Kisah serupa terjadi di Lucknow, Uttar Pradesh. Salma Bano tak kuasa menahan tangis ketika melihat buldoser mendekat. Lebih dari 1.000 keluarga Muslim kehilangan rumah mereka untuk proyek tepi sungai Kukrail.
“Dalam beberapa jam, semuanya jadi debu. Sekarang kami bahkan harus memikirkan apa yang bisa dimakan hari ini,” ujarnya lirih.
Di atas tanah bekas rumah-rumah mereka, pemerintah menanam pohon-pohon muda untuk “menghijaukan kawasan.” Bagi Salma, pohon-pohon itu hanyalah simbol kehilangan yang mendalam. “Saya khawatir anak-anak saya tak bisa sekolah lagi. Sekolah lama mereka dekat dari rumah. Sekarang, biaya bus sekolah saja kami tak mampu,” tambahnya.
Kehilangan rumah juga merusak harmoni keluarga. Mohammad Ishaq, suami Salma, kehilangan pekerjaan akibat pembongkaran itu. Kini ia berjuang sebagai penarik becak sambil membayar cicilan untuk rumah kecil pengganti. “Orang tua dan saudara saya dulu tinggal bersama kami. Sekarang, mereka tak punya tempat. Keluarga kami berantakan.”
Baca juga: Gambaran Kejamnya Penembak Jitu Israel Menargetkan Warga Palestina
Bencana Berulang dan Trauma yang Tak Kunjung Sembuh
Bagi banyak keluarga korban, kehilangan fisik hanyalah permulaan. Trauma psikologis membayangi kehidupan mereka.
Zulekha Shakoor Rajani, psikolog dari Bangalore, mengatakan banyak Muslim India mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD) akibat peristiwa ini. “Ketakutan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Mereka merasa terisolasi, kehilangan kepercayaan pada lingkungan bahkan negara mereka sendiri,” ujarnya.
Di Nuh, sebuah kota di negara bagian Haryana di India utara, Saddam Ali (nama samaran) kehilangan toko obat dan rumahnya pada Agustus 2023. “Anak saya kini bergantung pada antidepresan. Dia tak sanggup melihat buldoser menghancurkan rumah kami di depan matanya,” cerita Ali.
Mahkamah Agung India baru-baru ini menegaskan bahwa pemerintah tak bisa menghancurkan properti warga tanpa proses hukum yang jelas. Namun, putusan ini hanya berlaku bagi kasus pembongkaran sebagai hukuman. Tanah publik masih rentan digunakan sebagai celah untuk menghancurkan rumah-rumah muslim.
Kumar Sambhav, pendiri Land Conflict Watch, menilai keputusan ini belum cukup. “Banyak keluarga miskin tinggal di tanah komunal. Tanpa hak perumahan yang jelas, mereka akan selalu dianggap melanggar hukum.”
Bagi Shahid Malik, luka kehilangan anaknya tak akan pernah sembuh. Puing-puing rumahnya, kini ditumbuhi rumput liar, hanya mengingatkan pada ketidakadilan yang ia alami. “Kami tak pernah diberi tahu. Mereka merampas rumah dan putra kami. Sampai kapan ini terus terjadi?”
Di tengah rasa keterasingan muslim India, satu pertanyaan menggantung bagi mereka: mungkinkah keadilan datang sebelum buldoser itu kembali datang?
Baca juga: Kesaksian Aktivis Kemanusiaan Palestina yang Ditahan Israel Selama 8 Bulan