Minggu, Februari 23, 2025
No menu items!

Riba Menurut Al-Quran: Para Sahabat Nabi Sendiri Sempat Mempraktikkan

Must Read
Miftah H. Yusufpati
Miftah H. Yusufpati
Sebelumnya sebagai Redaktur Pelaksana SINDOWeekly (2010-2019). Mulai meniti karir di dunia jurnalistik sejak 1987 di Harian Ekonomi Neraca (1987-1998). Pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah DewanRakyat (2004), Wakil Pemimpin Harian ProAksi (2005), Pemimpin Redaksi LiraNews (2018-2024). Kini selain di Jakartamu.com sebagai Pemimpin Umum Forum News Network, fnn.co.Id. dan Wakil Pemimpin Redaksi Majalah FORUM KEADILAN.

JAKARTAMU.COM | Keharaman riba telah disepakati oleh setiap Muslim berdasarkan ayat-ayat Al-Quran serta ijma’ seluruh ulama Islam, apa pun mazhab atau alirannya. Lalu, apa yang di maksud riba menurut Al-Quran?

Prof Dr M Quraish Shihab dalam bukunya “Membumikan Al-Quran” menjelaskan para ulama sejak dahulu hingga kini, ketika membahas masalah ini, tidak melihat esensi riba guna sekadar mengetahuinya, tetapi mereka melihat dan membahasnya sambil meletakkan di pelupuk mata hati mereka beberapa praktik transaksi ekonomi guna mengetahui dan menetapkan apakah praktik-praktik tersebut sama dengan riba yang diharamkan itu sehingga ia pun menjadi haram, ataukah tidak sama.

“Perbedaan pendapat dalam penerapan pengertian pada praktik-praktik transaksi ekonomi telah berlangsung sejak masa sahabat dan diduga akan terus berlangsung selama masih terus muncul bentuk-bentuk baru transaksi ekonomi,” jelas Quraish Shihab.

Perbedaan-perbedaan ini antara lain disebabkan oleh wahyu mengenai riba yang terakhir turun kepada Rasul SAW beberapa waktu sebelum beliau wafat, sampai-sampai ‘Umar bin Khattab ra sangat mendambakan kejelasan masalah riba ini.

Beliau berkata: “Sesungguhnya termasuk dalam bagian akhir Al-Quran yang turun, adalah ayat-ayat riba. Rasulullah wafat sebelum beliau menjelaskannya. Maka tinggalkanlah apa yang meragukan kamu kepada apa yang tidak meragukan kamu.”

Keragu-raguan terjerumus ke dalam riba yang diharamkan itu menjadikan para sahabat, sebagaimana dikatakan ‘Umar ra, “meninggalkan sembilan per sepuluh yang halal”.

Praktik Riba Yahudi

Sejarah menjelaskan bahwa Tha’if, tempat pemukiman suku Tsaqif yang terletak sekitar 75 mil sebelah tenggara Makkah, merupakan daerah subur dan menjadi salah satu pusat perdagangan antar suku, terutama suku Quraisy yang bermukim di Makkah.

Di Tha’if bermukim orang-orang Yahudi yang telah mengenal praktik-praktik riba, sehingga keberadaan mereka di sana menumbuhsuburkan praktik tersebut.

Suku Quraisy yang ada di Makkah juga terkenal dengan aktivitas perdagangan, bahkan Al-Quran mengabarkan tentang hal tersebut dalam QS 106. Di sana pun mereka telah mengenal praktik-praktik riba.

Terbukti bahwa sebagian dari tokoh-tokoh sahabat Nabi, seperti Abbas bin ‘Abdul Muttalib (paman Nabi SAW), Khalid bin Walid, dan lain-lain, mempraktikkannya sampai dengan turunnya larangan tersebut. Dan terbukti pula dengan keheranan kaum musyrik terhadap larangan praktik riba yang mereka anggap sama dengan jual beli (QS 2:275).

Dalam arti mereka beranggapan bahwa kelebihan yang diperoleh dari modal yang dipinjamkan tidak lain kecuali sama dengan keuntungan (kelebihan yang diperoleh dari) hasil perdagangan.

Riba yang Dimaksud Al-Quran

Quraish menjelaskan, kata riba dari segi bahasa berarti “kelebihan”. Sehingga bila kita hanya berhenti kepada arti “kelebihan” tersebut, logika yang dikemukakan kaum musyrik di atas cukup beralasan.

Walaupun Al-Quran hanya menjawab pertanyaan mereka dengan menyatakan “Tuhan menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS 2:275), pengharaman dan penghalalan tersebut tentunya tidak dilakukan tanpa adanya “sesuatu” yang membedakannya, dan “sesuatu” itulah yang menjadi penyebab keharamannya.

Dalam Al-Quran ditemukan kata riba terulang sebanyak delapan kali, terdapat dalam empat surat, yaitu Al-Baqarah, Ali ‘Imran, Al-Nisa’, dan Al-Rum.

Tiga surat pertama adalah “Madaniyyah” (turun setelah Nabi hijrah ke Madinah), sedang surat Al-Rum adalah “Makiyyah” (turun sebelum beliau hijrah).

Ini berarti ayat pertama yang berbicara tentang riba adalah Al-Rum ayat 39: Dan sesuatu riba (kelebihan) yang kamu berikan agar ia menambah kelebihan pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah …

Selanjutnya Al-Sayuthi, mengutip riwayat-riwayat Bukhari, Ahmad, Ibn Majah, Ibn Mardawaih, dan Al-Baihaqi, berpendapat bahwa ayat yang terakhir turun kepada Rasulullah SAW adalah ayat-ayat yang dalam rangkaiannya terdapat penjelasan terakhir tentang riba, yaitu ayat 278-281 surat Al-Baqarah: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba, jika kamu orang-orang yang beriman.

Selanjutnya Al-Zanjani, berdasarkan beberapa riwayat antara lain dari Ibn Al-Nadim dan kesimpulan yang dikemukakan oleh Al-Biqa’i serta orientalis Noldeke, mengemukakan bahwa surat Ali ‘Imran lebih dahulu turun dari surat Al-Nisa’.

Kalau kesimpulan mereka diterima, maka berarti ayat 130 surat Ali ‘Imran yang secara tegas melarang memakan riba secara berlipat ganda, merupakan ayat kedua yang diterima Nabi, sedangkan ayat 161 Al-Nisa’ yang mengandung kecaman atas orang-orang Yahudi yang memakan riba merupakan wahyu tahap ketiga dalam rangkaian pembicaraan Al-Quran tentang riba.

Jihan Nurlela: Dari Dokter Hingga Wakil Gubernur Lampung, Komitmen untuk Pembangunan Daerah

BANDAR LAMPUNG, JAKARTAMU.COM - Jihan Nurlela resmi dilantik sebagai Wakil Gubernur Lampung untuk periode 2024-2029 oleh Presiden Prabowo. Ia...

More Articles Like This