SEPEKAN ke depan, Pilkada Jakarta akan digelar. Kampanye memuncaki langit Jakarta. Dari kunjungan lapangan, pemasangan baliho dan pasar sembako, pemanfaatan media mainstream sampai hiruk-pikuk media sosial menghangatkannya.
Presentasi hasil survei perolehan suara ketiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, menunjukkan dinamika politik kian kompetitif. Pasangan independen juga menunjukkan kenaikan dukungan suara yang lumayan.
Saling mendahului antara Paslon Ridwan Kamil-Suswono dan Pramono Anung-Rano Karno, semakin menunjukkan variabel yang kompleks dalam proses politik ini. Dukungan baik dari pusat kekuasaan maupun para mantan gubernur DKI Jakarta dapat dirasakan di tengah sorak-sorai massa pendukung masing-masing kubu. Muncul persepsi bahwa Jokowi versus Anies Baswedan kini naik ke panggung pertunjukkan.
Di sudut yang mungkin telah terlupakan, muncul pertanyaan: Relevankah peta ideologis hasil Pemilu 1955 dan Pemilu DPRD Jakarta 1957-1958 pada Pilkada Jakarta 2024 ini? Sejauh ini, diakui atau tidak bahwa kekuatan politik itu tidak monolit. Tampak pada pemilu pertama 1955 (DPR dan Konstituante) diikuti Pemilu DPRD Provinsi 1957-1958, dengan mengabaikan Pemilu masa Orde Baru, kekuatan politik sekuler dan Islam bersaing ketat.
Pada kurun 1999-2024, khususnya di Jakarta, PDIP selalu teratas perolehan suaranya meskipun partai ini adalah representasi kekuatan politik sekuler dan “menolak” Islam Politik. Namun di wilayah legislatif PDIP tidak mampu mendominasi kebijakan politik.
Dalam perebutan kursi gubernur pun, PDIP harus bergantian dengan rivalnya yang menyebar di partai-partai Islam maupun partai berbasis massa muslim, juga partai yang dekat dengan militer.
Baca juga: Dinamika Palagan Politik Pilkada Jakarta
Bahkan Jokowi yang pernah menjadi gubernur DKI kemudian di gantikan oleh Ahok, harus menghadapi perlawanan bertubi-tubi oleh kekuatan politik dengan bendera Islam dari segala penjuru. Dan jatuh pula akhirnya, digantikan oleh Anis Baswedan yang merupakan representasi Islam Politik, dengan bendera PKS, PAN, PPP dan kekuatan Islam tradisional Betawi.
Kekuatan politik Islam di DKI Jakarta baik di atas maupun di bawah tanah, pernah ditampilkan dalam konfigurasi perolehan suara pemilu 1955 (DPR dan Konstituante) dan 1957-1958 (DPRD Jakarta Raya). Lihatlah hasil perolehan suara Islam Politik pada Pemilu 1955. Masyumi (26,1%) plus Partai NU (15,7%) dan PSII (3%). Total: 48,8%. PNI (19,8%), diikuti PKI (12,5%), Baperki (3,5%), Partai Buruh (2,0%), Parkindo (2,3%), IPKI (1,9 %). Total:43,2. Kontestan lain: 8,7 %.
Pada Pemilu DPRD Tingkat I di Jakarta Raya pada 1957-1958, suara PKI naik. Berikut perolehkan kursi lengkapnya. Masyumi (9 kursi ), PNI (8 kursi), PKI (8 kursi), NU (6 kursi), PSII (1 kursi), Partai Buruh (1 kursi), Parkindo (2 kursi) , Baperki (1 kursi).
Di seluruh Pulau Jawa, perolehan kursi DPRD juara pertamanya PKI. Berikut urutannya: PKI 64 kursi, PNI 54 kursi, NU 52 kursi, Masyumi 45 kursi, PSII 7 kursi, Partai Buruh 5 kursi. Secara umum, Jawa Barat (termasuk Banten) milik Masyumi dengan 20 kursi, Jawa Tengah dimenangi PKI dengan 24 kursi.
Di Jawa Timur NU paling tinggi dengan 23 kursi, disusul PKI, PNI, dan Masyumi. PKI memenangkan wilayah eks Karesidenan Madiun, Tuban, Blitar, dan Banyuwangi. Tetapi hanya punya satu kursi DPRD di Madura, yaitu di Kabupaten Sumenep. Sementara di Pamekasan, Sampang, dan Bangkalan nol kursi.
Politik saat itu jauh dari uang dan intimidasi. Pemilu 1955 dan 1957/1958 itu dinilai paling demokratis dalam sepanjang sejarah. Pertanyaannya, masih relevankah angka-angka itu menandai kemenangan kubu dan di wilayah tertentu? Sejauh mana politik uang dan kepentingan pribadi atau institusional serta perubahan sosial bisa mengubah pergerakan suara dukungan?
Sedikit banyak tentu mengalami perubahan. Tetapi perubahan itu agak diragukan dengan contoh kasus DKI dan Jawa Tengah. Misalnya, ketika buldozer politik militer dimainkan pada pemilu 1971, NU tetap bertahan pada angka perolehan nasional sebesar 18 %. PPP bahkan pernah menjadi juara pertama di Aceh dan DKI sekalipun ada gerakan intelijen dan aksi de- Islamisasi.
Baca juga: Selamat Tinggal Kurikulum Merdeka?
Di Jawa Tengah, PNI tetap menjadi kekuatan dominan. PNI yang bermetamorfosis menjadi PDI lalu kini PDIP merepresentasikan kaum nasionalis plus (tidak sreg terhadap Islam politik, kaum non muslim) bangkit kembali sejak 1999 yang lebih bebas. Ia tampil sebagai juara sekalipun pernah paling butut pada 1971-1997.