Malam Pertama di Rumah Sunyi
(Renungan Barzakh)
Malam itu tak bersahabat,
Tak ada peluk, tak ada hangat,
Sunyi menikam tanpa suara,
Hanya tanah yang menatap hampa.
Di situlah aku terbaring bisu,
Dipisah dari dunia yang semu,
Tak lagi kudengar tawa si buah hati,
Tak kurasa lagi sentuhan istri.
Tiada lagi ranjang empuk dan bantal,
Kini kafan membalut tanpa sambal,
Rumahku sempit, sunyi, dan gelap,
Tak ada AC, tak ada pelita menyala serap.
Hanya amal, jika ada, yang duduk setia,
Menemaniku dalam gulita yang tak terhingga,
Dan jika tiada, maka hampa menyapa,
Sunyi bergema dalam bahasa neraka.
Kubur pun bersuara lirih,
“Aku rumah dari tanah yang bersih,
Aku tempat sepi tanpa pelipur,
Aku hunian para tubuh yang lebur.”
Sungguh, inilah malam pertama,
Ketika gelar gugur bersama dosa,
Ketika istana menjadi remah,
Dan ketenaran tak punya arah.
Anak kita menangis jadi yatim,
Pasangan menjadi janda atau duda terintim,
Namun tangisan tak menjangkau liang ini,
Tak bisa kupeluk, tak bisa kuberi arti.
Baru semalam aku tertawa di meja makan,
Kini aku santapan cacing tanpa perlawanan,
Apa arti harta dan followers sosial?
Jika tak satu pun jadi bekal yang kekal.
Rasul bersabda dalam kisahnya yang bijak:
“Aku rumah kesendirian, aku rumah belatung,
Aku rumah dari tanah, aku rumah kehampaan,”
Dan kita pun tak bisa lagi berdalih atau berujar.
Al-Qur’an telah menulis nasib kita:
Tiap jiwa pasti akan mencicipi mautnya,
Lalu kembali kepada-Nya,
Bersama catatan amal dan luka.
Oh, betapa kita sering lalai dan terlupa,
Ditipu dunia yang gemerlap menggoda,
Menunda tobat, menunda sedekah,
Menunda sujud di sepertiga malam yang berkah.
Maka malam itu bukan sekadar malam,
Ia gema dari kehidupan yang kelam,
Jika amal kosong, hisab pun mencengkam,
Dan penyesalan menjadi diam yang terpendam.
Wahai diri, siapkan malam yang pasti,
Genggam istighfar, tebarkan sedekah,
Pelihara salat, jagalah lisan,
Sebab semua itu akan datang menghibur badan.
Ya Allah, jadikan akhir kami penuh cahaya,
Kubur kami taman dari surga-Mu semesta,
Bukan lubang dari neraka yang membara,
Dan wafatkan kami dalam husnul khātimah yang nyata.
Kelalaian yang Mengubur Peluang
Di hamparan rahmat yang Maha Lembut terbentang,
Peluang emas bersinar terang.
Namun manusia, terlampau sering,
Tertunduk dalam lengah yang menggiring.
Ramadan datang bagai kafilah cahaya,
Membawa ampunan dalam tiap langkahnya.
Namun berapa jiwa yang tertidur,
Lupa berjaga, lupa bersyukur?
Adakah hati yang bergetar kala nama Nabi disebut?
Ataukah lidah terkatup rapat, cinta pun tak terucut?
Padahal selawat itu ringan dan suci,
Cermin adab, cinta, dan bukti bakti.
Betapa ruginya yang lalai berselawat,
Sementara malaikat tak pernah berhenti menyelamat.
Dan Allah berselawat atas Nabi-Nya,
Tapi manusia… malah membisu di antara doa.
Orang tua—dua mercusuar di ufuk senja,
Langkah mereka gemetar, namun penuh makna.
Surga terdekat ada di pangkuan mereka,
Namun anak lalai, menunda bakti hingga nestapa.
Tiga golongan, kata Nabi, terhina nyata:
Yang diam saat namanya disebutkan mesra,
Yang lalai di Ramadan hingga tak terampuni dosa,
Dan yang abai merawat orang tua senja.
Waktu bukan sungai yang mengalir kembali,
Ia mengalir satu arah—penuh misteri.
Orang-orang mulia tak datang dua kali,
Dan pintu-pintu langit tak selamanya berseri.
Lalai itu racun berselimut manis,
Menunda itu bisikan setan yang halus dan tipis.
Satu detik terlewat, bisa jadi hilang selamanya,
Satu kesempatan gugur, bisa jadi tiada gantinya.
Maka jangan tunda selawat yang mulia,
Ucapkan ia meski hati belum sempurna.
Peluk Ramadan dengan jiwa yang terbuka,
Dan genggam tangan orang tua dengan cinta yang nyata.
Karena hidup tak selalu memberi aba-aba,
Dan surga tak menunggu mereka yang suka menunda.
Berhenti lalai sebelum semuanya sirna,
Sebelum penyesalan jadi satu-satunya cerita.
Temanmu Cermin Tak Tertutup Debu
Berhati-hatilah, wahai jiwa yang mengembara,
Temanmu cermin—tanpa kata ia bicara.
Ia adalah jalan yang kau titih diam-diam,
Tanpa sadar, langkahmu menjiplak jejaknya dalam.
Jika engkau duduk di taman cahaya,
Maka bunga hidayah akan semerbak membunga.
Namun bila engkau bernaung di bawah langit kelam,
Gelapnya keliru bisa menjadi lentera yang kau genggam.
Temanmu adalah lentur akhlakmu,
Ia adalah air di cangkir hatimu.
Bila ia jernih, jiwamu pun bening,
Namun bila keruh, sucimu pun merintih, teriris dan hening.
Jangan bela hanya karena satu darah,
Jika ia salah, jangan kau pasang panah marah.
Sebab ‘ashabiyyah adalah tirani berjubah cinta,
Yang membungkus zalim dalam pakaian saudara.
Rasul telah bersabda, tegas tak bersayap,
Bukan golongan kami, yang membela salah tanpa sebab.
Yang mati karena fanatisme buta,
Bukanlah bagian dari cahaya umat-Nya.
Saudaraku,
Kebenaran tak tumbuh dari loyalitas semu,
Ia mekar dari hujan wahyu dan tanah ilmu.
Maka pilihlah taman yang Rabbmu titipkan,
Majelis ilmu—itulah surga sebelum kematian.
Bersama mereka yang mencintai kebenaran,
Bukan mereka yang menggenggam kebatilan.
Karena iman tak lahir dari sorak dan suara,
Ia tumbuh dari terang petunjuk yang tak pernah padam cahaya.
Jangan genggam bara, jika engkau tahu itu salah,
Jangan sebar dukung, jika itu menjerumuskan ke arah musnah.
Karena Allah melihat bukan siapa yang kau bela,
Tapi apa yang kau bela, dan mengapa kau memilihnya.