Doa di Pagi Sabtu
Ya Allah, di pagi yang damai ini,
Ampunilah dosa yang membebani.
Dosa kami, ayah dan ibu,
Serta saudara yang setia bersatu.
Karuniakan umur yang penuh makna,
Sehat, selamat dalam cahaya.
Tunjukkan jalan yang lurus terang,
Jalan yang Engkau ridhai, tenang.
Jadikan syukur menghias hati,
Atas nikmat-Mu yang tiada henti.
Beri kami kebaikan dunia,
Dan akhirat nan penuh bahagia.
Jauhkan kami dari siksa neraka,
Lindungi kami dalam rahmat-Mu yang nyata.
Ya Allah, kabulkanlah doa ini,
Hamba bersimpuh, memohon nur Ilahi.
Cinta yang Buta, Benci yang Membara
Cinta yang buta menutup mata,
Salah pun tampak indah belaka.
Benci yang membara menghanguskan nur,
Benar pun terasa kabur dan kabur.
Di balik fanatik yang menggema,
Kebenaran sering tiada makna.
Membela kelompok mati-matian,
Tanpa peduli nalar dan keadilan.
Namun sang kebencian lebih dahsyat,
Ia merobek kasih tanpa rahmat.
Lihatlah ia mencerca, mencela,
Walau yang dihina berbuat mulia.
Rasul telah mengajarkan,
Nasihat dan adil jadi pegangan.
Jangan terburu menghakimi,
Sebelum nurani jernih menyelami.
Di depan penguasa zalim berdirilah tegak,
Dengan kata yang adil tanpa goyah,
Jika mereka tetap di jalan gelap,
Jangan dekat, jangan menyerap.
Hidup bukan sekadar membenarkan,
Bukan pula membenci membabi buta.
Tegakkan kebenaran tanpa tendensi,
Amar ma’ruf, nahi mungkar tak boleh mati.
Semoga cahaya Allah menyinari,
Agar hati tak tersesat sendiri.
Antara cinta dan benci yang berlebih,
Di tengah lurus kita berdiri.
Sandiwara di Atas Laut
Di atas gelombang yang berkisah pilu,
terpasang pagar membelah biru,
bukan nelayan yang menebar jala,
tapi kuasa yang menabur dusta.
Langkah hukum berlagu sumbang,
panggung sandiwara sudah ditentang,
Kejaksaan mundur, dalih berputar,
Bareskrim berkata: tak ada korupsi di sini, saudara.
Tangan besi menekan pena,
menulis naskah dengan penuh cela,
Arsin dijadikan kambing hitam,
sementara naga rakus bermahkotakan diam.
Laut yang dulu tempat berkah,
kini berubah jadi kertas sertifikat,
atas nama segelintir penguasa,
yang mengemas rampasan jadi kata.
Pagar laut katanya telah roboh,
tapi nyatanya masih tegak kokoh,
kebohongan berdiri setinggi tiang,
dengan saksi nelayan yang tak bisa ditikam.
Tak ada hubungan, mereka bersumpah,
meski sertifikat bersuara gamblang,
merekalah tuan atas tanah yang tenggelam,
milik rakyat yang dipaksa padam.
Jika hukum tunduk pada pemodal,
dan negara hanyalah wayang tanpa akal,
maka keadilan bukan lagi harapan,
hanya dongeng di balik jeruji ketamakan.
Namun ingatlah, laut takkan diam,
ombaknya menulis kebenaran di malam kelam,
dan sejarah tak lupa mencatat nama,
siapa pemangsa, siapa yang terluka.
Jalan yang Berliku
Di jalan lurus, langkah terayun,
dengan iman, hati terpaut,
namun angin goda terus berembun,
menguji jiwa, menusuk kalut.
Pernah sujud dalam khusyuk nan dalam,
air mata jatuh di sajadah malam,
namun dunia berbisik merayu kelam,
menggoda hati yang dulu tentram.
Lupa berdoa, lalai memohon,
hati bergetar, perlahan goyah,
maka nafsu pun datang menohon,
menghancurkan benteng yang dulu megah.
Lingkungan pekat, sahabat menjauh,
iman menipis bagai kabut,
hawa dunia merayap, merayuh,
membawa hati ke batas surut.
Dosa kecil tak lagi terasa,
menghujam jiwa, menumpuk noda,
hingga cahaya pun mulai sirna,
kembali gelap tanpa cahaya.
Wahai diri, sadarlah kini,
jalan ke surga tak selalu pasti,
berdoalah agar hati berseri,
teguhlah hingga ajal menjemput pergi.
Ya Muqallibal Qulub, kuatkan hati,
di atas agama-Mu kami berdiri,
jangan biarkan kami tersesat lagi,
hingga husnul khatimah jadi janji.