JAKARTAMU.COM | Dalam kehidupan yang penuh kesibukan, rumah adalah tempat terbaik untuk kembali. Bukan sekadar bangunan dengan dinding dan atap, melainkan ruang yang dipenuhi cinta, kebersamaan, dan kehangatan. Di sanalah seorang ayah yang lelah setelah dinas luar kota menemukan energi baru saat melihat dua anaknya berlari menyambutnya dengan tawa dan pelukan. Istrinya, dengan senyum penuh arti, menyambutnya di ambang pintu, membawa serta kehangatan yang selalu ia rindukan.
Namun, kebahagiaan keluarga ini tak hanya terjadi saat kepulangan. Setiap hari adalah anugerah yang mereka nikmati bersama. Setelah makan malam, mereka berkumpul di ruang keluarga. Anak-anak duduk di pangkuan ayahnya, mendengarkan cerita seru sebelum tidur. Kadang, sang ibu ikut menimpali dengan candaannya, membuat suasana semakin hangat. Ada momen-momen kecil seperti menyesap teh bersama, menonton film keluarga, atau sekadar berbicara tentang hari yang telah mereka lalui—hal-hal sederhana yang justru membangun ikatan yang kuat.

Saat pagi tiba, kehidupan di rumah itu kembali terasa hidup. Sebelum matahari naik tinggi, mereka berkumpul di halaman untuk merawat tanaman yang mereka tanam bersama. Ayah menggali lubang kecil, anak-anak menaruh bibit dengan tangan mungil mereka, lalu ibu dengan telaten menyiramnya. Mereka bekerja sama, tertawa saat tangan mereka kotor oleh tanah, dan berkompetisi siapa yang bisa menanam paling cepat.
Akhir pekan menjadi waktu yang paling mereka nanti-nantikan. Kadang mereka bersepeda keliling kompleks, menikmati angin pagi yang sejuk. Di lain waktu, mereka menggelar tikar di halaman belakang, membuat sarapan sederhana yang disantap sambil bercanda dan bercengkerama. Jika hujan turun, tak ada yang mengeluh. Justru, anak-anak akan menempelkan wajah mereka di jendela, mengamati butiran air yang jatuh, sementara ibu menyiapkan wedang jahe dan pisang goreng hangat.
Malam hari adalah waktu istimewa bagi mereka. Setelah shalat berjamaah, ayah mengajari anak-anaknya doa sebelum tidur, sementara ibu membelai rambut mereka dengan penuh kasih. Kadang, mereka berbicara tentang impian masa depan, tentang tempat-tempat yang ingin mereka kunjungi bersama, atau sekadar mengenang kejadian lucu yang pernah terjadi.
Rumah ini bukan hanya tempat berteduh, tetapi tempat di mana mereka saling menguatkan, saling mendukung, dan saling mencintai. Tak perlu kemewahan untuk merasa kaya, karena mereka sudah memiliki segalanya—waktu, cinta, dan kebersamaan. Bagi mereka, pulang ke rumah bukan sekadar kembali ke sebuah bangunan, tetapi kembali ke hati yang selalu terbuka, ke pelukan yang selalu siap menyambut, dan ke kebahagiaan yang tak tergantikan.
Itulah arti sejati dari rumah—tempat di mana hati selalu pulang. (Dwi Taufan Hidayat)