Selasa, April 15, 2025
No menu items!

Puisi: Perisai yang Hilang, Darah yang Mengalir

Must Read

DI langit Gaza, azan pun bergetar,

dibalut dentuman, duka yang membakar.

Ramadhan pun tak lagi bersinar,

karena darah suci menggenang di altar.

Reruntuhan adalah sajadah mereka,

doa dipanjat dalam kelam luka.

Jasad para syuhada berserak di jalan,

sementara dunia membisu, seolah tak kekenyangan.

Tak cukup tangis, tak cukup duka,

tak cukup doa dari mimbar yang hampa.

Karena derita tak selesai oleh ratapan,

tetapi oleh jihad—oleh gerakan.

Wahai umat yang mengaku bersaudara,

di mana tanganmu saat Gaza membara?

Adakah imanmu hanya di bibir,

sementara tubuh saudaramu hancur di pasir?

Zionis menggenggam rudal dan bara,

sedang kaum Muslim berpangku dada.

Penguasa diam, tak satu pun bersuara,

tak satu pun menggerakkan bala.

Padahal firman-Nya bukan seruan sunyi:

“Perangilah mereka di mana kau temui.”

“Usirlah mereka dari bumi suci,”

“Karena mereka pun mengusirmu lebih dini.”

Oh, di manakah perisai umat kini?

Khilafah—sang perisai nan sejati.

Tanpa dia, kita ibarat domba,

yang dikepung serigala, tanpa gembala.

Dunia pun menjadi panggung ngeri,

di mana darah mukmin lebih ringan dari bumi.

Dan janji-janji pemimpin tak lebih dari puisi,

berbunga kata tapi berduri aksi.

Wahai hati yang masih mengaku bertauhid,

lihat Gaza dengan mata yang bersih.

Bukan waktu lagi untuk menyulam mimpi,

tapi bangkit menegakkan syariat yang asli.

Jihad bukanlah amarah buta,

tetapi kewajiban kala saudara dizalimi nyata.

Dan Khilafah bukan sekadar cerita lama,

tapi tameng, cahaya, dan pelita umat mulia.

Bangkitlah, wahai umat Muhammad!

Dengan iman yang tegak, tak mudah disesat.

Karena tangisan Gaza adalah panggilan,

bagi hati yang masih punya keimanan.

Menggali Potensi Wakaf Uang untuk Mewujudkan Keadilan Sosial

Oleh Achmad Fauzi | Anggota BWI DKI Jakarta, Anggota LPCRPM PP Muhammadiyah WAKAF merupakan salah satu bentuk ibadah yang tidak...
spot_img

More Articles Like This