Selasa, Januari 7, 2025
No menu items!

Reposisi Zakat dan Kekuasaan Islam

Hampir satu abad, Zakat ‘kontemporer’ ini dijalankan, ujungnya ruh Zakat menjadi hilang.

Must Read

Oleh: Irawan Santoso Shiddiq, Jurnalis Tinggal di Jakarta

ASPEKP terbesar dari penegakan kembali rukun Zakat adalah Tauhid. Zakat, kini ibadah yang paling banyak mengalami bid’ah. Tapi tak jamak yang menyuarakan. Karena Zakat mengandung dua unsur: kekuasaan (power) dan kekayaan (wealth). Perihal kekuasaan, terletak pada otoritas yang berhak untuk menarik Zakat.

Shaykh Abdalqadir as sufi mengatakan, Zakat bukanlah sedekah sukarela yang dibayarkan. Melainkan sedekah yang DITARIK. Maknanya, penarik Zakat itulah yang memiliki otoritas. Penarik Zakat, tentu ditunjuk olah Khalifah/Sultan atau Amir. Inilah otoritas yang memiliki kewenangan untuk menarik Zakat. Al Quran Surat At Taubah: 103, menegaskan bahwa Zakat bersifat: Qhudz!. Tarik!! Bukan sedekah sukarela.

Inilah unsur kekuasaan yang diperlukan. Tapi semenjak abad 19, otoritas ini dihancurkan oleh pola ‘state modern’ yang membuat kehilangan. Fenomena ini yang kemudian memunculkan ‘fiqih kontemporer’ bahwa makna ‘Qhudz’ kemudian bergeser. Maka Zakat pun kehilangan pondasi kekuasaan.

Karena kekuasaan, merupakan kesatuan yang tak bisa dipisahkan dari Tauhidullah. Abad 20, pola kekuasaan berlangsung sekulerisme, dimana kekuasaan seolah berpuncah pada ‘perbuatan manusia.’ Ini dicetuskan oleh para filosof sejak Machiavelli, Hobbes, sampai Rosseau. Mereka menegaskan bahwa ‘Raja’ selaku pemangku kekuasaan, bukanlah lahir dari ‘kehendak Tuhan.’ Melainkan bentuh ejawantah dari ‘kehendak manusia.’

Dialektika ini tentu tak lepas dari perdebatan abad renaissance di Eropa. Terjadi pertarungan antar aqidah, pengikut ‘jabarriya’ yang dihembuskan Gereja Roma, melawan para filosof yang mencetuskan ‘free will’ (kehendak bebas). Ini mewakili pengikut neo qadariyya.

Sebelumnya, ‘wakil Tuhan’ berlaku bagi Raja-Raja negeri Eropa. Mereka tergabung dalam Imperiuym Romanum Socrum. Prosesi bak ‘baiat’ dilakukan oleh Roma. Karena Raja dan Gereja, tak bisa dilepaskan. Bak ‘umara’ dan ‘ulama.’ Di Perancis, King Francois kerap dielu-elukan dengan ‘Vive le Roi! (Hiduplah Raja). Pasca Revolusi Perancis, 1789, bentuk kudeta atas ‘kekuasaan Tuhan,’ slogan itu berganti menjadi ‘Vive le nation!.’ Tak ada lagi ‘Vive le Roi!’

Pra revolusi, slogan yang berkembang juga ‘Vox Rei Vox Dei’ (Suara Raja Suara Tuhan). Para revolusioner pengikut ‘free will’ mengkudetanya dengan ‘Vox populi Vox Dei’ (suara manusia, suara Tuhan). Manusia (rakyat banyak), dianggap sebagai ‘wakil Tuhan’ di alam dunia. Bukan lagi tunduk pada ‘Raja’ sebagai wakil Tuhan. Ini yang secara system, kemudian seolah disebut dengan demokrasi. Walau kala di-comnpare- dengan pola Demokrasi ala Romawi kuno, maka system kini tak layak disebut demokrasi. Melainkan lebih tepat telah memasuki fase okhlokrasi.

Virus Revolusi Perancis, melahirkan modern state. Pola ini yang kemudian merambah negeri-negeri muslim. Pasca Perang Dunia II, pola ‘state modern’ menjadi model tunggal setiap state dunia. Big Boss diatasnya adalah kaum bankir, yang memiliki otoritas tunggal dalam pencetakan dan pengedaran alat tukar (fiat money) setiap state. Mereka adalah segelintir kaum Yahudi kuffar. Maka dalam unsur ‘state,’ tak lagi terkandung ‘trias politica’ sebagaimana teori Montesquei. Melainkan ada unsur mutlak ‘bank sentral’ yang seolah berada di atas trias politica. Entitas ini yang sejatinya lebih berkuasa dibanding ‘vox populi’ tadi.

Karena ordo pengambu ‘bank central,’ inilah yang kemudian mengembangkan system kapitalisme. Islam menyebutkan sebagai system riba. Runtuhnya otoritas Roma, membuat hukum tak lagi merujuk Kitab Suci. Melainkan digantikan ‘constitutio.’ Bak doktrin ‘free will,’ manusia seolah berhak membuat hukum sendiri. Ini yang dijawab Napoleon kala menjadi Kaisar Perancis, pasca revolusi, mengkodifikasi hokum dengan ‘Code Napoleon.’ Tiga kitab babon, yang mengeliminasi Kitab Suci. Kitab hukum ini yang disebarkan seantero dunia. Termasuk di nusantara.

Karena Socrates, sebagaimana kata Plato, sejatinya membagi dua jenis hukum: natural law dan positive law. Napoelon tentu merujuk pada positivism sebagaimana teori Auguste Comte. Pondasinya adalah ‘free will,’ Kehendak bebas manusia. Karena seolah manusia tak mesti tunduk pada KItab Suci. Dengan idea, sebagaimana teori Plato, manusia seolah mendapatkan ‘mandat’ untuk mengatur alam dunia. Tentu dengan didasari ‘reason.’ Ujungnya adalah teori ‘being’ seolah adalah mutlak hasil ‘perbuatan manusia.’ Bukan ‘Kehendak Tuhan.’ Manhaj ini yang dulu dianut kaum mu’tazilah. Era kala filsafat di-Islam-kan. Manhaj itu pula yang dipungut kaum Renaissance, untuk melawan dogma. Bedanya, di barat, renaissance berhasil mengkudeta kelompok jabariyya- Roma. Ini yang melahirkan modernisme.

Virus itu yang kemudian menyebar ke negeri-negeri muslim. Napoleon mengekspornya kali pertama ke negeri Mesir. Kemudian dikooptasinya Daulah Utsmaniyya, era Tanzimat. Hanya Sultan Abdul Hamid II, semoga Allah merahmatinya, sempat menghalau sekulerisasi Utsmani. Sampai kemudian Attaturk dengan kaum modernis Islam dan wahabis Arab, menyatu untuk membubarkan Ustamniyya. Tentu mereka bersatu padu dengan kuffar. Sejak itulah pondasi ‘Ulil Amri Minkum’ sebagai otoritas Islam menjadi hilang.

Dampaknya adalah rukun Zakat ikut berubah. Fiqih kontemporer, menyajikan jalan fiqih yang berbeda dengan Sunnah. Ijtihad yang tak diperlukan, kemudian menghalisasi seolah Zakat bisa diubah dan diganti. Mulai dari otoritas penariknya, sampai alat bayarnya. Dengan serta merta mengikuti pola banking system, dan pola kekuasaan ala ‘state modern.’

Hampir satu abad, Zakat ‘kontemporer’ ini dijalankan, ujungnya ruh Zakat menjadi hilang. Karena tak ada lagi namanya Jizya. Karena tak ada ‘wilayah Islam’ yang jelas. Wilayah digantikan batas-batas negara, versi W. Wallace, geografian Inggris, yang bertugas membagi-bagi batas negara. Dasarnya adalah hasil wilayah dagang antara kongsi dagang Belanda dan kongsi dagang Inggris. ‘Treaty of London’ seolah mensahkan mana batas negara suatu negeri. Bukan lagi didasarkan pada aqidah. Penduduk, didasarkan pada teritori. Bukan pada ‘aqidah’ yang dianutnya. Karena batas ‘state’ ditentukan oleh para kongsi dagang. Big Boss kaum kongsi dagang, merekalah para bankir Yahudi tadi.

Dampak terbesar bagi muslim adalah kehilangan Yerusallem. Sultan Utsmaniyya begitu digdaya menjaga Yerusallem sebagai bagian wakaf tanah Muslim. Tapi dengan dibubarkannya Utsmaniyya, maka Yahudi kuffar dengan mudah merebutnya. Tanpa mengeluarkan uang, sebagaimana upaya Theodore Hezrl sebelumnya.

Kehilangan terbesar adalah hilangnya ‘Ulil Amri’ bagi muslimin. Sehingga Zakat menjadi tidak bisa dilaksanakan kaffah. Karena Jizya menjadi tiada. Zakat pun tak jelas siapa yang berhak memungutnya. Modernis Islam memaksa bahwa otoritas itu disematkan pula pada ‘head of state’ yang dianggap serupa dengan makna ‘Ulil Amri.’ Bab ini yang seolah, sejak serratus tahun terrakhir, ditutup untuk tak lagi masuk dalam Batsul Masail. Padahal realitas fiqih dan historis, begitu banyak ketidaksesuaian didalamnya.

Revolusi Perancis memberikan gambaran utuh munculnya ‘head of state’ sebagai bagian dari revolusi atas ‘aqidah.’ Robiespierre, pemimpin Revolusi, sebelum dikudeta Napoleon, tak pernah mentasbihkan dirinya ‘wakil Tuhan.’ Napoleon pun mengharamkan dirinya disebut sebagai ‘Vive le Roi!’ Karena para revolusiner Perancis menyadari total, bahwa mereka sepenuhnya kaum sekuler. Merujuk dari sana, maka Tafsir Imam Qurtubi, perihal Surat An Nisa: 59, menjadi defenitif tentang bagaimana tugas dari Ulil Amri Minkum. Salah satunya adalah penarikan Zakat.

Dualisme ‘peradaban’ ini tentu tak bisa dilepaskan. Harold Laski, pakar tata negara Inggris mengatakan, ‘Peradaban politik adalah referensi dari jamannya.’ Artinya, setiap peradaban mewakili ‘aqidah’ yang dianutnya. Modernisme, termasuk di dalamnya modern state, baik sifat dan zat-nya tentu mewakili dari sekulerisme. Paham ini tentu mewakili tuntas aqidah neo qadariyya, yang sejak dulu ulama telah mengatakan ini adalah aliran yang tak sesuai dengan Islam.

Shaykh Abdalqadir al Jailani, dalam kitabnya Al Gunyah, menegaskan karakteristik majusi. Kaum yang membedakan antara pelaku ‘perbuatan baik’ dan ‘perbuatan buruk.’ Para mu’tazilah, yang membagi dikotomi ‘perbuatan Tuhan’ dan ‘perbuatan manusia’ tentu tergolong sebagai neo majusi era kini. Modernisme, tentu merujuk pada aqidah bahwa seolah ‘Tuhan sebagai pembuat jam. Kala jam selesai dibuat, maka jam berjalan sendirinya.’ Manusia, kata Descartes, adalah memiliki otoritas untuk menyelidiki Tuhan, alam semesta, dan manusia. Itulah yang disebut filsafat.

Ian Dallas, dalam The Entire City, menggambarkan: pra renaissance, Tuhan ‘menjadi’ manusia. Pasca renaissance: manusia ‘menjadi’ Tuhan. Karena modernisme mengajarkan ‘manusia’ seolah sebagai subjek yang mengamati. Bukan objek yang diamati. Inilah aliran neo majusi, yang bertentangan dengan aqidah Ahlul Sunnah waljamaah.

Maka penegakan kembali rukun Zakat, itulah jalan menegakkan Tauhidullah. Karena tegaknya kembali Zakat, menyatukan kembali kekuasaan (power) dan kekayaan (wealth) pada umat Islam. Aspek penting dalam reposisi Zakat adalah Tauhid. Pemahaman ini disajikan pada kaum yang mengikuti Al Quran Surat Ad Dzariyat: 96. Allah-lah yang menciptakan dirimu dan segala apa yang kamu perbuat. Inilah aspek manusia sebagai hamba Allah. Bukan sebagai ‘subjek yang mengamati,’ seperti kata Descartes sampai Marx.

Penegakan Zakat. Tentu memerlukan Amir-Amir local, yang memuliki pemahaman Tauhid. Bukan yang sebatas membisniskan emas dan perak untuk dijual. Melainkan terletak pada aspek Tauhid. Dan disinilah pentingnya Tassawuf. Karena tassawuf itulah jalan menuju Tauhid. “Tanpa tegaknya rukun Zakat, maka Tassawuf menjadi tiada,” kata Shaykh Abdalqadir as sufi, Rahimullah.

Maka, aspek terpenting dari reposisi Zakat adalah Tauhid. Tegaknya kembali aqidah Ahlul Sunnah waljamaah. Jamiyyah para pengamal Tauhid inilah yang mampu menghadirkan kembali kota bak Madinah al Munawarah. Itulah The Entire City. Kota yang sempurna.

Kisah Abu Dzar Al-Ghifari: Sahabat Nabi Paling Radikal

JAKARTAMU.COM | Nama asli Abu Dzar al-Ghifari adalah Jundub bin Janadah. Dia dikenal sebagai sosok yang membuat Rasulullah SAW...

More Articles Like This