JAKARTAMU.COM | Radio tua ini bukan sekadar benda mati, tetapi saksi hidup masa kecil hingga remaja yang penuh kenangan. Dahulu, setiap malam aku duduk di dekatnya, menanti dengan penuh antusias suara khas dari sandiwara radio yang begitu fenomenal: Saur Sepuh. Suara Brama Kumbara yang gagah, dialog penuh ketegangan, dan efek suara pedang beradu seakan membawa imajinasiku berkelana ke dunia kerajaan dan pertarungan para pendekar.
Tak hanya Saur Sepuh, radio ini juga menghadirkan dongeng legendaris seperti Sirawing, yang suaranya terasa begitu mistis dan menggugah imajinasi. Di malam-malam tertentu, aku bahkan harus menyelipkan kepala di balik selimut, mendengarkan cerita dengan campuran rasa takut dan penasaran.
Karena listrik belum masuk desa saat itu, satu-satunya cara agar radio tetap menyala adalah dengan baterai besar merek ABC. Setiap kali suara mulai melemah dan berubah menjadi gemeresik, itu pertanda bahwa baterai sudah hampir habis. Tapi kami punya trik tersendiri—baterai dijemur di bawah terik matahari atau dipenyokin sedikit agar bisa digunakan lebih lama. Entah bagaimana, cara itu sering berhasil, meski hanya sementara.
Pernah suatu ketika, suara radio terus berdesis tanpa henti. Dengan modal rasa nekat dan sedikit rasa percaya diri, aku memutuskan untuk membongkarnya sendiri. Aku ingat pernah melihat tukang servis radio di pengkolan, yang sering memutar-mutar komponen dalam radio dengan obeng. Aku meniru mereka. Aku cari bagian yang bisa diputar, lalu kuputar perlahan dengan obeng seadanya. Dan ajaib! Suara gemeresik pun hilang… sayangnya, suara lainnya ikut hilang! Aku panik, takut dimarahi orang rumah. Tapi setelah beberapa kali mencoba, akhirnya suaranya kembali, meskipun tidak sejernih sebelumnya.
Radio tua ini memang sudah tak lagi bersuara, tapi kenangan yang ia bawa masih begitu hidup di ingatanku. Ia adalah bagian dari masa kecilku, teman setia yang menemani banyak malam penuh cerita, dan bukti betapa sederhana namun berkesan hidup di masa lalu. (Dwi Taufan Hidayat)