Selasa, Maret 4, 2025
No menu items!

Raden Ayu Tan Peng Nio: Pejuang Perempuan yang Menentang Takdir dan Penjajahan

Must Read

JAKARTAMU.COM | Di tengah gejolak abad ke-18, ketika Nusantara menjadi medan perebutan kekuasaan antara kerajaan-kerajaan lokal dan kolonialisme Eropa, lahirlah seorang perempuan tangguh yang kelak dikenal sebagai “Mulan van Jawa”—Raden Ayu Tan Peng Nio. Sebagai perempuan keturunan Tionghoa, ia tidak hanya menjadi saksi, tetapi juga pelaku sejarah dalam Perang Geger Pacinan (1740–1757), pemberontakan besar etnis Tionghoa terhadap kekuasaan VOC Belanda.

Tan Peng Nio adalah putri dari Tan Wan Swee, seorang jenderal yang memberontak melawan Kaisar Qian Long dari Dinasti Qing. Setelah kekalahan pemberontakan, Tan Wan Swee harus mengambil keputusan berat: menyelamatkan putrinya dengan menitipkannya kepada seorang sahabat, Lia Beeng Goe, seorang ahli pembuat peti mati yang juga memiliki keahlian bela diri. Inilah awal perjalanan Tan Peng Nio yang kelak membawanya menjadi pendekar dan pejuang di tanah Jawa.

Dari Pengasingan ke Medan Perang

Bersama Lia Beeng Goe, Tan Peng Nio melarikan diri ke Singapura, lalu berlayar menuju Sunda Kalapa (sekarang Jakarta) untuk menghindari pengejaran pihak berwenang dari Dinasti Qing. Namun, situasi di Batavia pun tidak bersahabat bagi etnis Tionghoa. Pada tahun 1740, terjadi peristiwa berdarah yang dikenal sebagai Geger Pacinan, di mana ribuan warga Tionghoa menjadi korban pembantaian oleh VOC.

Dalam situasi genting itu, Tan Peng Nio dan Lia Beeng Goe melarikan diri ke Kutowinangun, Kebumen, Jawa Tengah. Di tempat ini, mereka bertemu dengan Kiai Honggoyudho, seorang ahli pembuat senjata. Dari perkenalan ini, Tan Peng Nio mulai mendalami ilmu pedang dan strategi perang, serta menjalin hubungan dengan pasukan KRAT Kolopaking II, kelompok elite yang berperan dalam perlawanan terhadap penjajahan Belanda.

Saat Perang Geger Pacinan mencapai puncaknya, Tan Peng Nio memutuskan untuk terlibat dalam pertempuran. Ia bergabung dengan pasukan Pangeran Garendi, sosok yang dianggap sebagai pemimpin utama pemberontakan etnis Tionghoa. Demi bisa bertempur tanpa terdeteksi sebagai perempuan, Tan Peng Nio menyamar sebagai prajurit laki-laki dan bertempur di garis depan bersama lebih dari 200 pasukan KRAT Kolopaking II.

Perjuangannya berlangsung selama 16 tahun (1741–1757), menghadapi pertempuran demi pertempuran melawan VOC. Namun, harapan akan kemenangan akhirnya memudar setelah Perjanjian Giyanti 1755, yang membagi Kesultanan Mataram menjadi dua bagian: Yogyakarta dan Surakarta. Kesepakatan ini sekaligus menandai melemahnya perlawanan terhadap Belanda.

Cinta dan Kehidupan Pascaperang

Setelah perang mereda, Tan Peng Nio memilih menetap di Kutowinangun. Di sana, ia menikah dengan KRT Kolopaking III (Kertowongso Sulaiman), salah satu pemimpin militer yang turut berperan dalam perlawanan terhadap VOC. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai dua anak:

R. Endang Kertowongso (Kolopaking IV)

RA Mulatningrum

Meski peperangan telah usai, semangat perjuangan Tan Peng Nio tetap dikenang di tanah Kebumen. Hingga akhir hayatnya, ia menjadi simbol keberanian perempuan di masa penjajahan. Ia wafat di Kebumen, Jawa Tengah, dan dimakamkan dengan penghormatan di Desa Jatimulyo, Kecamatan Alian, Kabupaten Kebumen.

Makamnya yang bergaya arsitektur Tionghoa menjadi saksi bisu perjalanan seorang perempuan pejuang, seorang pendekar, dan seorang ibu yang meninggalkan warisan keberanian bagi generasi setelahnya.

Warisan Keberanian Seorang Pejuang

Kisah Raden Ayu Tan Peng Nio adalah bukti bahwa perempuan memiliki peran besar dalam perjuangan melawan penjajahan. Ia tidak hanya menentang takdir sebagai perempuan yang seharusnya tunduk pada norma sosial zamannya, tetapi juga berani mengangkat senjata untuk memperjuangkan kebebasan.

Hari ini, namanya mungkin tidak setenar tokoh-tokoh pahlawan nasional lainnya, tetapi jejak perjuangannya tetap hidup dalam sejarah lokal dan menjadi inspirasi bagi generasi penerus. Tan Peng Nio adalah contoh nyata bahwa keberanian dan kegigihan tidak mengenal batas gender atau keturunan. Ia adalah simbol perlawanan, ketangguhan, dan pengorbanan yang layak dikenang sepanjang masa. (Dwi Taufan Hidayat)

Resensi Buku: Muhammad Sang Teladan Dunia Karya Dr Raghib As-Sirjani

Spesifikasi Buku Judul: Muhammad Sang Teladan DuniaPenulis: Dr. Raghib As-SirjaniPenerbit: Insan KamilKategori: Buku Sirah NabawiyahJenis Cover: Hard CoverJenis Isi: HVSBahasa:...

More Articles Like This