Doa di Pagi Rabu
Oleh: Dwi Taufan Hidayat
Ya Rabb, di fajar yang suci ini,
kusujudkan hati dalam doa penuh arti.
Ampunilah kami, limpahkan rahmat,
untuk keluarga, sahabat, dan umat.
Berikan usia yang penuh makna,
dengan sehat dan selamat di tiap rencana.
Bimbing langkah di jalan terang,
menuju ridha-Mu yang tak lekang.
Jadikan syukur tak lekang di dada,
atas nikmat yang Kau anugerahkan selalu ada.
Limpahkan dunia yang penuh berkah,
dan akhirat yang damai, jauh dari musibah.
Jauhkan kami dari siksa neraka,
dalam naungan kasih-Mu yang tiada tara.
Ya Allah, Ya Rabb, Engkaulah penjaga,
dalam rahmat-Mu, kami berserah sepenuhnya.
Puasa: Meredam Ambisi Tanpa Batas
Di hamparan dunia yang fana,
Manusia berjalan dalam strata,
Berbeda rupa, berbeda tata,
Namun di sisi-Nya, semua rata.
Tak perlu angkuh pada gelar,
Tak perlu takabur pada harta,
Usia menjelang, rupa memudar,
Yang tersisa hanya takwa semata.
Empat puluh, ilmu diuji,
Lima puluh, paras berlari,
Enam puluh, kuasa berganti,
Tujuh puluh, ruang menyepi.
Delapan puluh, selera lesu,
Sembilan puluh, dunia membisu,
Hingga tubuh tak lagi tahu,
Antara tidur dan bangun yang semu.
Lalu untuk apa kesombongan?
Untuk apa ambisi tak bertepi?
Bila akhirnya semua tersamakan,
Dalam liang sunyi, tanpa saksi.
Namun di sana, beda nyata,
Surga bertingkat, neraka pun sama,
Di dunia kita akhirnya setara,
Di akhirat, beda selamanya.
Maka biarkan Ramadhan menuntun hati,
Menjinakkan ego, meredam diri,
Menjadi insan yang lebih berarti,
Mengejar takwa, bukan ilusi.
Nyala di Tengah Gulita
Empat lilin berpendar sendu,
cahayanya redup, hampir kelabu.
Dalam hening, lirih berseru,
mengenang dunia yang tak lagi syahdu.
“Aku adalah Damai,” bisik yang pertama,
“Namun manusia mencabik sukma.”
Perang berkecamuk, dendam membara,
lalu ia padam, luruh tak bersisa.
“Aku adalah Iman,” lirih yang kedua,
“Namun kini hatinya beku membatu.”
Manusia enggan mengenalku semula,
dan angin pun meniupku tanpa ragu.
“Aku adalah Cinta,” ucap yang ketiga,
“Tapi manusia hidup dengan benci.”
Yang mencintai disingkirkan saja,
hingga cahayaku musnah sendiri.
Gelap merayap, sunyi membisu,
tangis seorang anak pun berseru.
“Apa yang terjadi? Aku takut malam,”
“Jangan biarkan gulita mencekam!”
Tapi tiba-tiba, suara menggema,
dari lilin terakhir yang masih menyala.
“Jangan takut, aku HARAPAN!”
“Selama aku ada, nyala tak terpadamkan.”
Dengan tangannya yang mungil dan tulus,
sang anak menyalakan cahaya yang pupus.
Damai berpijar, Iman menyala,
Cinta bersemi dalam jiwa yang hampa.
Karena Harapan tak pernah mati,
ia benderang dalam sanubari.
Sebagaimana janji Ilahi,
rahmat-Nya luas, tak bertepi.
“Dan janganlah berputus asa,”
kata-Nya yang kekal di surga.
Hanya yang kufur hatinya gersang,
hilang harapan, terhimpit malam.
Maka genggamlah nyala di hati,
jadilah cahaya dalam sunyi.
Sebab di tengah gulita yang menanti,
Harapan selalu berseri.