisah pun menyerbu,
Yang dilepaskan pada penilaian manusia,
Akan terseret ombak dunia yang hampa makna.
Orang baik mengajarkan syukur,
Yang buruk melatih sabar,
Yang jahat menjadi guru keras,
Dalam tiap lakon hidup, Allah-lah Sang Pengatur naskah.
Namun, lihatlah mereka yang angkuh dalam jahil,
Tak tahu kadar diri, apalagi kadar orang lain,
Menepuk dada seraya tertawa congkak,
Padahal ilmunya tak cukup menyalakan lilin akal yang gelap.
Seorang ‘alim pernah bersaksi,
“Dulu aku jahil,” ujarnya rendah hati,
Sedang si bodoh terjebak delusi,
Tak tahu ia buta hingga menghujat cahaya hakiki.
Kebodohan bukan sekadar tak tahu,
Ia lorong gelap tempat Iblis menjelma seteru,
Membisik amarah, menyulut bangga palsu,
Membawa lisan dan tangan pada jejak dusta dan keliru.
Maka, ikatlah hati pada langit yang Maha Menatap,
Langkahkan kaki menuju majelis yang penuh hikmah,
Karena menempuh jalan ilmu, kata Nabi nan mulia,
Adalah jalan menuju Jannah yang tiada duka.
Dan jangan tunggu esok untuk taubat,
Sebab esok mungkin hanya kabut,
Sedang hari ini masih ada cahaya,
Gunakan tuk sujud, bukan tuk menunda.
Berdoalah dengan lidah hati yang jujur:
“Ya Allah, jauhkan aku dari sesat dan menyesatkan,
Dari zalim dan dizalimi, dari bodoh dan dibodohi.”
Agar tak jadi alat iblis dalam bentuk manusia sendiri.
Saudaraku,
Ilmu adalah pelita yang menyala saat gelap,
Jangan matikan ia dengan keengganan menuntut,
Karena ridha Allah bukan bagi yang membanggakan kosong,
Melainkan mereka yang mencari terang meski jalannya terjal dan panjang.