Doa di Pagi Kamis
Alhamdulillah, embun pun mengucap syukur,
mentari menyibak kabut dengan cahaya luhur.
Di pagi Kamis yang teduh bersahaja,
terbit harap dalam tiap jiwa yang berdoa.
Ya Rabb, yang menggenggam detik dan usia,
panjangkan nafas kami dengan barokah-Nya.
Limpahkan sehat seperti mata air jernih,
rahmat-Mu mengalir, tak pernah letih.
Bimbing kami di jalan yang Kau ridai,
di sela hiruk dunia, jangan biar hati lalai.
Untuk yang sakit, sembuhkanlah raganya,
dengan cinta-Mu yang tak bertepi adanya.
Ijabahi bisik doa dari langit hingga bumi,
taufik dan hidayah-Mu kami cari dan peluk rapi.
Lindungi kami dari mara yang tak kasat,
naungi langkah ini dalam cahaya yang kuat.
Pagi Kamis, semangat pun merekah,
sejahtera dan bahagia menjadi amanah.
Mari beraktivitas dengan hati membaja,
di bawah payung kasih-Nya yang senantiasa ada.
Melodi Nama-Nya
Dalam sunyi ruang kuliah yang tenang,
Seorang gadis dari negeri seberang,
Helen namanya, bukan dari tanah Arab,
Namun bibirnya tak gentar menyerap.
Profesor bertanya, lirih suaranya,
“Siapa yang tahu makna Nama-Nya?”
Semua terdiam, gugup menahan kata,
Hanya dia, si asing, yang angkat suara.
Katanya:
“الله, nama yang tiada banding,
Melodi yang lahir dari relung hening.
Tak perlu bibir, tak perlu gerak,
Cukup hati, cukup nyawa yang sesak.”
“Lihatlah,
Tak satu pun titik menghiasi hurufnya,
Namun maknanya mengguncang samudera.
Dari tenggorokan ia mengalun lembut,
Tak terlihat, namun kuatnya menyentuh kalbu yang remuk.”
Alif dibuang, tetap Lillah – milik-Nya semesta.
Lam pertama tiada, menjadi Ilah – Tuhan yang Esa.
Hilang dua Lam, tinggal Lahu – segalanya kembali pada-Nya.
Tersisa Hu – Dia yang Maha Ada.
Keindahan itu tak lahir dari darah Arab,
Tapi dari jiwa yang tulus menatap,
Seorang Kristen yang kini Abida,
Wanita yang hatinya telah terpaut cinta.
“Huruf-huruf itu ringan diseru,
Tanpa gigi, tanpa bibir yang perlu.
Supaya di ambang ajal pun insan mampu,
Mengucap La ilaha illa Hu…”
Wahai kita yang lahir dari rumpun iman,
Mengapa diam ketika cahaya datang?
Mengapa suara kita sepi dalam riuh dunia,
Padahal satu ayat bisa menuntun jiwa?
Sampaikanlah—walau satu firman,
Jangan hanya bagikan yang fana dan ringan.
Sebab kelak jari-jemari menjadi saksi,
Apakah ia menulis kebaikan atau hanya sunyi.
Tiada Tuhan selain Allah,
Muhammad adalah Rasulullah.
Bukan hanya ucapan, tapi nyala yang tak lelah.
Sebarkan, wahai penulis tak bernama,
Agar namamu dikenal di langit sana.
Apa yang Kita Tabur, Itulah yang Kita Tuai
Saudaraku, di tanah yang sunyi dan fana,
Langkahmu dicatat, diam pun berbicara.
Tak hanya amal, tapi bayangnya pun tertulis,
Jejakmu tak sirna, meski senyap dan tipis.
Allah Yang Hidup, Yang Maha Mengetahui,
Menghidupkan yang mati, mencatat yang tersembunyi.
Apa yang kau beri—baik atau cela,
Akan kembali padamu, menampar atau membela.
Taburlah kebaikan di ladang yang sepi,
Meski tak terlihat, ia tumbuh dalam sunyi.
Kelak ia mekar jadi pohon pahala,
Dengan daun doa dari lidah yang rela.
Tapi jika yang kau tebar adalah bara,
Fitnah dan dengki, cela dan nista,
Ketahuilah, angin akan kembali,
Membakar hati dan memamah diri.
Jangan karena amanah engkau lalai,
Memimpin tapi menindas, membuat rakyat merintih dan pilu,
Dosa itu bukan sekadar satu,
Tapi rangkaian luka yang terus memburu.
Saudaraku,
Jangan meremehkan wajah yang lusuh,
Bisa jadi ia lebih mulia di sisi Yang Maha Kudus.
Allah meninggikan bukan karena rupa,
Tapi ilmu dan takwa yang memahat jiwa.
Jangan tertawa di atas kehinaan,
Sebab bisa jadi tertawamu adalah cermin kealpaan.
Jangan hinakan, jangan congkak,
Karena sombong adalah saat kebenaran ditolak dan manusia dianggap remeh belaka.
Langit tak selalu biru bersinar,
Bunga tak selalu mekar dalam kelopak sabar.
Namun badai membawa pelangi di akhir,
Air mata menyulam senyum yang mengalir.
Hidup ini hanyalah persinggahan,
Bukan tujuan, bukan penghabisan.
Apa pun yang kita semai di ladang dunia,
Akan kita tuai di ladang akhirat sana.
Maka taburlah ilmu, taburlah kasih,
Bukan caci maki yang menyulut pedih.
Agar kelak kita menua dengan tenang,
Saat dipanggil pulang dengan nama dikenang.
Ya Allah, tuntunlah kami tetap istiqamah,
Menebar kebaikan, menjauhi fitnah.
Agar hidup ini menjadi jejak cahaya,
Menuju ridha-Mu, menuju surga yang kekal selamanya.
Mahallul Khoto wa Nisyan: Tempat Salah dan Lupa
Bismillah kulafazkan di hening awal,
Saat jiwa rapuh mendamba bekal.
Manusia, makhluk paling sempurna rupa,
Namun sarangnya salah dan lupa.
Terukir di langit hikmah nan nyata,
“Al-Insanu Mahallul Khoto wa Nisyan” maknanya.
Tak satu pun insan di bumi terbuka,
Yang tak pernah tersandung dosa.
Bukan dosa yang meruntuhkan harkat,
Tapi hati yang enggan bertaubat.
Bukan luka yang membuat hina,
Namun sombong yang menolak air mata.
Rasul berkata, lembut namun tegas:
“Yang terbaik dari pendosa ialah yang ikhlas.
Yang mengaku salah, lalu berbenah,
Bukan yang kembali dalam gelisah.”
Allah mencinta mereka yang kembali,
Yang menyucikan diri dari debu duniawi.
Yang menjadikan air mata sebagai penghapus,
Dan sesal sebagai lentera yang terus menyulut.
Celaka itu bukan pada jatuh,
Tapi pada tawa di atas dosa yang utuh.
Pada ingkar terhadap larangan Rabbul Izzah,
Dan lupa bahwa rahmat-Nya pun punya marah.
Empat tanda kecelakaan di hati:
Melupakan dosa yang masih abadi,
Membanggakan amal dalam sunyi,
Membanding dunia yang semu dan tinggi,
Dan menengok rendah pada akhirat yang suci.
Dosa takkan musnah hanya dengan diam,
Ia perlu terbakar oleh tobat yang dalam.
Entah oleh getir penyesalan kini,
Atau bara api di yaumil hisabi.
Lebih mulia tangis atas maksiat,
Daripada bangga atas ibadah yang disemat.
Karena Tuhan tak melihat hebatnya amal,
Tapi hati yang tunduk, rendah, dan kekal.