Doa Pagi di Hari Selasa
Ya Allah, kasih-Mu tak bertepi,
Embun-Mu turun di pagi ini.
Selasa menjingga dengan harap berseri,
Kami menengadah, setulus hati.
Limpahkan ilmu yang berdaya guna,
Laksana pelita di lorong dunia.
Berilah rizki, halal dan penuh berkah,
Mengalir tenang, jauh dari resah.
Amalan kami, kecil namun ingin Kau pandang,
Meski tak sempurna, kami mohon terang.
Terimalah ikhlas yang kami rajut,
Dalam sujud sunyi dan kalbu yang larut.
Jadikan pagi ini kunci segala kemudahan,
Pembuka pintu dari segala beban.
Setiap langkah jadi ringan dan terang,
Setiap niat Kau bimbing ke arah yang tenang.
Sembuhkan yang kini Kau uji dengan lara,
Pulihkan tubuh, kuatkan jiwa.
Agar kembali tersenyum seperti mentari,
Menyambut pagi dengan hati berseri.
Saudaraku, selamat menapaki hari,
Semoga sukses setia menemani.
Dalam kerja, cinta, dan bakti,
Terselip doa dari langit yang suci.
Negeri Laknatullah: Elegi Sejuta Dusta
Di negeri sejuta dusta—laknat menari,
Di altar kuasa tempat nurani dikuburi.
Janji diukir dari ludah palsu,
Lidah berduri berselimut restu.
Inilah tanah bernama Republik Tipudaya,
Di mana elang suci menjelma buaya.
Ijazah jadi kertas mainan anak kecil,
Gelarnya tinggi, hatinya kerdil.
UGM: Universitas Gemar Menipu,
Akarnya dalam, tapi buahnya lumpur.
NKRI: Negara Kedustaan Republik Indongonesia,
Benderanya merah, tapi hati tak punya.
Para pemimpin, peluk tipudaya,
Bersama para elit, teguk air dusta.
Mereka bukan penjaga negeri,
Tapi peracik racun dalam cawan negeri.
Mereka ludahi hukum,
Di altar suap mereka bersujud.
Keadilan digadaikan di pasar jabatan,
Dan amanah digilas roda kekuasaan.
Yang jujur disingkirkan—dicap pembangkang,
Yang khianat dielu-elukan—duduk di singgasana terang.
Ulama su’ berseru ayat palsu,
Buzzerp munafik menggonggong sembilu.
“Ruwaibidlah!” teriak langit menghitam,
Bodoh-bodoh berbicara, cendekia membisu dalam diam.
Yang amanah dibungkam,
Yang durhaka diarak ke mimbar haram.
Firman Tuhan ditikam licik,
Sunnah Rasul ditukar topik.
Laknat turun deras bagai hujan kemarahan,
Namun mereka masih bersorak dalam kepalsuan.
Tapi tunggu, wahai para penebar nestapa,
Langit mencatat, bumi bersaksi tiap cela.
Hari pengadilan, tak bisa dibeli,
Dan telaga Nabi, tak akan menerimamu lagi.
Karena kami tahu,
Pendusta tetap pendusta meski berseragam wibawa.
Dan pengkhianat tetap hina,
Walau ditaburi medali dan puja.
Wahai negeri, bangkitlah dari ilusi,
Ludahi wajahmu sendiri di cermin konspirasi.
Agar tahu,
Siapa sebenarnya musuh sejati:
Bukan mereka yang lantang berseru kebenaran,
Tapi kalian—para pemuja kedustaan.
Taat dalam Ma’ruf
Tak ada tunduk di jalan kelam,
Tak ada patuh di lembah haram.
Taat itu cahaya, bukan remang,
Hanya berpijar dalam yang ma’ruf terang.
Cinta pada manusia, betapapun tinggi,
Tak boleh langkahi cinta pada Ilahi.
Karena iman sejati terpatri rapi,
Saat Rasul lebih dicinta dari anak dan ayah sendiri.
Lidah manusia bisa merayu,
Bisa juga menjerumuskan dalam nafsu.
Namun hati mukmin takkan berpaling,
Jika yang diperintah mencederai Tauhid nan hening.
Duhai saudaraku, jangan keliru,
Ketaatan tak mutlak pada yang fana itu.
Jika maksiat dibalut titah,
Maka wajib engkau lawan dengan istiqamah.
Tiga hal lezatnya iman bersemi:
Cinta karena Allah yang suci,
Taat pada Rabb dan Rasul sepenuh jiwa,
Dan rela terbakar asal tak kembali kufur dusta.
Apakah pilihanmu kala diuji?
Ridha Allah, atau manusia yang tak abadi?
Ingatlah sabda yang tajam mengurai,
Siapa cari Allah, manusia akan damai.
Tapi bila kau kejar wajah dunia,
Allah murka, manusia pun menghina.
Karena hakikat ridha bukan di bibir ramai,
Namun pada Dzat yang Maha Menatap dan Menilai.
Maka ikatlah hatimu pada syariat,
Jangan biarkan hawa jadi tuan yang jahat.
Taatlah hanya dalam ma’ruf yang mulia,
Dalam naungan Al-Haq, bukan fatamorgana dunia.
Taat itu bukan sekadar menurut,
Tapi memilih lurus di jalan yang turut.
Tak semua perintah layak ditaati,
Jika bertentang dengan cahaya Ilahi.
Maka, wahai jiwa yang mencari ridha,
Tegakkan cinta di atas ketakwaan nyata.
Tinggalkan semua yang membawa murka,
Dan jadilah hamba, bukan budak sesama.
Istighfar Ibrahim: Lantunan Cahaya Abadi
Di ujung malam yang sunyi tak bersuara,
Terdengar doa dari hati yang bercahaya.
“Izinkan hamba bersimpuh penuh harap,”
Rintih Ibrahim di langit yang gelap.
Bukan untuk diri semata ia memohon,
Namun untuk ayah, ibu—cinta yang tak lekang zaman.
Juga bagi setiap jiwa mukmin yang setia,
Pada hari hisab, saat sunyi bicara.
Rabbanagh-firlii… lirihnya mengalun,
Laksana angin lembut menyejukkan daun.
Dari lisan kekasih Tuhan mengalir doa,
Yang malaikat pun turut mengaminkannya.
Lihatlah langit, ia meneteskan berkah,
Hujan yang turun membawa harap dan resah.
Doa ini bukan sekadar permohonan,
Ia jembatan rahmat dan keampunan.
Istighfar yang menghidupkan ruh dan rasa,
Membasuh noda, mengangkat derita.
Satu bacaan, miliaran pahala membuncah,
Karena tiap mukmin turut disertakan di dalamnya, tak salah.
Ia bak mata air di tengah padang gersang,
Menyegarkan jiwa, menguatkan langkah yang bimbang.
Dalam istighfar itu terkandung kekuatan,
Yang menumbuhkan iman dan menyingkirkan beban.
Beristighfarlah, dan rezeki akan diluaskan,
Langit pun terbuka, bumi pun dilapangkan.
Anak, harta, sungai, dan taman nan rimbun,
Datang dari pengakuan bahwa diri ini rapuh dan penuh kekurangan.
O manusia, jangan remehkan doa kekasih,
Dalam diamnya, semesta pun bersaksi.
Karena siapa yang memohon ampun untuk saudaranya,
Malaikat mengucap: “Aamiin”—balasan yang sama disematkan padanya.
Ya Allah, jadikan lidah kami basah dengan istighfar,
Sebagaimana Ibrahim mengungkap cinta yang besar.
Ampunilah kami, orang tua kami, dan saudara seiman,
Dalam pelukan-Mu yang luas tak terperikan