Oleh : David Krisna Alka | Ketua Umum Perhimpunan Rakyat Progresif dan Ketua Biro Media KNTI
KETIKA membaca salah satu koran nasional, mata penulis mengarah pada sebuah iklan tentang Selamat Hari Guru Nasional 2024. Iklan itu dari salah seorang kepala daerah. Menariknya, dalam iklan tersebut, ada foto KH Ahmad Dahlan. Ya, Pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan bisa disebut sebagai salah seorang bapak pendidikan dalam sejarah Republik ini. Alam gerakan pendidikan Muhammadiyah sampai kini membumi dari pelosok negeri hingga di luar negeri.
Embrio gerakan pendidikan Muhammadiyah sejatinya telah dimulai sebelum Muhammadiyah itu sendiri lahir. Hal itu tentu tak bisa dilepaskan dari sosok pendirinya, KH Ahmad Dahlan. Pada 1910 menandai kiprah awal KH Ahmad Dahlan dalam mengonsepsikan sebuah model pendidikan baru. Sebuah model pendidikan yang mengadopsi dua sistem pendidikan sekaligus: sekolah Belanda (ilmu umum) dan pesantren (ilmu agama).
Dengan menyulap ruang tamu rumahnya menjadi ruang kelas, KH Ahmad Dahlan kemudian secara resmi mendirikan Madrasah Ibtidaiah Diniah Islamiah pada 1 Desember 1911. Sekolah sederhana itu hanya memiliki fasilitas penunjang yang seadanya, antara lain tiga meja dan tiga dingklik (kursi panjang) serta satu papan tulis dengan jumlah murid yang pada awalnya tidak sampai 10 siswa. Itulah yang akhirnya menjadi prototipe sekolah modern Muhammadiyah.
Muhammadiyah sedari awal kemunculannya memandang bahwa pendidikan merupakan tulang punggung dan kunci kemakmuran suatu bangsa. Oleh karena itu, Muhammadiyah menaruh perhatian lebih terhadap pendidikan. Dari sekian banyak kontribusi Muhammadiyah, dapat dikatakan bahwa pendidikanlah yang paling menonjol. Pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, secara penuh meyakini bahwa pendidikan ialah satu-satunya jalan agar masyarakat Indonesia keluar dari keterpurukan dan bangkit menuju kemakmuran.
Dalam rangka mencapai tujuan itu, salah satu medan juang yang dititikberatkan oleh Muhammadiyah ialah dengan mendirikan lembaga pendidikan. Dengan cara itu, Muhammadiyah bermaksud ingin menebus kelumpuhan umat melalui proses pencerdasan dan pencerahan.
Selama kepemimpinan KH Ahmad Dahlan, terutama sebelum ia wafat, Muhammadiyah, khususnya di Jawa, saat itu telah mempunyai 12 cabang, 32 sekolah, termasuk 27 sekolah dasar, 4 HIS (Hollandsch-Inlandsche School), 1 sekolah guru untuk tenaga pengajar atau guru Islam, 73 guru, dan 1019 siswa.
Tak bisa dimungkiri bahwasanya guru memiliki peran sentral dalam dunia pendidikan. Tak sekadar melakukan transfer pengetahuan, guru juga berperan penting dalam menanamkan nilai-nilai nasionalisme, membela dan cinta Tanah Air, serta menanamkan nilai-nilai untuk membela kehormatan dan kedaulatan negara.
Pada 28 November 2024, di hadapan para guru pada puncak peringatan Hari Guru Nasional, Presiden Prabowo Subianto mengingatkan kita tentang sosok guru nan inspiratif pada era awal masa kemerdekaan yang juga sekaligus merupakan Panglima TNI Pertama, yakni Jenderal Soedirman. Prabowo mengakui memang perang kemerdekaan kita direbut oleh pejuang-pejuang bersenjata. Namun, kita juga ingat Panglima TNI yang pertama ialah seorang guru, Panglima TNI Pertama ialah Kepala SMA Muhammadiyah.
Karier keguruan Soedirman dimulai pada 1936 sebelum ia terjun langsung ke medan perang untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Pada tahun tersebut, ia kembali ke Cilacap dan menjadi guru di HIS Met de Qur’an Muhammadiyah. Selain mengajar, Soedirman juga aktif berorganisasi dan mendirikan Pandu Hizbul Wathan yang kebanyakan anggotanya ialah murid-muridnya di sekolah.
Ketika diadakan pemilihan kepala sekolah, Soedirman pun terpilih sebagai Kepala Sekolah HIS Muhammadiyah dengan gaji sebesar 12,50 gulden. Sebelum berangkat untuk mengikuti latihan sebagai anggota PETA, Soedirman berpesan “Saya akan mempunyai tugas baru, saya akan menjadi serdadu dan akan berangkat latihan ke Bogor. Saudara-Saudara, saya titip tolong dihidup-hidupkan Muhammadiyah,” (MPI PP Muhammadiyah, 2014).
Dalam kesempatan yang sama, Prabowo Subianto juga berkomitmen akan menghilangkan kemiskinan melalui pendidikan. Lebih lanjut Prabowo menyampaikan bahwa guru menjadi tonggak bagi berdirinya sebuah negara yang berhasil. Negara yang berhasil ialah negara yang pendidikannya berhasil. Negara hanya bisa makmur apabila pendidikannya berhasil. Kunci keberhasilan itu ialah para guru.
Setali tiga uang, perayaan Milad Ke-112 yang masuk dalam satu rangkaian Tanwir Muhammadiyah mengangkat tema Menghadirkan kemakmuran untuk semua. Tanwir Muhammadiyah kali ini dihelat di Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada 4-6 Desember 2024.
Menurut Haedar Nashir dalam pidatonya, komitmen Muhammadiyah dalam Menghadirkan kemakmuran untuk semua mengandung pemahaman bahwa kemakmuran memiliki dua dimensi sekaligus, yaitu lahiriah dan rohaniah untuk segenap umat manusia tanpa adanya diskriminasi.
Oleh karena itu, berbagai amal usaha dan seluruh praksis yang dilakukan Muhammadiyah, lebih-lebih bidang pendidikan, sejatinya diorientasikan pada suatu upaya untuk memakmurkan kehidupan bangsa, yakni sebuah kemakmuran dalam bingkai kesejahteraan dan kemajuan yang utuh lagi menyeluruh.
Sebagaimana yang telah disinggung di muka, guru memiliki peran sentral di dunia pendidikan. Barang tentu kesejahteraan tenaga pendidik tak boleh diabaikan. Oleh karena itu, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti berkomitmen akan meningkatkan kesejahteraan guru.
Selain itu, Abdul Mu’ti turut menyoroti peran penting guru dalam pembelajaran yang tidak dapat digantikan oleh teknologi. Ia menilai bahwa sekalipun teknologi penting, peran guru sebagai figur utama pendidikan tidak akan tergantikan oleh apa pun.
Ya, guru berperan penting tidak hanya pada ranah pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga dalam menanamkan arti penting pendidikan yang sebenarnya, yakni sebagai energi kemajuan peradaban bangsa. Untuk menuju ke arah itu, perlu kiranya suatu upaya untuk membumikan konsep tentang manusia yang ‘berkeaktifan’ sebagaimana yang dicetuskan oleh Engku Mohammad Sjafei yang juga merupakan pendiri Sekolah INS Kayutanam (Mestika Zed, 2012).
Moh Sjafei, melalui lembaga pendidikan yang didirikannya, menekankan pentingnya kemandirian bagi peserta didik. Hal itu bertujuan agar siswa mampu menjadi sosok yang mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka tanpa harus bergantung kepada orang lain dengan berpegang teguh pada prinsip ‘menjadi tuan kecil lebih baik daripada menjadi budak besar’ (Mindani, 2022).
Akhirnya, tentu kita berharap hasil progresif Tanwir Muhamamdiyah di Kupang terus meneguhkan gerakan Muhammadiyah yang memang selalu memberi solusi terhadap berbagai masalah di Indonesia. Salah satunya lewat gerakan pendidikan bermutu untuk semua. Pendidikan sebagai jalan kemakmuran untuk rakyat Indonesia. Semoga. (MI)