Doa di Pagi Sabtu
Ya Allah, di fajar yang suci,
Kami bersimpuh, memohon kasih-Mu abadi.
Ampuni dosa, luruhkan lara,
Bagi kami, orang tua, dan saudara sebangsa.
Berilah umur yang bermanfaat,
Langkah yang selamat, jiwa yang sehat.
Tuntunlah kami di jalan cahaya,
Yang Engkau ridhoi, yang Engkau jaga.
Jadikan kami insan bersyukur,
Pada nikmat yang tak terukur.
Karuniakan dunia penuh berkah,
Dan akhirat yang indah, penuh anugerah.
Lindungi kami dari murka-Mu,
Dari api neraka yang pilu.
Rahmat-Mu, Ya Allah, pelita jiwa,
Hingga akhir zaman, tetap menyala.
Tangga-Tangga Menuju-Nya
Di persimpangan dunia yang fana,
Hati bertanya, ke mana arah sejati?
Dalam gemuruh hasrat dan nestapa,
Terhampar jalan menuju Ilahi.
Langkah pertama, laku ibadah,
Puasa, shalat, jihad, dan tilawah.
Menukar dunia dengan surga-Nya,
Meniti amal menuju cahaya.
Langkah kedua, perjuangan batin,
Menjernihkan hati, menyucikan jiwa.
Memadamkan bara hasrat dunia,
Hingga yang tersisa hanyalah cinta.
Langkah ketiga, terbang ke langit,
Berserah diri tanpa syarat.
Tak butuh dunia, tak harap surga,
Hanya ridha-Nya yang jadi cita.
Saudaraku, di manakah engkau berdiri?
Di tangga mana kakimu berpijak?
Lanjutkan langkah, jangan berhenti,
Hingga kelak di hadapan-Nya kita terjejak.
Bayang-Bayang Kebenaran
Gelap dan terang,
nyata dan sembunyi,
tak jelas lagi batasnya,
hakikat samar di balik cahaya semu.
Segenggam ibadah dipamerkan,
sekarung maksiat disembunyikan,
di panggung dunia yang gemerlap,
di mana dusta berdansa dengan pujian.
Berlenggang demi tepuk tangan,
sujud hanya demi sorotan,
pertanda ketenaran dan kekayaan
telah jadi nilai kebenaran?
Atau pertanda akhir zaman?
Lidah berfatwa, hati mengingkari,
tangan menolong, niat meracuni,
ke mana perginya keikhlasan?
Ataukah kini ia sekadar ilusi?
Di antara bayang-bayang kebenaran,
masihkah ada yang mencari cahaya sejati?
Atau semua telah tenggelam
dalam gelombang kepalsuan abadi?
Pujian yang Luruh di Ujung Lidah
Seharusnya,
kita sibuk memuji kebesaran-Nya,
menyusun kata-kata yang merunduk dalam sujud,
mengisi hari dengan dzikir yang melembutkan hati,
sebab Dialah yang menghamparkan langit,
menumbuhkan benih, mengalirkan sungai,
membolak-balikkan nasib tanpa cela.
Tetapi lihatlah kita,
sibuk menata kata agar terdengar bijak,
bukan untuk mengagungkan-Nya,
melainkan untuk tepuk tangan manusia.
Kita berlelah-lelah merangkai pencapaian,
menggapai validasi dari mata-mata yang tak peduli,
menjadi tawanan dalam penjara pengakuan,
terjebak dalam bayang-bayang eksistensi semu.
Semestinya,
kita mengarahkan waktu untuk-Nya,
sebab pujian kita tak menambah kemuliaan-Nya,
dan keengganan kita tak mengurangi keagungan-Nya.
Namun justru kita menghabiskan usia
membuktikan sesuatu kepada yang fana,
menakar harga diri dengan jumlah sorotan,
menghitung kebahagiaan dari angka-angka digital,
seakan nilai seorang hamba ditentukan oleh manusia,
bukan oleh Tuhan yang menciptakan.
Kita berdiri di tengah panggung dunia,
memainkan peran dengan wajah yang dipoles,
tertawa agar dianggap bahagia,
menangis agar dikasihani,
mengabarkan keberhasilan,
menyembunyikan luka,
seakan yang melihat bisa memberi keselamatan,
seakan yang memuji bisa menjamin surga.
Padahal,
di saat semua mata berpaling,
di saat tepuk tangan mereda,
di saat suara riuh berubah sunyi,
siapa yang masih peduli?
Apakah dunia yang kita puja akan datang menghibur?
Apakah pengakuan itu bisa menyelamatkan kita
dari kesepian liang yang gelap?
Seharusnya,
kita sibuk memuji-Nya,
bukan memuji diri sendiri di hadapan manusia.
Sebab yang sejati tak butuh sorotan,
yang hakiki tak haus pengakuan.
Tapi kita,
terperangkap dalam ilusi,
mencari kebahagiaan di mata yang salah,
dan melupakan cahaya yang seharusnya kita kejar.