KETUA Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI), Muhammad Jusuf Kalla pernah memberikan pernyataan mengenai alasan rumah-rumah yang berada dekat dengan masjid cenderung sulit terjual kembali. Penggunaan pengeras suara alias toa masjid yang sering dianggap mengganggu menjadi penyebab utamanya.
Menurut JK, kondisi ini terjadi penggunaan toa yang sering berlebihan. Misalnya, marbot masjid mengaji jauh sebelum waktu azan. Akibatnya calon pembeli rumah, terutama di sekitar masjid, merasa kurang nyaman karena sehari-hari akan hidup dalam kebisingan.
Pernyataan mantan wakil presiden itu tentu tidak sembarangan. JK adalah pengusaha top dengan pergaulan yang sangat luas. Rumah yang tak laku gara-gara dekat masjid bukanlah informasi remeh. Itu adalah informasi valid.
Tetapi informasi ini ada tambahannya bila digali lebih lanjut. Pembeli non-muslim atau muslim yang berpendidikan cukup, tidak mempermasalahkan mereka membeli rumah dekat masjid kalau Muhammadiyah atau orang Muhammadiyah yang mengelolanya.
Budaya beragama orang-orang Muhammadiyah juga dianggap lebih baik. Selain manajemen yang rapi, syiar dakwahnya juga lebih sejuk. Tanpa perintah pemerintah pun, masjid Muhammadiyah sudah mengatur pengeras suara sedemikian rupa sehingga lebih nyaman bagi para tetangga.
Kalau boleh disimpulkan, berdasarkan apa yang disampaikan JK, maka rumah di dekat masjid Muhammadiyah akan lebih laku ketimbang yang dekat masjid lain.
Bukan Aturan Baru
Masyarakat membutuhkan aturan untuk mengatur kehidupan manusia dalam sehari hari, selain itu dengan adanya aturan maka akan terciptalah hubungan yang harmonis, selaras, dan serasi di antara warga masyarakat.
Pemerintah sebenarnya sudah mengatur penggunaan pengeras suara untuk masjid, langgar, dan musala sejak 1978, yaitu Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978.
Menurut instruksi ini, sebagai tanda masuknya salat, suara azan memang harus ditinggikan. Tetapi juga perlu diperhatikan agar suara muazin tidak sumbang. Sebaliknya harus enak didengar: merdu dan syahdu.
Aturan ini juga mengatur penggunaan pengeras suara sebelum subuh, paling awal 15 menit sebelum waktunya. Hanya pembacaan Al-Qur’an dan azan yang menggunakan pengeras suara keluar.
Tapi untuk salat, kuliah subuh dan lainnya, hanya menggunakan pengeras suara ke dalam. Begitu juga untuk waktu asar, magrib, dan isya. Begitu azan selesai dikumandangkan, apa pun aktivitas berikutnya harus menggunakan pengeras suara dalam.
Khusus waktu zuhur pengeras suara keluar dibolehkan, yaitu lima menit sebelumnya, atau 15 menit menjelang waktu salat Jumat. Saat shalat, pembacaan doa, pengumuman, dan khutbah, hanya menggunakan pengeras suara ke dalam.
Ramadan dan Dua Hari Raya
Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor KEP/D/101/1978 itu pun mengatur penggunaan pengeras suara saat takbir, tarhim, dan saat Ramadan. Takbir Idul Fitri dan Idul Adha bisa menggunakan pengeras suara ke luar dengan durasi sewajarnya.
Membunyikan toa keluar masjid setelah lepas isya hingga menjelang subuh jelas bukan yang dimaksud aturan ini. Bagaimana pun juga, pada bulan apa pun dan momentum apa pun, waktu di atas pukul 9 malam adalah saatnya orang untuk beristirahat. Hentikan kegiatan takbiran pada jam itu lalu lanjutkan ba’da subuh.
Aturan lain, tarhim doa diizinkan memakai pengeras suara ke dalam, tarhim zikir tidak boleh menggunakan toa. Pada siang dan malam di bulan Ramada, bacaan Al-Quran menggunakan pengeras suara ke dalam.
Dari sini sangat jelas bahwa penggunaan toa atau pengeras suara di masjid dan musala telah diatur sejak hampir 50 tahun lalu. Tetapi entah kenapa, sampai hari ini toh masih saja ada masjid dan musala yang mengeraskan suara toa tanpa ukuran waktu, bahkan ketika salat sudah selesai. Tak jarang, hanya mengajarkan anak-anak mengaji pun memakai toa.